Penghentian Perang Berada di Ambang Pintu
Oleh: K.H. Abdurrahman wahid
Seorang tokoh senior Jepang menghubungi penulis. Ternyata, Perdana Menteri Koizume mengajukan pertanyaan yang sama sekali tidak terduga. Bila Jepang menerima tugas mengirimkan pasukan-pasukan perdamaian di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke Afghanistan, dapatkah hal itu diterima oleh kaum muslimin di seluruh dunia? Penulis menjawab, yang diminta oleh kaum muslimin yang rasional adalah kerangka multilateral, seperti PBB, dalam pencarian kaum teroris yang dituduhkan atas diri Osamah Bin Laden. Kalau ini benar, tentu kehadiran Jepang dalam pasukan pemelihara perdamaian akan berjalan wajar, selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Jepang sendiri.
Masalah kedua jauh lebih pelik, yaitu masalah motif Amerika Serikat (AS). Jika Pemerintahan Nasional baru dapat dibentuk di Afghanistan dan pasukan pemelihara perdamaian PBB beroperasi di sana berarti AS akan menghentikan campur tangannya di negara tersebut, baik melalui pengeboman maupun pengiriman pasukan khusus (special forces). Jika hal itu yang terjadi, tidakkah ini berarti mundurnya AS–tanpa diumumkan dari negara tersebut? Lalu apakah motif AS dalam hal tersebut, demikianlah apa yang ditanyakan oleh Koizume. Jawaban atas pertanyaan tersebut, ditemukan oleh penulis dalam usulan dinas rahasia AS, CIA (Central Intelligence Agency) yang diajukan ke Gedung Putih. Dalam usulan tersebut CIA meminta agar pengeboman atas Irak dimulai kembali. Inilah yang membuat, mengapa AS harus cepat-cepat meninggalkan Afghanistan. Ia harus berkonsentrasi pada penyediaan kekuatan untuk membom kembali Irak. Untungnya pikiran gila ini ditolak oleh Senat AS melalui komisi luar negerinya. Karena itu, kini, AS kembali sibuk melakukan persiapan untuk mengebom lagi Somalia. Tentu saja dengan alasan mencari Osamah Bin Laden, walaupun orang itu belum tentu berada di negara tersebut.
***
Dikatakan orang, bahwa perang adalah penerusan perundingan yang alot. Kalau dibalik, tentu dapat dikatakan bahwa perundingan akan berlangsung kembali manakala perang tidak menghasilkan apa-apa. Diktum sangat sederhana ini telah terbukti berkali-kali diterapkan dalam hubungan antarnegara. Sejarah dunia telah membuktikan berkali-kali kebenaran ungkapan Von Clausewits ini, yang dibuat dalam meninjau jalannya hubungan internasional melalui peperangan.
Pemecahan persoalan antarbangsa dengan kekerasan saja jelas terbukti tidak dapat dilakukan. F 16 Israel dan dentuman meriam serta deru tank, misalnya, ternyata tidak mampu menundukkan kaum militan Palestina. Tetapi, hantaman bertubi-tubi Israel telah memaksa Yasser Arafat bersikap tegas terhadap mereka. Dengan demikian, dapat diharapkan–untuk selanjutnya, pemerintahan Palestina akan lebih bersikap konstruktif dalam perundingan dengan Israel. Dalam pada itu, pendekatan garis keras Israel yang main gebuk saja ternyata tidak membawa hasil, hingga kedudukan pecinta perdamaian di negeri Yahudi itu menjadi lebih kuat lagi. Hal ini, ditampakkan dalam figur Simon Perez, yang mengumumkan sikap baru Yasser Arafat itu melalui media massa.
Tentu saja, perundingan perdamaian akan berjalan sangat alot antara kedua belah pihak. Tapi, kedua belah pihak mau tidak mau harus mengakui, perundingan masih lebih baik daripada penggunaan kekerasan dalam hubungan kedua negara. Jelaslah, di sini, perundingan merupakan jalan terbaik guna menyelesaikan sengketa antara Israel dan Palestina. Bukankah ini berarti perundingan akan lebih mungkin membawakan penyelesaian damai antara kedua belah pihak?.
***
Penulis berpendapat, sehubungan dengan hal di atas, hubungan dengan berunding di bawah permukaan dapat berlangsung terus antara India dan Pakistan. Bukankah masalah Jammu dan Kashmir merupakan masalah yang penting untuk dirundingkan karena merupakan masalah yang paling sensitif bagi kedua negara? Konflik bersenjata telah banyak menelan korban jiwa, dan tidak ada yang diuntungkan dengan adanya hal itu. Tindakan teror atas majelis rendah (lok sabha) di New Delhi, yang dituduhkan India terhadap Pakistan–tetapi, dibantah oleh negara tersebut, tidak selayaknya menghambat perundingan di bawah permukaan antara kedua negara.
Mulai kembalinya lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) India dalam percaturan Internasional, setelah bertahun-tahun dihantui oleh kegagalan Bank Dunia dalam membiayai pembangunan bendungan Narmada, dikombinasikan dengan munculnya LSM-LSM Pakistan dalam percaturan dunia, merupakan sesuatu yang sangat menarik. Dapatkah kedua negara dapat berunding melaui LSM-LSM mereka? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat penting karena menyangkut kepentingan ratusan juta jiwa manusia.
Hal-hal di atas menujukkan adanya kesediaan untuk berunding oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa antara mereka dengan cara perundingan dan bukannya dengan kekerasan. Pada suatu siang, di kantor PBNU, penulis didatangi utusan Nur Misuari dari Moro National Liberation Front (MNLF) di Filipina yang tidak menolak gagasan penulis untuk menyelesaikan sengketa dengan Moro Islamic Liberation Front (MMILF–juga, dengan cara berunding tanpa kekerasan. Kalau hal itu terjadi, tentu hubungan dengan pemerintahan Gloria Macapagal Arroyo, juga diselesaikan dengan berunding?
Jelaslah dengan demikian, angin perundingan sekarang sedang bertiup ke mana-mana–bukankah Indonesia seharusnya menawarkan penyelesaian sengketa-sengketa yang ada, tanpa menggunakan kekerasan, melainkan melalui perundingan-perundingan damai? Bukankah peranan ini jauh lebih mulia daripada penggunaan kekerasan oleh siapa pun? Tapi, bukankah ini juga berarti sebuah hal lain; yaitu tidak perlu adanya penggunaan kekuatan oleh sesuatu negara atas negara yang lain, alias penggunaan hegemoni kekuatan dalam hubungan Internasional? Dan bukankah ini membuktikan, doktrin kita ‘politik luar negeri yang bebas dan aktif’, adalah sesuatu yang lentur dan kreatif dapat diterapkan dalam suasana perundingan tanpa kekerasan?