NU, TNI, Dan Demokrasi
Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam sebuah tulisan, penulis pernah menyatakan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) memiliki dasar-dasar demokrasi dalam sejarahnya. Pertama, karena NU mendasarkan diri pada hukum Islam (fiqh), otomatis ia memperlakukan semua orang secara sama di hadapan hukum itu sendiri. Kedua, sejak 1952 dalam Muktamar Palembang para jajaran PBNU dipilih secara tebuka oleh para anggotanya. Bahkan, dalam Muktamar 1968 di Bandung, NU memilih KH. M. Bisri Syansuri sebagai Ra’is Aam PBNU, yang beliau tolak karena penghormatan sangat besar kepada kakak ipar beliau KH. A Wahab Hasbullah. Beliau berkeras bahwa selama sang kakak ipar masih hidup, biarlah jabatan orang pertama di lingkungan NU itu dipegang sang kakak ipar dan beliau menjadi wakil Ra’is A‘am.
Pada akhir 1984, penulis terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dan segera setelah itu sengaja mengokohkan hal itu dengan ketentuan bahwa pengurus cabang NU (PCNU) dan pengurus wilayah (PWNU) di tingkat propinsi haruslah dipilih secara terbuka oleh para peserta konferensi. Sekarang hampir dua puluh tahun lamanya, “kebiasaan” ini telah mendarah daging dalam kehidupan NU dan dengan demikian menjadi kokohlah tradisi berdemokrasi dalam kehidupan NU itu. Namun tradisi demokrasi yang dimiliki NU itu tertunda, karena “keharusan” sejarah bangsa kita yang membuat NU berpolitik (1952-1984), hingga organisasi itu kembali kepada Khittah 1926, yang melepaskanya dari dunia politik.
Dari dulu hingga kini, dengan sikap NU yang mempertahankan semangat kebangsaan, membuatnya menjadi “mitra” terpercaya bagi TNI, dahulu disebut APRI dan kemudian ABRI. Semangat kebangsaan NU itu diperlihatkan sembilan tahun setelah ia didirikan, dengan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan pada forum Bahtsul Masail dalam Muktamar Banjarmasin tahun 1935. Dalam tesis gelar M.Anya, Pdt Einar Sitompul (belakangan menjadi Sekjen HKBP dan kini Kepala Badan Litbang PGI), menceritakan bagaimana NU melalui Muktamarnya itu menjawab pertanyaan; wajibkah kaum muslimin di negeri kita mempertahankan “kawasan Hindia Belanda” (demikian kita di sebut waktu itu) yang diperintah oleh orang-orang Non-Muslim, yaitu para kolonialis Belanda?.
Jawabannya adalah wajib dari sudut hukum agama (fiqh), karena dua buah alasan: pertama, berdasarkan pertimbangan dari sebuah “kitab lama”, karena kawasan Hindia Belanda dahulunya adalah milik kawasan kerajaan-kerajaan Islam, maka haruslah dipertahankan sebagai kewajiban agama bagi setiap muslim. Kedua, di kawasan tersebut kaum muslimin berhak melaksanakan ajaran-ajaran Islam tanpa diganggu. Dengan demikian, dalam pandangan kaum Muslimin Indonesia yang mengikuti NU, tidak ada kewajiban mendirikan sebuah negara Islam.
***
Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah identistas/wujud yang lahir dari semangat mempertahankan dan melindungi negara kita dari bahaya apapun yang mengancam. Karenanya secara teoritik ia harus melakukan hal itu secara tuntas, namun dalam kenyataan historis, TNI (semasa masih bernama ABRI) mempunyai juga putra-putra yang memiliki ambisi politik pribadi, dan menguasai jalannya pemerintahan. Bahkan ABRI di masa Panglima Feisal Tanjung pernah “bermimpi” menjadikan hanya orang-orang muslim saja menjadi pejabat-pejabat teras di negeri ini. Dengan sengaja ia menunggangi kebijakan Presiden Soeharto untuk menggunakan Islam sebagai kekuatan politik utama di negeri ini, sehingga akhirnya munculah kelompok hijau dan merah putih, di lingkungan ABRI kita.
Tetapi “penyimpangan-penyimpangan sejarah”, itu tidak menjadikan kita harus berpandangan buruk terhadap TNI, apalagi jika mereka telah meninggalkan fungsi sebelumnya -sebagai sebuah kekuatan politik di negeri ini –untuk seterusnya. TNI yang bertugas mempertahankan dan melindungi negara kita, masih dapat diharapkan berperilaku demokratis di masa yang akan datang. Bahkan penulis berkeyakinan TNI bersama-sama dengan unsur-unsur lain dalam masyarakat dapat “mengamankan” jalannya pemilihan umum yang jujur dan terbuka di negeri kita dalam waktu dekat ini. Caranya adalah dengan mempercayakan kepada mereka dan sejumlah unsur lain dalam masyarakat untuk melaporkan hasil-hasil Pemilu kepada sebuah badan yang bertanggung jawab kepada dunia internasional.
Tentu saja banyak orang yang tidak percaya kepada peranan demokratisasi TNI dan NU dan tentu tidak masuk di akal mereka. Bagaimana bisa sejumlah orang Kyai/ Ulama yang sehari-harinya bertindak otoriter itu dapat menjadi “penjaga demokrasi”? Mereka lupa, akan perjalanan sejarah NU yang telah dipaparkan di atas. Demikian juga, mereka menggangap penyimpangan-penyimpangan ABRI di masa lampau sebagai tanda watak “anti demokratis” dari TNI kita, dengan melupakan asal-usul TNI itu sendiri. Dalam bahasa teori hukum Islam (ushul fi’qh) hal itu dinamai “penyamaan yang khusus dengan yang umum” (Itlaq al-am wa yuradhu bi hi al-chas).
Melihat kepada perilaku partai-partai politik yang menguasai lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan badan-badan eksekutif yang kita miliki saat ini, terlihat bahwa mereka hanya mengutamakan kepentingan golongan sendiri, dan melupakan demokrasi. Mereka melihat, sebagai keharusan untuk menguasai jalannya pemerintahan, lebih tepatnya menentukan keputusan tanpa mencerminkan kepentingan rakyat banyak, namun untuk kepentingan golongan sendiri. Tentu ini bertentangan dengan undang-undang dasar kita.
Jelaslah dengan demikian, tinggal NU dan TNI yang secara institusional membela demokrasi di negeri kita. Memang masih ada orang dalam kedua institusi ini yang mengutamakan kepentingan politik pribadi dan “mencuri” demokrasi dengan menggunakan namanya atau menggunakan kata-kata seperti reformasi dan sebagainya. Tetapi itu hanya secara perorangan atau melalui kelompok kecil yang tidak efektif. Kalau kesemuanya itu bersatu-padu dengan mentaati fungsi masing-masing, tentulah demokrasi akan terwujud di negeri ini tidak lama lagi. Jelas bagi kita, mengatakan adanya demokrasi memang mudah tetapi melaksanakannya sangat sulit, bukan?