Paham Kebangsaan NU
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pada pertengahan minggu yang lalu, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) menyelenggarakan pertemuan pra-Rakernas, yang berlangsung di Gedung Kantor PBNU. Penulis diminta berceramah tentang paham kebangsaan di kalangan warga NU. Dalam sambutan sebelumnya, Prof. Cecep Syarifudin, salah seorang Ketua PBNU periode ini, menceritakan bagaimana KH. M Hasyim As’yari dalam tahun 1943, menyampaikan kepada Laksamana Maeda dari pemerintahan kependudukan Jepang bahwa, mendiang Soekarno adalah pilihan NU untuk melakukan negosiasi tentang kemerdekaan Indonesia dari tangan Jepang. Ini sebenarnya adalah bagian dari perjanjian lisan secara diam-diam antara pemerintah pendudukan Jepang di satu pihak, dengan para pemimpin Indonesia, di pihak lain. Mereka berjanji, jika tentara Sekutu mendarat ke Kepulauan Jepang, tanah-tanah jajahannya akan memperoleh kemerdekaan.
Perjanjian ini dimaksudkan untuk membuat bangsa-bangsa terjajah itu untuk tidak dikuasai oleh pihak Sekutu. Penunjukan Bung Karno oleh KH. M. Hasyim As’yari itu merupakan bukti bahwa beliau sebagai otoritas tertinggi di NU tidak memikirkan kepentingan NU lebih dari kepentingan bangsa. Jika masalahnya mengenai NU, orang yang mengerjakan haruslah dari lingkungan tersebut. Namun jika persoalannya menyangkut kepentingan bangsa, maka orang terbaiklah yang harus diangkut, walaupun tidak berada di lingkungan NU sendiri. Di sini Prof. Syarifuddin, yang juga menantu (Alm.) KH. Anwar Musadad dari Garut itu, menyebutkan bagaimana paham kebangsaan dalam bentuk penunjukan personalia dimiliki NU, serta dipahaminya. Prof. Syarifudin menyimpulkan dengan demikian, bahwa paham kebangsaan juga dimiliki NU.
Dalam uraiannya, penulis mengemukakan “bukti-bukti lain” bahwa NU memiliki paham kebangsaan yang diinternalisasikan sendiri oleh NU, dalam hal-hal yang bersangkut paut dengan paham kebangsaan itu. Dari sudut diplomasi, penulis menceritakan bagaimana mendiang ayahnya KH. A. Wahid Hasyim mencoba “memperkecil” jarak antara para wakil gerakan-gerakan Islam di satu pihak dan para wakil “golongan nasionalis” dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tahun 1945 untuk sama-sama menyetujui gagasan Syariah Islam sebagai pengganti istilah “negara Islam” dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian, karena keberatan Mr. Maramis dalam PPKI atas istilah Syariah Islam, beliau menyakinkan para wakil gerakan Islam itu untuk “membuangnya” dari teks UUD 1945 pada hari berikutnya, 18 Agustus 1945.
Contoh di atas ditambahi pula oleh penulis dengan sebuah contoh lain, bahwa PBNU yang berkedudukan di Surabaya mengeluarkan sebuah seruan, yang kemudian dikenal dengan nama Resolusi Jihad, pada tanggal 22 Oktober 1945, sekitar 2 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Dinyatakan oleh PBNU dalam resolusi itu, bahwa mempertahankan Republik Indonesia adalah kewajiban berjihad. Dengan demikian sebuah negara sekuler dipertahankan oleh sebuah ajaran agama yang tentunya sangat menarik untuk dikaji. Dari contoh di atas, penulis menyimpulkan bahwa NU mengembangkan paham kebangsaan yang bersumber pada ajaran agama Islam yang mengikuti pandangan-pandangan mazhab fikih terkenal dengan nama ajaran Islam Tradisional. Paham ini sudah tentu juga sangat dipengaruhi oleh keadaan lokal.
Tetapi, yang sebenarnya paling menarik perhatian, adalah apa yang dituliskan dan dikupas oleh Einar Sitompul, dahulu Sekjen Huria Kristen Batak Protestan dan sekarang Kepala Badan Litbang PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia). Dalam tesis untuk mencapai ijazah S2 yang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul NU dan Pancasila oleh Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia di Jakarta. Dalam buku itu, Einar Sitompul bercerita dan mengupas sebuah pertanyaan yang muncul dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 (tetapi penulis mendapatkan dari sumber lain yang berbentuk lisan hal itu terjadi dalam tahun 1936), hal itu muncul dalam bentuk pertanyaan: “wajibkah bagi kaum muslimin di kawasan Hindia Belanda, demikian kita dikenal waktu itu, mempertahankan kawasan tersebut, yang diperintah oleh kaum non-muslim (yaitu para penjajah Belanda)?”
