Pemutihan Kitab Kuning
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Minggu lalu Rektor IAIN Jakarta, Prof Dr Harun Nasution, mengungkapkan sesuatu yang menarik untuk diperhatikan lebih jauh. Dalam wawancaranya menjelang Lustrum V perguruan tinggi yang dipimpinnya, Prof Harun Nasution menolak anggapan bahwa mahasiswa IAIN melakukan peran ‘melestarikan kitab kuning’ dalam kajian pengetahuan agama Islam yang mereka tempuh. Penolakan itu dirangkaikannya dengan rumusan yang dibuatnya sendiri tentang tugas mahasiswa IAIN, yaitu ‘berpikir dinamis dan kreatif’.
Dengan demikian tidak dapat dihindarkan kesan, ia menghadapkan kerja ‘melestarikan kitab kuning’ kepada ‘berpikir dinamis dan kreatif’, atau dengan kata lain ia menganggap memahami dan mengembangkan jenis literatur ‘kitab kuning’ adalah pertanda proses berpikir statis dan tidak kreatif.
Tuduhan Prof Harun Nasution itu bukanlah sesuatu yang aneh, dan juga tidak baru sama sekali. Ia hanyalah penerusan belaka dari rangkaian kampanye terhadap ‘kitab kuning’ dan dunia pemikiran keagamaan yang diwakilinya, yaitu dunia tradisionalisme kaum santri. Juga tidak mengherankan karena Prof Harun Nasution sendiri adalah ilmuwan (ini yang pasti, yang masih diragukan adalah kedudukannya sebagai pemikir, sesuatu yang menuntut orisinalitas) yang mengajukan kritik tajam terhadap kemapanan dalam pemikiran keagamaan kaum muslimin kita saat ini.
Salah satu wajah kemapanan itu adalah tradisionalisme, yang justru ditampilkan oleh keterpautan kepada ‘kitab kuning’. Wajarlah kalau Prof Harun Nasution beranggapan seperti itu, dan menolak kehadiran ‘kitab kuning’ sebagai sesuatu yang diperlukan dalam tradisi keilmuan di IAIN.
Namun yang patut dipertanyakan ialah generalisasi yang dibuat olehnya akan fungsi ‘kitab kuning’ yang hanya dilihatnya sebagai sesuatu yang negatif, sesuatu yang harus dijauhi mahasiswa asuhannya.
Di bawah ini dicoba untuk mendudukkan permasalahannya pada kedudukan lebih proporsional, guna mendewasakan pemikiran kita sendiri tentang salah satu aspek penting dari tradisi keilmuan yang telah berkembang di kalangan pemikiran keagamaan kaum muslimin di negeri ini. Apakah gerangan makhluk yang bernama ‘kitab kuning’ itu, apakah peranannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan agama Islam, dan bagaimanakah keadannya kini?
“Kitab Kuning” apakah itu?
‘Kitab Kuning’ adalah eufemisme yang diletakkan pada literatur keagamaan tradisional yang sudah berkembang di lingkungan pondok pesantren kita sejak masuknya ‘budaya barang cetakan’ kemarin. Buku-buku agama dalam berbagai bidang (misalnya Tauhid, Fiqh, Akhlaq, dan perangkat pemahaman ketiga bidang tersebut) yang diimpor kemari dari Timur Tengah dan anak benua India, telah digunakan disini dalam lingkup masif sejak dimulainya hubungan teratur dalam ‘lalu lintas keagamaan’ dengan kedua kawasan tersebut. Kebanyakan kitab-kitab agama itu dicetak atas kertas kuning, tidak dijilid (dibagi dalam unit enam belas halaman yang dinamai kurasy, sehingga sebuah kitab diiukur dari berapa kurasy kandungannya), dan dengan lay out tersendiri. Isi halaman dikepung garis empat persegi panjang, dengan teks utama (matan) ditempatkan di atas dan komentar atasnya diletakkan di bagian bawah, dengan dipisahkan oleh garis pemisah tebal.
Sebagai peoduk ilmiah, ‘kitab kuning’ adalah karya keagamaan yang berjarak waktu sangat luas. Bisa karya yang ditulis seribu tahunan, seperti karya-karya Al-Ghazali. Dapat juga karya yang baru ditulis puluhan tahun yang lalu belaka, seperti karya kedua ulama terkemuka di Mekkah sekarang: Syekh Yassin Padang (umumnya dalam fiqh dan perangkat penunjangnya) dan Syekh Muhammad Alawi Al-Maliki (umumnya dalam Hadis).
Secara keseluruhan produk yang tertuang dalam ‘kitab kuning’ itu memang hanya merupakan pengulangan belaka dari disiplin ilmu-ilmu keagamaan yang sudah lama mapan dan tidak berkembang lagi, ‘disahkan’ oleh Al-Sayuti lima ratus tahunan yang lampau dalam karyanya Itmam Al-Dirayah, sebagai ‘keempat belas ilmu pengetahuan agama (Islam)’. Atas dasar inilah mereka yang ingin memodernisir pemikiran keagamaan kaum muslimin senantiasa menganggap ‘kitab kuning’ sebagai pertanda dari ‘kebekuan proses berpikir, kemandegan dan kemacetan yang membuat mereka tertinggal dari umat-umat lain’. Patutlah kalau ‘kitab kuning’ lalu diusahakan agar masuk dalam ‘daftar hitam’ literatur yang tidak diperlukan.
