Piala Dunia, Eskapisme Bersama Raksasa

Sumber Foto: https://prokabar.com/sejarah-piala-dunia-usa-1994-trofi-keempat-timnas-brasil-dan-tragedi-andres-escobar/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Usai sudah pesta akbar Piala Dunia 1994 di Italia Kemeriahannya diterima oleh banyak orang sebagai eskapisme atau pelipur lara berskala raksasa. la dilihat oleh majalah Time sebagai pelarian manis dari sekian banyak masalah besar umat manusia yang belum kunjung terselesaikan. Namun dalam pandangan penulis, pesta akbar itu menampilkan solidaritas umat manusia yang hakiki. betapapun bedanya manusia, mereka harus dinilai dari capaian objektif yang sama tolok ukurnya.

Secara keseluruhan, Piala Dunia 1994 menunjukkan kualitas lebih rendah bila dibandingkan dengan dua Piala Dunia sebelumnya, (Meksiko dan Spanyol). Bukan menurunnya kemampuan teknis dalam mengolah bola, karena Italia 1994 menunjukkan peningkatan rata-rata yang mengagumkan. Lihat saja, bagaimana para barisan pertahanan mampu mematikan penyerang terbaik sekalipun. Des Walker yang mematikan Roger Milla dan Ivkovvic yang menjadi bintang penyelamat kesebelasan masing-masing. Dalam proses itu mereka memandulkan karier Vialli, Voeller, Lineker dan sederetan para penyerang cemerlang lain.

Argumentasi lain dapat dikemukakan untuk menunjukkan peningkatan individual skill para pemain Piala Dunia 1994 Bukti atas hal itu dapat dilihat pada munculnya para pemin berkemampuan teknik tinggi dari negeri-negeri yang semula tidak diperhitungkan Kamerun, Mesir, Irlandia, dan Columbia adalah contoh dari pemunculan seperti itu Walaupun hanya mampu bertahan dan hanya sesekali menyerang Mesir memperlihatkan kelas teknis tersendiri mampu mengimbangi daya dobrak Belanda, Inggris, dan Irlandia.

Kamerun bahkan lebih hebat lagi. Kalah hanya dalam pengalaman memenangkan pertandingan saja dari Inggris, kesebelasan tersebut mungkin saja dapat menggulung Jerman Barat jika waktu itu sedikit lebih beruntung Mantapnya barisan pertahanan, tengah, dan penyerang Irlandia sekaligus memproyeksikan citra kesebelasan tersebut sebagai tim dengan kelas tersendiri di arena sepak bola dunia di masa depan.

Di sisi lain daya bertahan pola sepak bola kuno yang diperlihatkan Inggris yang sedikit dimodifikasikan dengan umpan pendek dari kaki ke kaki sambil berlari cepat, benar-benar memukau dalam pergelaran ketinggian kemampuan teknisnya. Kedua gol David Platt menunjukkan pentingnya penguasaan teknis, di samping insting membunuh dari seorang penyerang kaliber dunia. Hal yang sama juga diragakan dengan sangat baik oleh Skuhravy dari tim Cekoslovakia dan Roger Milla dari Kamerun.

Apa yang dapat diraih dalam keterampilan individual yang tinggi dalam mengolah bola, ternyata tidak dapat diperlihatkan Piala Dunia 1994 dalam seni mengolah bola dan strategi brilyan dalam mengatur serangan dan pertahanan. Menurunnya kualitas dalam kedua bidang itu lebih diperburuk lagi oleh penampilan emosional dari banyak pemain. Strategi pelatih Belanda Leo Beenhaker dirusak total oleh temperamen tinggi Frank Rijkaard yang terkena kartu merah ketika melawan Jerman Barat. Tanpa Rijkaard sebagai pemati langkah Klinsmann tinggal soal waktu saja bagi Jerman Barat untuk menambah gol.

Kemandulan strategi bertanding tampak nyata dalam penerapan pola terlalu bertahan yang ditunjukkan Argentina, Mesir, dan Yugoslavia dalam setidak-tidaknya satu pertandingan masing-masing. Bahkan Carlos Bilardo menggunakan pola steril itu dalam pertandingan maha penting di partai puncak final Piala Dunia 1994 itu sendiri. Pantas kalau penonton menganggap Bilardo, Maradona dan semua anggota pasukan Argentina hanya mengharapkan hasil seri dan adu penalti saja.

Kemandulan seni mengolah bola dan strategi mengatur permainan itu terlihat jelas sekali dalam pertandingan final antara Jerman Barat dan Argentina. Sehingga secara keseluruhan, pertandingan final itu jauh dari yang seharusnya diperlihatkan pada tingkat dunia. Jauh sekali kualitasnya jika dibandingkan final Piala Eropa antara Belanda dan Jerman Barat dua tahun yang lalu.