Jawaban atas pertanyaan tersebut wajib, karena dua alasan pertama, rujukan lama Bughyah Al-Mustarsyidin menyatakan, daerah yang dulunya menjadi bagian dari sebuah kerajaan Islam wajib dipertahankan kerena masih ada kaum muslimin di dalamnya yang menjalankan ajaran-ajaran agama mereka. Alasan kedua, dirumuskan oleh Muktamar itu sendiri, bahwa kaum muslimin tidak memerlukan negara pada waktu itu, untuk menjalankan ajaran-ajaran agama mereka. Ini adalah sebuah pernyataan sangat penting, karena dapat disimpulkan bahwa ada pemisahan yang tegas antara negara dan masyarakat/komunitas. Ini berarti, sebuah negara Islam tidaklah wajib di didirikan oleh kaum muslimin, walaupun juga tidak ada larangan untuk melakukan hal itu. Ini berarti, benarlah pendapat seorang sarjana muslimin di masa lampau, yang dijadikan subjek disertasi Prof. Dr. Nurcholish Madjid bahwa negara Islam tidak wajib hukum fikihnya.
Pendapat Ibn Taimiyah itu sangatlah menarik, walaupun bukan masalah wajib tidaknya negara Islam yang dibahas Nurcholish Madjid dalam disertasinya itu karena ia “hanya” membahas teori “Filsafat Alam” (genesis) dari sarjana agung tersebut. Hal itu memang cukup mengherankan, karena profesor kita itu justru tidak tertarik (out of touch) dengan masalah yang hangat dibicarakan di tanah air, bahkan hingga saat ini. Inilah pertanda bahwa ia adalah seorang ilmuwan tulen yang berani “melawan arus”, hingga kepada masalah-masalah paling mendasar sekalipun dalam keyakinan kaum muslimin. Tetapi itu bukan urusan kita, yang mendorong ditulisnya artikel ini. Yang terpenting, bahwa negara Islam tidak diwajibkan bagi mereka, walaupun juga tidak dilarang.
Secara budaya, pandangan di atas tentang tidak wajibnya negara Islam didirikan, ternyata di kalangan gerakan Islam di negeri ini tidak demikian halnya secara politis. Cukup banyak jumlahnya mereka yang menginginkan berdirinya sebuah negara Islam di Bumi Nusantara. Sedangkan “organisasi Islam” seperti NU dan Muhammadiyah, sebagai entitas non-politis, menentangnya. Namun, justru organisasi-organisasi politis yang bukan gerakan warga Islam, justru berbeda pandangan seperti itu. Dengan kata lain, politisasi gerakan Islam bersifat terlalu jauh melakukan formalisasi atas hal-hal yang tidak dipikirkan oleh gerakan-gerakan kultural Islam sendiri. Pelajaran sejarah seperti ini memang sangat menarik untuk diikuti. Orang-orang di luar gerakan Islam, umpamanya tetap saja tidak mengerti kekuasaan riil dari gerakan-gerakan militan Islam, seperti para teroris yang ada di beberapa kawasan tanah air kita.
Pada titik ini penulis berhenti, mempersilahkan para hadirin dan hadirat yang terdiri dari kaum muda itu, untuk menarik kesimpulan sendiri dari ceramah penulis itu. Ini adalah sekelumit dari begitu banyak wilayah yang menarik untuk dipikirkan bagi masa depan bangsa dan negara kita. Diskusi demi diskusi haruslah didorong ke arah itu; dan itu adalah arah yang tepat untuk dilakukan saat ini. Kalau paham serba kesenangan materi (hedonisme) sudah begitu merajalela di kalangan generasi muda kita, jawabnya adalah tidak hanya bersikap marah-marah kepada mereka saja, justru mereka justru harus didorong dan diarahkan membicarakan hal-hal yang penting bagi masa depan kita, seperti demokrasi, kedaulatan hukum, paham kebangsaan, dan sebagainya. Kedengarannya memang mudah tetapi penulis menyadari hal itu sulit dilakukan, bukan?