Perluasan Cakupan Dakwah
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BERBICARA tentang fungsi Lembaga Dakwah dalam pengembangan Nahdlatul Ulama, ada beberapa unsur yang harus kita pahami terlebih dahulu. Pertama, tentang peta dakwah, kedua tentang pengembangan Nahdlatul Ulama itu sendiri, dan ketiga tentang Khittah Nahdlatul Ulama.
Pengembangan Nahdlatul Ulama yang sesuai dengan khittah yang dirumuskan tahun 1926 sesungguhnya umurnya sudah setua Islam, atau paling tidak, sudah setua kitab Syarah Hikam. Mengapa demikian? Karena disadari atau tidak, sebenarnya kata nahdlah itu sendiri. Bibit nama diberikan oleh KHA Wahab Hasbullah, yang memang ia senang dengan kata-kata itu.
Bibit nama Nahdlatul Ulama itu, pertama diambil dari kata-kata Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918. Yakni sepulang Kiai Wahab dari bermukim di Makah. Kemudian diambil nama untuk sebuah lembaga pendidikan dengan sebutan Nahdlatul Wathan pada tahun 1924 di Kebondalem, Surabaya. Dan terakhir dengan nama Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
Kenapa? Agaknya Kiai Wahab tertarik dengan seorang Ulama yang mengatakan: “Jangan kau bergaul dengan orang-orang yang perilakunya tidak membangkitkan kamu kepada Allah dan kata-katanya tidak menunjukkan kamu ke jalan Allah.” Siapa yang membangkitkan? Semula Kiai Wahab berpikir dan membentuk ketiga macam sebutan tadi, tetapi akhirnya jatuh pilihan itu pada Nahdlatul Ulama. Artinya yang membangkitkan adalah kegiatan keagamaan kepada Allah.
Paling tidak, khittah Nahdlatul Ulama yang mampu membangkitkan itu terdiri dari dua unsur: Perilaku yang membangkitkan dan kata-kata (nahdlah) yang menunjukkan kepada Allah. Lalu patokan apa yang kita pakai dalam khittah yang dirumuskan pada tahun 1926. Pertama, meluaskan cakrawala kita sehingga mencakup beberepa aspek kehidupan (misalnya soal ekonomi, hukum, kebudayaan, santunan atau sosial secara luas). Diperluas cakupannya sehingga sesuai dengan khittah Islam sendiri.
Kita lihat apa yang dilakukan Imam Ghazali, orang yang memperluas ilmu agama. Tadinya ulumuddin hanya ada 4 macam (Al-Fiqh, Al-Quran, Al-Hadis, dan Akhlak). Dalam masalah fikih termasuk fikih besar di dalamnya terdapat fikih kecil yakni, hikam. Oleh Imam Hanafi lalu diperinci hingga sebanyak-banyaknya menurut kebutuhan. Tetapi muaranya tetap kepada 4 besar tadi.
Di zaman Al-Ghazali ilmu agama itu diperluas sama dengan sekarang kalau ada MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) kemudian dikembangkan sampai ada sebutan mata kuliah fakultatif dan lainnya. Di bidang agama, akhirnya juga mencapai pada ilmu-ilmu lain misalnya ilmu mantiq yang berasal dari filsafat Yunani itu dimasukkan ke dalam ilmu agama.
Tidak hanya itu ‘Arudl (ilmu nembang) sebanyak 16 bait itu yang sebenarnya ilmu nyanyi bisa dimasukkan ke dalam ilmu agama. Empat macam ilmu itu dikembangkan, misalnya yang dirumuskan oleh Jalaluddin As Suyuthi sekitar 500 tahun lalu (wafat tahun 909H), dalam Itmamut Dirayah. Tapi kalau kita lihat di IAIN mungkin lebih dari itu, pemekaran sudah luar biasa besarnya.
Perhatian Ulama sebelum Nahdlatul Ulama berdiri hanya sebatas masalah keagamaan yang bersifat ta’lim wa ta’allum (ngaji dan ngajar ngaji), lainnya tidak diorganisir, tapi bukan berarti tidak ada. Pesantren dulu hanya memiliki sekitar masalah tersebut, program yang macam-macam belum ada. Tetapi setelah Nahdlatul Ulama berdiri ia mengalami perluasan yang cukup besar. Kegiatan agama tidak hanya terbatas pada masalah belajar-mengajar, tetapi sudah meluas hingga pelayanan sosial dengan berdirinya rumah yatim.