Tidak ada yang dapat membantah kemampuan individual para pemain Jerman Barat. Bahkan di luar kebiasaan pemain bertahan seperti Klaus Augenthaler terus-menerus memberondong pertahanan Argentina. Klinsmann tidak pernah berhenti berlari mengejar dan mengocek bola. Voeller tidak mau kalah dari kawan sekaligus pesaingnya itu. Lothar Matthaeus mencoba menampilkan peran sebagai perancang serangan atau playmaker yang hebat. Andreas Brehme tidak mau diikat hanya oleh tugas sebagai pengganjal para penyerang Argentina saja. Secara terus-menerus ia mencoba turut menyerang dengan tekun, seolah-olah ingin mengulang lagi suksesnya dalam pertandingan penyisihan melawan Belanda.

Namun semua upaya mereka yang didukung oleh keterampilan individual yang tinggi itu hanya tampak sebagai peragaan individual belaka dan terasa sporadis. Seolah-olah tiap pemain hanya mencari popularitas sendiri dan mengorbankan permainan tim secara keseluruhan. Padahal sebenarnya tidak demikian tentunya yang diingini mereka. Tentu juga tidak diingini manajer Frans Beckenbauer. Tentu harus ada alasan mengapa demikian jadinya penampilan Jerman malam itu Memang ada! Yaitu kemandulan strategi “Kaisar Franz” sendiri.

Beckenbauer ternyata tidak berhasil mencari pola yang tepat untuk mengantisipasikan pola bertahan dan mencari perpanjangan waktu pertandingan yang diterapkan pelatih Argentina Carlos Bilardo!. Penyakit yang diterapkan Beckenbauer sendiri ketika menghadapi Belanda dan Cekoslovakia, yaitu dengan tacling keras yang dilakukan secara cerdik dan permainan keras disertai bodycharge secara berlebihan, ketika digunakan Argentina ternyata tidak dapat dicarikan obatnya oleh pelatih Jerman Barat itu!. Tidak terhindarkan lagi, serangan tim asuhan Kaisar Frans itu lalu mandul.

Kebrutalan Serrizuela dan kawan-kawan dalam menjagal Klinsmann, Voeller dan Littbarski, dikombinasikan dengan kegemilangan kiper cadangan Argentina Goycoachea benar-benar mematikan serangan Jerman Barat yang bergelombang. Bahkan setelah Monzon dan seorang kawannya diusir oleh wasit dari lapangan, Jerman Barat tetap saja tidak mampu mendobrak gawang Argentina. Tim yang semula dielu-elukan oleh banyak pengamat sebagai tim panzer ternyata hanya mampu menang atas tim lawan yang tinggal sembilan orang dengan tendangan penalti belaka. Pupuslah sudah citra tim yang disebutnya sebagai tim terbaik, bahkan lebih baik dari tim Jerman Barat dalam Piala Dunia 1982 dan 1986.

Sebagai pelatih, Beckenbauer ternyata hanya brilyan sebagai taktikus, bukan sebagai strategi. Bagaimana ia memanfaatkan kelemahan serangan Belanda dan Inggris di babak pertama, dan dengan demikian menyediakan sedikit peluang bagi anak-anak asuhannya mencuri kemenangan dalam babak kedua. Bagaimana ia mampu menciptakan tembok pertahanan berlapis, juga sederetan langkah taktis lain yang brylian.

Tetapi secara strategi, Beckenbauer tidak memperlihatkan kehebatan sebagai pelatih, ia bahkan seharusnya malu dengan penampilan tim yang diasuhnya, karena kelugasan tackling mereka tidak diimbangi kemampuan mencari cara menerobos kemacetan yang dilakukan pertahanan lawan. Diimbangi kemampuan Bobby Robson, Beckenbauer masih kalah, karena pelatih Inggris itu mampu membuktikan apa yang diinginkannya: mengembalikan reputasi gaya kick and run yang luntur dalam tahun-tahun terakhir ini! Dengan pola diramu dengan operan-operan pendek, Inggris berhasil menimbulkan kekaguman para pengamat. Kemampuan Bobby Robson untuk mengembangkan pola baru dari sebuah strategi yang dianggap usang. Bayangkan hasil yang dicapai jika Bryan Robson sebagai kapten tidak cedera dan dapat menerapkan pola baru itu dalam kombinasi dengan Paul Gascoigne!

Dari uraian di atas kita dapat memetik dua buah pelajaran berharga sebagai bangsa. Kegagalan Argentina untuk kita berarti keharusan menghindari kecenderungan menempuh pola pandangan dan sikap serba negatif terhadap tantangan yang kita hadapi.

Nostalgia akan kejayaan masa lampau tidak akan menghasilkan apa-apa bagi kita, jika kita tidak mampu mencari pemecahan kita sendiri atas masalah kita di masa kini dan masa datang. Pelajaran kedua adalah pentingnya arti pola strategi bagi kehidupan kita, yang tidak dapat digantikan oleh sejuta keluwesan taktis apa pun. Pelajaran cukup berharga dari eskapisme kolosal berupa final Italia 1994, bukan?