Piala Dunia ’86 dan Penalti
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Masalah sudah dipertikaikan sejak Piala Dunia 1982 di Spanyol. Ketika kesebelasan Prancis kalah dari tim Jerman Barat dalam semifinal, lewat adu penalti. Tidaklah adil, kesebelasan yang penampilannya jauh lebih baik dan menggairahkan justru dikalahkan secara demikian. Itupun oleh kesebelasan yang dianggap tidak mengesankan. Kelebihan stamina dan kecerdikan siasat sajalah yang berperan, bukannya permainan bolanya sendiri. Jerman Barat mengandalkan kemampuan bertahan. Setelah bertanding dengan hasil seri dan waktu bertanding tambahan 2×15 menit, kemenangan diselesaikan melalui kehebatan para penendang bola penalti dan kebolehan penjaga gawang sendiri, Harald Schumacher.
Piala Dunia 1986 justru memperkokoh anggapan seperti itu. Betapa tidak! Tiga dari empat kesebelasan mencapai semifinal melalui adu penalti, termasuk Prancis yang dahulu dikalahkan dengan cara itu. Tidak heran kalau manajer kesebelasan Spanyol naik pitam. Miguel Munos marah-marah karena tim asuhannya dikalahkan Belgia dengan cara itu. Padahal ia yakin, kesebelasannya lebih baik dalam segala-galanya. Tidak adil, begitulah perasaan hati yang dimuntahkannya kepada media massa. Perasaan yang sama tentu dirasakan pihak Brasil, korban lain dari cara adu penalti itu.
Kalau cara ini yang dipakai terus-menerus, pihak Amerika Latin yang akan rugi, karena pada umumnya jarang memiliki kiper handal. Seperti sudah ditakdirkan Tuhan, kepiawaian di bawah mistar gawang terpusat di negeri-negeri Eropa. Dan sekarang, di Benua Afrika (sejak Kamerun di tahun 1982 dan Maroko tahun 1986), mencari padanan Renat Dessayyev dari Uni Soviet. Jean Marie Pfaff dari Belgia dan Peter Shilton dari Inggris di Amerika Latin, tentu sangat sulit.
“Seperti sudah ditakdirkan Tuhan, kepiawaian di bawah mistar gawang terpusat di negeri-negeri Eropa”
Ketika tulisan ini diselesaikan, pertandingan semifinal Piala Dunia 1986 belum berlangsung. Namun sudah ada pemantau yang menjagokan Jerman Barat atas Prancis. Kalau sampai tercapai hasil seri lagi, Prancis akan kalah dalam adu penalti. (Hasil pertandingan akhirnya Prancis-Jerman Barat 2-0—Red). Terang, kualitas Schumacher lebih unggul dibandingkan kiper Prancis, Jules Bats. Sedangkan penembak-penembak Jerman jauh lebih baik pula. Padahal, sebenarnya hasil seri lalu beradu penalti seperti itu sangat kecil kemungkinannya kali ini. Pola pemainan kedua belah pihak justru menjanjikan kekuatan menyerang yang tinggi. Bukan hanya karena daya tahan dobrak dua penyerang di depan, melainkan juga lini tengah yang haus gol. Sistem 4-4-2 yang digunakan baik oleh Prancis maupun Jerman Barat sama-sama mengandalkan kecepatan memulai serangan begitu bola lawan dapat direbut. Pemain tengah seperti Platini, sebagai penyerang lapis kedua, jauh lebih berbahaya daripada penyerang murni seperti Stopyra. Jerman Barat punya Pierra Littbarski yang selalu gentayangan ke ujung lapangan di depan. Padahal di sana sudah ada penyerang murni Rudi Voeller dan Klaus Allofs.
Walaupun demikian, kemungkinan menang melalui adu penalti dalam semifinal kali ini tetap ada, betapa kecil sekalipun. Babak penyisihan dan babak kedua pertandingan Piala Dunia 1986 memperlihatkan gegabahnya pandangan yang menyepelekan hal itu. Karenanya tetap saja aktual untuk mempersoalkan cara adu penalti tersebut. Adilkah ia?
Sebenarnya tidak tepat untuk menggunakan kata adil bagi sepak bola. Sejak semula sudah dimasuki unsur keberuntungan dan kesialan melalui cara mengundi dalam sebuah kompetisi. Ada yang masuk “grup maut” dan ada yang ‘melenggang kangkung’ dalam tahap pertama kompetisi. Belum lagi faktor lain, seperti cederanya pemain atau konyolnya wasit, seperti dialami Spanyol dalam pertandingan grup dan Inggris ketika melawan Argentina dalam perempat final.
Namun, hal-hal yang secara kebetulan seperti itu tidak terasa sebagai ketidakadilan bila terjadi, berbeda dari kemenangan lewat adu penalti. Namun, untuk menunjang tuntutan Munos agar sistem itu digantikan dengan cara pertandingan ulang, perlu ditilik masalahnya dengan teliti.
