Paham Konghuchu dan Agama
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Paham Konghuchu (Konfusionisme) adalah sebuah kenyataan sejarah yang dibawa ke sini (Indonesia–red) oleh bangsa Tionghoa dari tanah air mereka, sejak berabad-abad yang lalu. Orang-orang keturunan Tionghoa di datangkan oleh pemerintahan kolonialis Belanda ke Nusantara untuk menggali tambang, membuka tanah-tanah pertanian dan mengolah hutan. Mereka datang kesini dalam gelombang kedua, karena dibutuhkan untuk mengolah daerah-daerah kosong yang masih merupakan tanah-tanah perawan (virgin lands).
Sebelum itu, orang-orang keturunan Tionghoa yang telah datang ke sini dalam kondisi yang sangat berbeda. Pada abad ke 13, pelaut-pelaut Tionghoa yang beragama Islam berlalu lalang di kawasan antara Pulau Madagaskar –di timur Afrika dan Pulau Tahiti di lautan Pasifik. Mereka inilah yang diklaim oleh Moh. Yamin sebagai Angkatan Laut Majapahit dengan bendera merah putih. Puncak dari kekuatan mereka tercapai ketika dalam abad ke 16 Laksamana Macengko (Ma Zenghe) tujuh kali memimpin expidisi armada Tiongkok dalam mengarungi kepulauan Nusantara ini. Ia meningal dunia di Kalikut (India) dalam expidisi ke tujuh tersebut.
Dapat dibayangkan, di sini, betapa perkasanya Angkatan Laut Tiongkok yang muslim ketika itu. Mereka hanya menggunakan kapal-kapal layar (Jonks) untuk mengangkut sekian banyak orang. Norman Schwarzkoff pemimpin tentara sekutu, ketika menyerbu Kuwait dan Irak beberapa tahun lalu memerlukan empat puluh lima ribu orang pasukan yang diangkut dengan kapal induk, kapal-kapal lain dan beberapa jenis pesawat terbang. Operasi yang dipimpinnya menelan biaya tidak kurang dari 70 Milyard dollar AS. Jadi, dapat dibayangkan keperkasaan Ma Zenghe yang dalam abad ke 16 Masehi dapat memimpin sebuah expidisi sebanyak tujuh kali.
***
Dalam “buku 1492” yang berbahasa Perancis, disebutkan ada Menteri Peperangan Tiongkok dalam abad ke 15 M yang menjadi wali raja yang masih kecil. Sebagai seorang pengikut Konghuchu fundamentalis, ia merasa takut jika orang-orang Tionghoa di perantauan akan kembali ke daratan China dan membeli tanah-tanah –yang terbatas jumlahnya itu, dari harta yang diperoleh dari perantauan. Karena itu, ia memerintahkan ditariknya kapal-kapal laut Tiongkok dari perantauan, lalu di bakar di pantai Hainan.
Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam di rantau, akhirnya terputus hubungan dengan negeri asal mereka. Dalam waktu dua abad, mereka diserap oleh penduduk asli, dan mereka meninggalkan kampung-kampung China di berbagai daerah di kepulauan Nusantara. Maka masjid-masjid yang mereka dirikan di kampung-kampung China ditinggalkan kosong. Ketika orang-orang Tionghoa gelombang kedua datang, dengan membawa agama Budha (Taoisme) dan agama Konghuchu, segeralah masjid-masjid yang ditinggalkan kosong itu dirubah menjadi kuil. Ini benar-benar sebuah kenyataan, seperti yang terjadi atas Masjid Sam Po Toalang yang akhirnya dirombak menjadi kuil Sam Po Toalang di pantai utara Jawa.
Karenanya, banyak sekali orang yang sekarang disebut sebagai penduduk asli –seperti halnya penulis, sebenarnya adalah keturunan orang-orang Tionghoa muslim tersebut. Mereka tidak lagi dikenal sebagai orang Tionghoa, karena sudah bercampur darah dengan orang lain. dalam diri penulis terdapat darah Tionghoa, Arab dari Oman dan Libya (melalui Maulana Ishak yang berasal dari Tabarqa/Tobruk, Jawa asli maupun darah India dan Persia.
***
Dari tinjauan di atas tampak jelas, sebagian dari orang-orang Tionghoa yang datang ke sini memandang bahwa paham Konfusionisme sebagai agama. Mereka membawa serta budaya-agama yang diwariskan oleh nenek moyang mereka sebagai tradisi yang harus diikuti. Dalam tradisi ini, termasuk diantaranya soal perkawinan dan pembagian waris yang tidak dapat diabaikan. Disinilah letak persoalannya, paham konghuchu itu dianggap sebagai agama atau bukan.
Paham komunis di daratan Tiongkok sendiri, jelas tidak bisa menerima paham ini sebagai agama, melainkan mereka menganggapnya sebagai filsafat hidup. Dengan demikian, hak-hak para pengikut paham Konghuchu, dalam bentuk perkawinan dan pembagian waris menjadi diabaikan. Ini adalah merupakan lagu lama kekuasaan pemerintahan yang terlalu berlebihan.
Apalagi kalau digabungkan dengan keinginan sementara orang yang menghendaki para pengikut paham Konghuchu agar memeluk agama mereka. Lalu, pertanyaannya, apa pendapat penulis dalam hal ini? Mudah saja. Bahwa, para pemeluk paham Konghuchu-lah yang seharusnya menentukan bukannya pihak pemerintah. Kalau mereka menganggap paham itu sebagai agama, maka hal itu harus diterima oleh pemerintah. Kalau ada pejabat pemerintah tidak menghargai hal ini, mereka menentang undang-undang dasar 1945.
Pengertian inilah yang harus ditegakkan di kalangan kita, tapi sebagai proses sosial ia berjalan sangat lambat. Hal ini, juga harus dimengerti oleh para penganut paham tersebut. Memang, ini tidaklah mudah, tapi memang adakah kemudahan bagi bangsa yang sangat tinggi taraf kemajemukannya seperti kita?