Pertahanan Memang Mahal

Sumber Foto: https://www.satuharapan.com/read-detail/read/ri-kerahkan-tiga-jet-tempur-sukhoi-cegah-infiltrasi-isis

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ketika tulisan ini dibuat pesawat tempur Sukhoi yang dibeli dari Rusia Eropa Timur mendarat di Lanuma Iswahyudi Madiun. Pembelian pesawat itu memang menjadi bahan pembicaraan dan pertentangan. Kesimpulan saya, pembelian pesawat Sukhoi itu dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politis, bukannya alasan-alasan teknis. Terlepas dari sikap setuju atau tidak atas pembelian pesawat terbang tempur jenis itu, hal itu sangat mengherankan. Pembelian peralatan tempur dimana saja di dunia ini, pertama-tama tentulah di dasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teknis, bukan karena alasan-alasan politis. Sewaktu masih menjabat sebagai Presiden, penulis memerintahkan untuk meneliti mengapa mantan Presiden Soeharto dan Habibie tidak jadi membeli jenis pesawat tersebut. Menhan (Menteri Pertahanan) Prof. Mahfud MD menyatakan hasil diskusi dilingkungan Departemen tersebut. Ia menyimpulkan atas dasar pertimbangan-pertimbangan teknis, pesawat Sukhoi tidak layak dibeli karena jangkauannya dari Lanud Iswahyudi di Maospati (Madiun) tidak mencapai bentangan teritorial Republik Indonesia dari Timur maupun Barat.

Penulis memutuskan untuk tidak membawa masalah pembelian pesawat Sukhoi itu ke dalam sidang-sidang kabinet maupun forum-forum lainnya, karena memang sudah tidak ada keinginan membelinya. Walaupun Amerika Serikat masih memberlakukan embargo suku cadang F.16 Falcon dan pesawat-pesawat lainnya. Pemerintah waktu itu tetap tidak melakukan pembelian Sukhoi, karena ketidaklayakan teknis tersebut. Ditambah dengan krisis keuangan dan ekonomi yang kita hadapi hingga saat itu, sebagai bagian dari krisis multi-dimensional, dengan sendirinya pembelian semua jenis pesawat militer ditiadakan. Ini adalah keputusan yang sangat sulit diambil, karena memang kita berada dalam masa krisis berkepanjangan. Karenanya sangat mengherankan sikap terakhir pemerintah yang jadi juga membeli pesawat tempur itu, sedangkan krisis belum berakhir dan pertimbangan-pertimbangan teknis tetap menjadikan bahwa Sukhoi tidak layak dibeli. Akhirnya pembelian itu mendapatkan reaksi yang hebat dimana-mana, walaupun upaya untuk “membungkam” media massa kita, memang untuk sementara dapat dilaksanakan. Namun dalam jangka panjang keputusan itu tetap saja akan dikritik oleh banyak orang, akibatnya akan semakin banyak kredibilitas pemerintah yang hilang.

Sikap tidak mementingkan faktor-faktor diatas justru merupakan permulaan dari pandangan yang tidak mementingkan pertahanan negara, yang penulis rasa sangat tidak tepat untuk diikuti. Apalagi mengingat bentangan tanah air kita yang sangat luas, dan sejumlah pulau-pulau di negeri kita memang tidak didiami manusia. Peristiwa manuver lima pesawat angkatan laut AS dari jenis F-18 Hornet di atas pulau Bawean, masih terasa sangat pahit bagi kita, yang kemudian disusul dengan sejumlah manuver dua buah kapal perang AS disebelah Barat Natuna di Riau, tanpa ada protes berarti dari pemerintah kita. Padahal tindakan-tindakan AS ini, oleh Prof. Dr Ahmad Syafi’i Ma’arif dinilai sebagai manifestasi sikap dari kaum Imperalis. Marilah kita renungkan lanjutan pendapat profesor kita itu: masihkah kita mempunyai kedaulatan sebagai bangsa dan negara? Pendapat ini dikemukakan beliau dihadapan penulis sewaktu mengikuti acara rekaman SCTV di Hotel Intercontinental, Selasa 26 Agustus 2003 yang lalu.

*****

Hari ini kita secara resmi menerima pesawat tempur Sukhoi, yang entah apakah harga pembeliannya dengan mark up atau tidak. Tiga buah pertanyaan harus dipikirkan jawabannya secara matang pertimbangan apakah yang seharusnya dipakai dalam pembelian alat-alat pertanahan kita? Sampai seberapa jauhkah kita harus berani membayar pembelian alat-alat pertahanan itu? Dengan kata lain, apakah batas-batas yang harus kita gunakan dalam pembelian alat-alat pertahanan? Tanpa mengurangi hormat penulis kepada pertimbangan-pertimbangan lain, rasa-rasanya tiga sisi yang penulis kemukakan sebagai pertanyaan itu, merupakan dasar bagi kokohnya kehidupan kita sebagai penganut paham demokrasi sebagai bangsa dan negara.