Tak dapat dipungkiri, kenyataan memang menunjukkan bahwa secara formal tidak ada lagi pengembangan wawasan keagamaan yang dibawakan ‘kitab kuning’ itu. Baik dalam arti kuantitatif, yaitu pengembangan disiplin pengetahuan keagamaan baru di luar ‘bidang yang empat belas’ di atas, maupun yang bersifat kualitatif dalam arti perubahan mendasar dalam metode berfikir yang digunakan.
Cara yang digunakan hanya bercorak deduktif belaka, atas landasan logika skolastik dari abad pertengahan, di mana kesimpulan dan pendapat ditarik dari firman suci, sabda Nabi dan pendapat ulama. Dilihat dari sudut ini, pantas kalau orang lalu bersikap berang terhadap ‘kitab kuning’, apalagi kalau dilihat ia masih digunakan secara luas di kalangan pondok pesantren tanpa ada ‘pemeriksaan ulang’.
Memainkan peranan penting
Tetapi sikap seperti itu sebenarnya tidak berpijak kepada realitas yang penuh, sehingga akhirnya tidak relevan terhadap kenyatan kompleks yang berkembang dalam kehidupan. Bagaimanapun juga dapat dikemukakan kalangan pondok pesantren juga tidak kurang mengalami perubahan cara berpikir dan sudut penglihatan mereka. Ini adalah kenyataan yang terjadi, hasil pengamatan selama berpuluh tahun.
‘Kitab kuning’ memainkan peranan penting dalam hal itu sejauh peranan itu dimengerti dalam konteks yang benar dan luas. Yaitu bahwa dalam deretan ‘kitab kuning’ harus juga dimasukkan karya-karya tulis ulama kita sendiri selama seabad yang terakhir. ‘Kitab kuning’ karya Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Zaini Dahlan Rembang, Kiai Saleh Darat (Semarang), adalah contoh dari karya-karya seperti itu. Salah satu contoh paling cemerlang adalah ‘kitab kuning’ berjudul Siraj Al Talibin, dua jilid karya Kiai Ihsan Jampes (Kediri) yang terbit di Kairo menjelang Perang Dunia II. Komentar atas traktat klasik Al-Ghazali berjudul Minhaj Al’ Abidin, karya kiai Jawa yang satu ini kini telah dipakai kajian lanjutan tentang Tasawuf dan Akhlaq di seluruh penjuru dunia, termasuk dalam tingkat pasca-sarjana di Al-Azhar di Mesir. Ironisnya, hampir-hampir tidak dikenal oleh kalangan IAIN, kecuali mereka yang berasal usul pemikiran pondok pesantren.
Dalam ‘baju’ konvensionalnya karya-karya ulama kita bagaimanapun juga memancarkan sebuah kenyataan penting. Proses berpikir mereka diharapkan kepada tantangan modernisasi yang diintrodusir oleh masyarakat sendiri.
Dalam tradisi serba konvensional itu dapat dilihat adanya beberapa butir penting yang sama sekali tidak boleh diabaikan. Pertama, persambungan tradisi keilmuwan yang menetap, dengan penetapan standar penguasaan ilmiah yang ketat. Dengan menolak ‘kitab kuning’, sekarang sudah tampak betapa jauh penyusutan yang terjadi dalam penguasaan standar tersebut, terbukti dari rendahnya kualitas keilmuwan pada sarjana IAIN dewasa ini.
Kedua, responsi yang harus dibuat oleh para ulama kita melalui karya-karya mereka, bagaimanapun juga akan berputar pada wilayah penetapan dan pengembangan metode berpikir. Ini bisa terjadi pada esensi metodologisnya, seperti dikehendaki Prof Harun Nasution sendiri (dengan semboyan penyegaran dan pembaharuan pemikiran keagamaan), dapat pula berupa perubahan atau perluasan wawasan, di mana kerangka yang ada diterapkan.
Yang terakhir ini adalah jalan yang diambil oleh para ulama. Dengan tidak mengubah sama sekali skolastisisme dan formalisme yang mereka anut, mereka terapkan metode berpikir yang telah mereka kuasai itu atas wilayah kehidupan yang jauh lebih luas. Maka masuklah masalah Keluarga Berencana, perbaikan gizi, perbaikan pendidikan, dan lain-lain wilayah ‘baru’ dalam ‘kawasan keagamaan’ mereka. Ini penting artinya bagi kita, katakanlah sebagai rekonstruksi parsial atas pola pemikiran keagamaan.
Ketiga, pemantapan tradisi keilmuwan tidaklah harus dipertentangkan kepada kebutuhan penyegaran, dan bahkan pembaharuan sedikit pun. Justru kedua proses itu harus bertitik tolak dan berpangkal pada pengenalan mendalam atas tradisi yang sudah sekian lama berkembang, untuk memungkinkan kita memperoleh keutuhan dan kebulatan ‘watak pemikiran’ kita sendiri dalam proses yang berkembang nanti.
Negasi total atas sesuatu yang begitu kaya dengan pengalaman dan kebijaksanaan, hanyalah berarti pemiskinan rohani kita sendiri. Iqbal yang pembaharu, adalah justru orang yang mampu memahami kebesaran pemikiran metodologis Imam Syafi’i terlepas dari penerimaan atau penolakannya terhadap pemikiran tokoh itu sendiri.
Karenanya, tidak salahlah kiranya kalau di sini diusulkan agar ‘kitab kuning’ yang sudah terlanjur masuk ‘daftar hitam’, dapat ‘diputihkan’ lagi.