Orang-Orang Eksklusif
Resensi Buku: IKHWANUL MUSLIMUN, Ishak Musa Al-Husaini, PT Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 219 hal.
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Gerakan Islam di Indonesia tahun-tahun 1950-an bisa diperbandingkan dengan Ikhwanul Muslimun. Natsir, Wahid Hasyim, serta beberapa tokoh Islam mengingatkan pada Al-Banna dalam hal menyatunya perjuangan dan moralitas pribadi.
MELIHAT perkembangan pemikiran keagamaan dan kegiatan gerakan-gerakan Islam di tanah air, memang terasa kebutuhan akan bahan bandingan dengan perkembangan di tempat lain. Samakah keduanya, atau berbeda? Kesamaan total sudah tentu tidak dapat diharapkan: perkembangan historis sudah mewajibkan perbedaan tidak kecil. Namun beberapa pemikiran dan jenis kegiatan sudah tentu memiliki padanannya.
Terjemahan buku Al-Husaini adalah salah satu upaya menyediakan bacaan bandingan itu. Walau buku aslinya ditulis tahun 1953, dan dicetak ulang 1955, jadi sekitar tiga dasawarsa lalu, kebutuhan kita akan pengenalan sumber-sumber pemikiran gerakan Islam di tanah air kita dewasa ini memberikan aktualitasnya sendiri pada karya terjemahan ini.
Bagaimanapun, seperti dikemukakan penulisnya (hal. ix), Ikhwanul Muslimun (IM) memiliki dampak pada gerakan-gerakan Islam lain di seluruh dunia, di samping memang ada persamaan inti dengan pemikiran yang terkandung dalam gerakan-gerakan besar Islam masa lampau seperti aliran Ahmad ibn Hanbal, terkenal dengan sebutan Mazhab Hanbali.
Sudah sejak permulaan bukunya, Al-Husaini menyatakan ‘mudah untuk melacak prinsip-prinsip Ikhwan’. Antara lain dalam hal-hal berikut: “kepercayaan akan kesatuan dan kesempurnaan Islam sebagai sistem, pengidentikan negara dengan agama, pelaksanaan Hukum Islam, penghadapan kepada Quran dan Hadis sebagai satu-satunya sumber, penghindaran diri dari teologi skolastik (Kalam), perlawanan terhadap berbagai bid’ah mistik, dan usaha meniru cara hidup generasi pertama Islam” (hal x).
Kemudian asal-usul, perkembangan dan ‘masa keemasan’ IM digambarkan terperinci (sampai penghitungan jumlah cabang IM diseluruh Mesir, di Sudan, dan di negeri-negeri Arab lain dalam tahun-tahun empat puluhan) dalam sembilan bab pertama. Dua hal menarik dari deskripsi tersebut: penjelasan tentang sembilan prinsip operasional IM (hal. 53-54), dan penggambaran pentingnya peran kepribadian tokoh pendirinya, Hasan Al-Banna.
Gambaran yang diperlihatkannya itu menampilkan gerakan Islam di Indonesia sekitar 1940-an dan 1950-an, misalnya A. Kahar Muzakkir, M. Matsir. A. Wahid Hasjum, Prawoto Mangkusasmito: citra utuhnya kepribadian dan leburnya kiprah perjuangan dalam moralitas pribadi masing-masing Namun, penggambaran yang bersifat idealisasi kepribadian Al-Banna itu (hal. 33-48) justru bertentangan dengan salah satu prinsip operasional IM sendiri: menghindari dominasi tokoh penting dan termasyhur dalam gerakan.
Bab IX-XIV (hal. 145-199) menggambarkan hubungan IM dengan kekuasaan yang memerintah Mesir, sejak sebelum Perang Dunia II hingga saat meletusnya revolusi yang dipimpin Jenderal Najib (sebutan pers Barat: Mohammad Naguib). Jatuh bangunnya IM ketika haris berhadapan dengan berbagai pemerintah di bawah Raja Farouk, digambarkan secara sangat mendalam. Juga pola hubungan IM dengan gerakan-gerakan lain di luar pemerintahan.
Dan kemudian bagaimana IM terlibat serangkaian tindakan politik (menurut versi pemerintah Mesir) yang berakhir pada tindak kekerasan dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan politik (juga menurut versi pemerintah). Tindakan balasan yang dilakukan terhadap IM akhirnya berkesudahan pada pembunuhan atas Al-Banna, 1949, dan penangkapan besar-besaran pimpinan IM di semua eselon.
Bab XV berisi gambaran setelah IM dibubarkan Gamal Abdel Nasser, setelah Nasser merebut pimpinan dari Jenderal Najib. Perebutan klaim tentang siapa yang sebenarnya memenangkan revolusi antara Nasser dan IM adalah gambaran tragis terpecahnya persekutuan revolusioner setelah revolusi yang mereka buat bersama mencapai kemenangan, sebuah kejadian yang umum dalam sejarah.
Dalam analisanya, penulis buku ini menguraikan beberapa kelemahan dasar yang dimiliki IM yang akhirnya membawa kepada pembubaran IM, walau pengaruhnya masih terus terasa hingga sekarang. seperti terbukti dengan peristiwa pembunuhan atas mendiang Presiden Sadat 1981. Menarik untuk merenungkan analisa tersebut. Sebab kesalahan-kesalahan utama IM masih juga dijalani semua gerakan Islam, termasuk di sini saat ini — yaitu watak eksklusif dari kegiatan dan sikap mereka.
Sebuah buku yang menarik. Lebih-lebih karena beberapa kesimpulannya terasa masih relevan, bila dipakaikan pada gerakan Islam di seluruh Dunia Islam. Di sini pun ada juga gerakan-gerakan yang memiliki sikap, pandangan dan perilaku internal dan eksternal yang mirip IM, sehingga patut juga dikaji apa dampaknya bagi kita semua di masa datang. Sudah tentu dengan pertimbangan obyektif — jauh dari emosi dan kecurigaan berlebihan. Catatan kaki Syubah Asa, yang merupakan sekian puluh persen buku ini, sangat menolong untuk melakukan hal itu.