Dalam pandangan penulis, menyusun pertahanan sebuah negara harus memenuhi dua sisi yang sangat penting, sisi aspek teknis dan aspek politis. Aspek politis telah kita miliki dalam kehidupan sebagai bangsa, walau dalam beberapa hal justru berlebihan. Bagaimana mencari keseimbangan antara keduanya, agar tidak saling merugikan. Jika antara sisi teknis dan politis itu bertentangan maka yang digunakan adalah pertimbangan teknis yang oleh teori hukum Islam/Ushul Fiqh dirumuskan sebagai “kepentingan umum” (al-Maslahah al-Ammah) adalah keseimbangan tersebut. Inilah pertimbangan utama yang harus digunakan dalam pengambilan keputusan. Betapa hal ini harus dikemukakan terus-menerus. Konsekuensinya bagi kehidupan kita, kalau keseimbangan ini kita lalaikan kita akan mengembangkan aspek teknis dan mementingkan aspek politis. Contohnya ketika aspek hukum dibuang dalam pelaksanaan SI (Sidang Istimewa) MPR dua tahunan yang lampau, hasilnya adalah menangnya aspek politis sebagai satu-satunya bahan petimbangan dan terjadinya pelanggaran konstitusi yang berujung pada pelengseran presiden.

Nah, keseimbangan seperti itulah yang harus kita gunakan dalam pengambilan keputusan politik, bukannya pengabaian aspek teknis dan penggunaan pertimbangan politik belaka. Seperti dalam pembelian pesawat tempur Sukhoi, yang jelas digunakan hanyalah pertimbangan politis saja karena jelas sekali pertimbangan-pertimbangan teknis diabaikan secara total, betapapun murahnya harga pesawat tempur tersebut. Rasa keamanan dalam diri kita lalu hilang, karena pertahanan udara kita lalu menjadi “tidak cukup”. Bagi mereka yang bertanggung jawab langsung atas pertahanan udara kita memang sangat mengerikan, bertugas melakukan pertahanan di kawasan udara tanpa peralatan yang cukup. Memang belum tentu ada serangan di jaman ini atas wilayah udara kita, namun kesiagaan mengharuskan kita menggangap dapat saja serangan terjadi sewaktu-waktu.

*****

Sampailah kita kepada sebuah pertanyaan sangat mendasar bagi kehidupan sebuah bangsa: Berapakah batas sebuah bangsa harus membayar biaya pertahanan? jawabannya ada dua yaitu minimal dan maksimal. Biaya minimal adalah sekedar mempertahankan sebuah teritori saja, dengan membiarkan kawasan lain di negara tersebut “terbuka” dari serangan luar, namun akan dibalas secara total dari kawasan lain. Contohnya adalah kawasan Rub Al-Khali (seperempat kawasan kosong) yang ada di timur laut Saudi Arabia, berbatasan dengan Kuwait dan Jordan. “Pertahanan longgar” itu karena keseluruhan teritori Saudi Arabia adalah tanah daratan yang bersambung, sehingga dapat dilakukan “serangan balik” atas daerah yang diduduki musuh. Tetapi negara kita tidak demikian halnya karena banyak pulau yang dengan mudah dapat diduduki musuh tanpa kita melakukan serangan balik atas daerah yang telah direbut itu, karena merebut kawasan dengan melakukan pendaratan jauh lebih besar korban yang harus ditanggung dan biaya yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, pertahanan dengan biaya maksimal harus dipergunakan untuk negara kepulauan seperti negeri kita. Ditambah lagi adanya rimba belantara di pulau-pulau kita yang sangat banyak, pertahanan harus lebih banyak ditekankan kepada pesawat tempur yang sangat cepat, kapal-kapal perang yang cepat pula, pemindahan serdadu dari tempat ke tempat dengan menggunakan pesawat angkut ringan ataupun helicopter. Ini berarti biaya yang sangat besar untuk mempertahankan kedaulatan wilayah kita. Demikian pula, luasnya kawasan negara kita memerlukan biaya pertahanan yang sangat tinggi dan ini berarti perlunya keseimbangan antara pengeluaran negara dan penerimaannya. Karenanya perekonomian kita harus meningkat terus menerus, guna memungkinkan tercapainya penghasilan yang besar melalui pajak.

Jelas dari tulisan di atas, penulis termasuk orang yang menginginkan kesiapsiagaan prima dalam pertahanan kita. Dan kaitannya dengan hal itu, penulis beranggapan ekonomi kita harus terus-menerus “bergerak keatas” dalam tatanan yang kreatif. Sumber-sumber kekayaan alam, hasil hutan-hasil tambang- kekayaan laut harus diolah begitu rupa, sehingga memberikan penghasilan besar bagi warga negara kita secara keseluruhan, guna memungkinkan jumlah besar penghasilan negara dari pajak. Tetapi ekonomi seperti itu mengharuskan usaha kecil dan menengah berkembang pesat, guna memungkinkan partisipasi maksimal semua orang warga negara dalam proses perkembangan ekonomi seperti itu. Tidak dibenarkan ketimpangan-ketimpangan dalam struktur ekonomi yang hanya menguntungkan kaum kaya saja, karenanya harus ditegakkan “ekonomi rakyat”. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?