Itu pun sebenarnya karena kompetisi dengan Muhammadiyah, juga karena timbulnya mabadi khaira ummah yang diambil dari ayat kuntum khaira ummatin… yang dirumuskan oleh Kiai Abdullah Ubaid dan dikembangkan kemudian oleh KΗ Mahfud Siddiq yang akhirnya diterima Muktamar Krapyak — dan diteruskan di Munas Lampung (1991). Muncullah bidang garapan baru di bidang ekonomi. Meski sebenarnya kerja ini sudah ada, namun secara konsep organisasi, baru mapan betul ketika diterimanya konsep mabadi khaira ummah.
Namun dakwah kita, sayangnya masih mempunyai konotasi atau mafhum belajar-mengajar saja. Dengan pemahaman itu Da’i Nahdlatul Ulama harus bisa mengajar seperti Kiai Sukron Makmun. Dan dokterandus sekalipun jika tidak bisa begitu, tidak dianggap da’i. Mereka hanya sebagai calon da’i sekalipun usianya sudah tua. Atau lebih sopan lagi disebut “muballigh muda”.
Jadi jelas, cakupan kegiatan Nahdlatul Ulama sudah berkembang, tidak hanya belajar-mengajar. Sebab di luar itu, seperti masalah sosial, ekonomi, hukum dan pendidikan berkembang begitu rupa. Sudah tumpang tindih dengan permasalahan yang ada di masyarakat. Ini yang ingin saya katakan, bahwa dakwah itu harus semakin memasuki bidang-bidang lain. Kalau orang Kristen missinya sudah sampai membela kaum komunis dalam hak-hak politiknya, kenapa kita belum sampai kesana. Kita paling-paling baru pada umat transmigran, dan yang serupa dengan itu.
Padahal dalam perkembangan sekarang ini cukup banyak seginya. Misalnya dalam profesi dan semacamnya. Untungnya dalam hal profesi beberapa orang muslim sudah mengarahkan ke LSM.
Alhamdulillah, Nahdlatul Ulama ikut, meski belum dikenal LDNU. Saya usulkan, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama bisa mengundang mereka, sebab perjuangan mereka itu ada di garis depan, langsung berhubungan dengan masyarakat.
Jadi sebenarnya khittah Nahdlatul Ulama itu jangkauannya semakin luas. Otomatis unsur-unsur lembangnya (Ansor, muslimat dll) dan unsur bidangnya seperti LDNU, Maarif, dll, akan mengalami pemekaran sama dengan Nahdlatul Ulama. Sebab warganya juga mengalami pemekaran dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya bahwa penduduk Gunung Muria dibahayakan oleh rencana pembuatan reaktor nuklir. Tidak satu pun ahli nuklir mengatakan seratus persen tidak membahayakan penduduk, semua tanda tanya. Hanya di Indonesia tanda tanya itu tidak terbaca. Kalah dengan pidato Menteri Ginanjar Kartasasmita misalnya. Padahal di daerah tersebut banyak warga Nahdlatul Ulama.
Hal ini sudah menjadi garapan orang Nasrani, nasionalis, Muhammadiyah, dan tidak oleh Nahdlatul Ulama. Saya cuma ngelus dhadha yang mengambil alih problem warga Nahdlatul Ulama itu ternyata banyak orang luar. Lha pemimpin Nahdlatul Ulama-nya kemana? Mereka hanya aktif dengan pak Bupati dan Gubernur saja. Artinya begini, kita tidak bisa melakukan deferesiansi peranan atau tanawu’iyah asy-ya’. Model kita itu masih kayak bebek saja.
Sebenarnya kita harus berani koreksi terhadap langkah yang sudah kita lakukan. Di sini kita kalah dengan orang lain. Orang lain sudah melakukan banyak garapan, misalnya soal lingkungan, tetapi kita, kalau di situ ya diam saja di situ. Bahkan kadang tidak mau pindah, sebab keenakan. Orang yang di luar kita anggap sebagai pembelot. Misalnya di DPR, semua harus berkiblat ke sana, yang tidak sama bajingan.
