Orang Masyumi Bertasawuf
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tentang sikap dan Pandangan Hidup Ulama menyajikan beberapa hal menarik tentang kehidupan ummat Islam saat ini. Dari sekian banyak temuan lapangan, yang menarik adalah kenyataan, bahwa gerakan tasawuf itu juga menyentuh kehidupan sebuah kelompok unik pula di batang tubuh ummat Islam di negeri ini, yaitu kalangan Masyumi.
Masyumi adalah singkatan dan Majlis Syuro Muslimin Indonesia. Dahulunya melambangkan partai politik satu-satunya bagi kaum muslimin. Lalu berubah menjadi salah satunya partai politik Islam,setelah PSII, NU dan Perti berturut-turut menjadi keluar dari lingkungannya. Belakangan menjadi tanda pengenal bagi kelompok yang tidak mau menerima kehadiran partai-partai Islam yang ada, setelah Masyumi sendiri dibubarkan Bung Karno di awal dasawarsa enampuluhan.
Sebagai sebuah gerakan besar, tentu orang Masyumi ada bermacam-macam pula. Ingatan segera terpaut kepada tokoh-tokoh politisi muslim lama, jika disebut nama Masyumi. Moh. Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Moh Roem, sebagai misal. Namun segera muncul nama-nama lain, semisal KH Abdullah Syafi’i. Dalam segala hal ia patut disebut ‘ulama NU’, tetapi dalam afiliasi politik ia ikut Masyumi. Juga orang semisal Nurcholish Madjid, yang secara kultural berada di kubu yang berkebalikan dari kubunya KH Abdullah Syafi’i maupun kubunya Moh. Natsir. Sekarang pun ada Masyumi (atau lebih tepat mantan-Masyumi) di pemerintahan, di Golkar dan porpol, dan yang menjadi oposan politik pemerintah.
Nah, yang menarik adalah gejala baru kalangan tasawuf yang muncul sejak tahun-tahun enampuluhan. Ketika Masyumi dibubarkan, sebagian di antara warganya lalu mencari afiliasi kerohanian kepada tasawuf. Karena tasawuf dalam bentuk gerakan tarekat besar-besar (istilahnya, tarekat mu’tabarah) sudah ‘diborong’ NU dan Perti, maka mereka lalu berpaling kepada sementara guru rohani yang ‘belum mapan’. Ada yang memang mendirikan gerakan tasawuf non-tarekat, seperti gerakan tasawuf Siddikiyah di Jombang. Ada juga yang tetap mengikuti jalur tarekat, dengan memelihara sanad wirid mereka kepada para pendiri tarekat besar (Abdulqadir Jailani, Syadzili, Rifa’i, Naqasyabandi), namun tanpa mengikuti afilias organisatoris dengan para guru tarekat yang ‘sudah mapan’ di lingkungan NU, Perti dan sebagainya.
Lahirlah para tokoh tasawuf lokal yang diikuti orang-orang mantan-Mayumi itu. Mereka menulangpunggungi kerangka organisator gerakan ‘tasawuf lokal’ itu, dan menjadikan gerakan-gerakan lokal itu organisasi-organisasi besar dan berjangkauan antar-daerah (kalau tidak boleh dibilang nasional). Contoh: PSM Pesantren Sabilil Muttaqin, Shalawat Wahidiyah (berpusat di Kediri) dan tarekat pimpinan Abah Anom di Suralaya’, Tasikmalaya.
Orang Masyumi memang lebih pandai berorganisasi daripada orang gerakan-gerakan lain, seperti NU, SI dan Perti. Dus, lebih berdisiplin dan lebih ketat memegang aturan organisasi. Karenanya, tidak heran jika di beberapa tempat lalu ada juga konflik antara para pengurus organisasi ‘tasawuf lokal’ dengan guru-guru mereka. Maklum, guru tasawuf sering hanya mengandalkan intuisi mereka saja, tidak begitu mau diikat oleh aturan organisasi. Dalam konflik seperti itu, jika tidak ada mekanisme yang melerai, lalu muncul suatu yang baru; sang guru dipecat oleh organisasi yang (secara nominal) dipimpinnya. Mana ada di dunia ini, sepanjang sejarah Islam, ada guru tasawuf dipecat, jika tidak di Indonesia. Dan tidak bisa dibayangkan hal itu terjadi di lingkungan ‘tarekat NU’ atau ‘tarekat Perti’. Dimensi baru, organisasi mengalahkan personifikasi sang guru ini adalah dimensi baru dalam kehidupan beragama kita.
Patut dipantau kelanjutan perjalanan ‘tasawuf Masyumi’ ini, bukan?