Cara adu penalti itu timbul dari kenyataan, bahwa dalam dasawarsa yang lalu permainan sepak bola lebih bergeser ke pola bertahan. Sebagian karena memang disengaja berpola pertahanan, sambil menjagakan arus balik dari kegagalan serangan-serangan lawan. Itulah yang dituduhkan Munos ke alamat tim Belgia dalam perempat final kali ini. Sebagian lagi, karena memang kualitas pertahanan semakin lama semakin baik. Tanpa disengaja, berujung pada dominasi sistem bertahan.
Demikian jauh berkembang kecenderungan bertahan itu, sehingga ekses-eksesnya seperti permainan anti-football dari tim Uruguay kali ini lalu dianggap ‘lumrah’. Belum lagi tembok bajanya tim Italia dalam Piala Dunia 1982 dikenal dengan dengan sebutan pola Cattenacio. Peranan jagal seperti Claudio ‘Gadhafi’ Gentile lalu menjadi sama penting dengan penyerang kreatif seperti Paulo Rossi dan kepiawaian kiper top seperti Dino Zoff. Di tangan pemain-pemain artistik, seperti jagal–jagal Italia empat tahun yang lalu, ia masih enak ditonton. Tetapi dimainkan melawan ‘kesebelasan tanggung’ seperti Skotlandia, ia menjadi sesuatu yang membosankan.
Namun, senang atau tidak, sistem bertahan adalah kenyataan. Itupun karena didesakkan oleh kecemerlangan para penyerang masa lampau. Kalau saja Brasil pernah menampilkan rangkaian Pele-Jairzinho-Tostao, jelas tidak dapat kesebelasan lawan memenangkan pertandingan tanpa pertahanan yang lebih tangguh lagi. Brasil sendiri sering menjadi korban karena tidak memiliki pertahanan tangguh di belakang. Itupun masih ditambah oleh kiper gombal seperti Leao. Bahwa sekarang Brasil juga memperbaiki mutu pertahanannya, termasuk mencari dalam ‘kiper mendingan’, adalah bukti dari perkembangan yang memaksakan hukumnya sendiri.
Sistem mengutamakan bertahan juga tidak seburuk yang disangkakan semula. Memang masih banyak yang menggunakannya secara membosankan, namun keseimbangan antara cara bertahan dan menyerang sudah menjadi kebutuhan umum kesebelasan manapun saat ini. Keseimbangan itu diperoleh dengan mengembangkan pertahanan menyerang (attakcing defence) yang dipraktekkan Brasil, Prancis, Uni Soviet dan Jerman Barat kali ini. Hasilnya sering spektakuler, seperti diperbuat bek kanan Brasil, Josimar. Namun, pertahanan menyerang itu justru menjadi hidup bila dilakukan lini tengah seperti “kuartet jaya” Prancis Fernandes-Tigana-Girese-Platini, apalagi kalau didukung pemain belakang Amoros. Seorang berperan penahan (Fernandes), seorang lagi pekerja (Tigana), yang ketiga menjadi pemecah atau breaker (Girese), dan yang terakhir menjadi pengatur serangan (Platini). Kombinasi bertahan dan menyerang yang indah ini. Diakui sebagai yang paling berbahaya saat ini, bukannya yang paling tangguh.
Bahwa cara mementingkan pertahanan akan berujung pada angka sama kuat di akhir pertandingan, adalah konsekwensi logis dari perkembanagan keadaan. Juga bahwa adu penalti lalu menjadi “kebiasaan” dalam kompetisi tingkat dunia, adalah juga akibat logis saja. Begitu pula keharusan memasang penjaga gawang yang handal dan barisan penembak penalti yang jitu. Menyadari hal itu sebagai perkembangan wajar, yang nantinya juga akan berkembang menjadi tahap lain di kemudian hari dalam persepakbolaan dunia, adalah sikap yang realistis dan sehat. Tidak perlu emosional, seperti Munos di atas.
Sebuah pelajaran penting dapat ditarik dari munculnya kecenderungan adu penalti dalam persepakbolaan dunia itu. Bukan hanya bagi persepakbolaan nasional kita saja, melainkan juga bagi upaya demokratisasi kehidupan bangsa. Perkembangan keadaan senantiasa harus dihadapi dengan sikap yang dewasa, bukannya secara emosional. Dahulu dapat dilakukan sikap ‘menyerang’ melalui pernyataan yang bernada garang dan analisis keadaan secara apa adanya saja. Ini memelihara kehadiran perjuangan sendiri saja rasanya sudah cukup beruntung.
“Sikap bertahan” untuk mengadakan perubahan sosial melalui strategi sosio-kutural yang berwatak gradual lalu menjadi kebutuhan yang wajar. Asal saja tidak bergeser dari upaya menumbuhkan demokrasi, menegakkan kedaulatan hukum dan mengusahakan keadilan sosial. Untuk tujuan tersebut, cara “adu penalti” sekalipun harus dapat dimainkan oleh mereka yang menginginkan Indonesia yang lebih baik di masa depan.