Ini yang dialami Pak Subhan ZE (mantan ketua PBNU). Ia ingin mengadakan pemekaran, tapi dicari kesalahannya ngalor ngidul, habis-habisan. Untung dia mati muda. Kalau tidak, ya dibeber-beberkan kesalahannya. Seperti saya sekarang ini. Siapa yang berbuat begitu? Ya pihak luar yang pinjam tangan-tangan orang Nahdlatul Ulama.
Sebenarnya harus bagi peranan, siapa yang di luar, siapa yang di dalam. Ada yang bertugas konsepsional ada pula yang oprasional. Kalau tidak demikian dakwah kita itu tetap berjiwa ta’lim wa ta’allum. Dengan segala permintaan maaf saya kepada pak Sukron, saya mau tanya: dakwah model ini tinggal berapa usianya. Bukan karena mubalignya, tetapi sejauh mana bisa melayani perkembangan masyarakat yang begitu cepat ini, sementara dakwah masih bermodel belajar-mengajar.
Kenapa para kiai dulu berhasil. Mereka tidak karena pidatonya, tetapi karena pemahaman dan kepedulian atau srawungannya terhadap rakyat orang-perorang dia kenal. Memang dulu hanya se desa. Begitu masuk zamannya KH. Yasin Yusuf tahun 50-an tablig berubah di atas panggung, terhadap rakyat hanya kenal wajah. Apalagi sekarang, Ustadzah Suryani Thohir yang pidatonya terdengar di pelosok Jabotabek karena kebetulan radio menyiarkannya, sulit terjangkau oleh orang-perorang. Karena tekananya hanya terhadap bintang-bintang itu. Nah, kalau bertanya mengapa banyak warga yang menjadi tanashshor, itu karena lepas pembinaan.
Nah, kalau misalnya diperluas, ta’lim wa ta’allum itu berisi muatan yang luas, lain masalahnya. Maka itu berarti harus bisa dakwah bil kirab. Tapi lihat saja sekarang kenapa hal itu diambil Mbak Tutut, itu tadi sebabnya.
Saya hanya ingin menyampaikan perlu adanya “tangki pemikiran” untuk mengonsep pola dakwah dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai pelaksana di berbagai bidang yang diperluas tadi. Dakwah mampu menembus berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Dakwah Nahdlatul Ulama harus juga tunduk dengan pemekaran wawasan khittahnya dengan berbagai bidang garapannya. Bukan seperti pidatonya pak Sukron, isinya berkelai dengan Syiah, Ahmadiyah dll. Kita harus kembali ke khittah yang berarti kembali kepada produk ulama 14 abad silam. Yakni termasuk memperhatikan nasib rakyat kecil, jangan ngomong tok.
Cakupan luas dakwah ini merupakan keharusan. Tapi juga pamahaman bahwa dakwah itu juga harus mengalami deferesiansi bentuknya. Perbedaan peran itu perlu. Mari kita lihat kenyataan, bacaan anak-anak kita adalah bacaan Kristen, mulai dari Cinderella hingga Putri Salju. Kita punya majalah Bintang dan Ananak Saleh, tapi kita beranteni terus-menerus sampai keduanya kurus.
Kita ini tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, termasuk saya juga, kurang memperhatikan soal itu. Hanya dua orang Nahdlatul Ulama yang punya kepedulian besar sekali. Yakni Ar-man Ar-Raisi dan KH Ahmad Mustofa. Saya terhitung salah. Sebab saya lebih suka politik ketimbang cerita anak-anak. Jadi, mobil kita harus kita preteli lalu dibangun lagi. Tapi dipetakan dulu oleh tim permasalahan, apa yang seharusnya kita perbuat?
Saya mohon kepada semua pihak, saya ingin mundur dari Nahdlatul Ulama. Karena memang sangat berat memikul apalagi mengatur Nahdlatul Ulama. Itu juga untuk kepentingan regenerasi dalam Nahdlatul Ulama sendiri. Tapi jangan khawatir, saya akan bantu pemikiran-pemikiran yang dibutuhkan Nahdlatul Ulama, meski saya berada di luar Nahdlatul Ulama.
Pengarahan KH Abdurrahman Wahid Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, pada Musyawarah Kerja Nasional Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, 1-4 November 1993, di Hotel Gondangdia, Bogor (Ditranskrip Aan diedit oleh A. Choliq)