Pidato Pembukaan seminar INTI
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Masyarakat keturunan Tionghoa telah berada di negeri ini sejak berabad-berabad yang lalu. Dalam sebuah buku jurnal tahun 1492 diuraikan, seorang menteri peperangan Tiongkok yang menjadi regent- Wali Negara di kawasan tersebut -karena rajanya meninggal dan anaknya masih kecil- telah membuat keputusan yang sangat penting yang menarik kembali semua kapal perang Tiongkok yang berada di lautan India, Pasifik dan lautan antara keduanya. Dan semua kapal perang itu dibakar di pantai-pantai Tiongkok, dan dengan demikian komunitas-komunitas Tionghoa yang ada di kawasan-kawasan itu terputus hubungan dengan daratan Tiongkok. Ini dianggap sebagai kejadian penting dalam sejarah, yang menurut buku tersebut sama pentingnya dengan ditemukannya benua Amerika oleh Columbus. Lalu masyarakat keturunan Tiongkok itu akhirnya diserap oleh masyarakat setempat dan dianggap sebagai keturunan asli/pribumi. Karena pada waktu itu diberbagai kawasan Nusantara ada sejumlah masyarakat keturunan Tionghoa yang hampir seluruhnya beragama Islam, dengan sendirinya proses “pribumisasi mereka” berjalan dengan mudah.
Setelah dua abad terjadi “kekosongan” dalam hubungan antara daratan Tiongkok dan Nusantara, pemerintah Hindia-Belanda mendatangkan tenaga-tenaga Tionghoa dari daratan Tiongkok yang umumnya beragama Budha atau Konghucu. Jadilah mereka orang-orang perantau yang segera menguasai perekonomian hingga hari ini. Saya sendiri adalah salah seorang dari keturunan Tionghoa yang dahulu turut serta dalam pemerintahan.
Dari perkembangan sejarah ini, akibatnya sampai saat ini secara kultural masyarakat keturunan Tionghoa masih dilihat sebagai “orang asing” (free de Oosterlingen), walaupun secara hukum mereka adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama dengan segenap warga negara yang lain. Hak-hak kultural mereka dalam bentuk bahasa, sekolah, nama dan media masa sendiri, sama seperti juga halnya orang-orang Jawa, Batak dan sebagainya, karena itu mereka juga memiliki kesamaan hak dan kewajiban dengan para warga negara lainnya yang harus dihormati.
Karena berada dalam sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mereka juga berhak mengembangkan subkultur sendiri, sebagai bagian dari keberagaman kita sebagai bangsa. Inilah yang sering dikemukakan oleh almarhum Bung karno. Sebagai alasan berdirinya bangsa dan negara kita dengan meminjam istilah filosof Prancis, Ernest Renant ”Raison d’etre du Nation”. Hal itu merujuk kepada dua hal yang saling bertentangan, tetapi saling mengukuhkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Kedua hal itu adalah keinginan mendirikan negara yang bersatu di satu pihak dan keinginan memelihara keberagaman kita di pihak lain.
Karena itu proses demokratisasi yang kita inginkan dan kehadiran kita sebagai bangsa yang kuat, haruslah memasukkan dua hal yang saling bertentangan tetapi juga saling mengokohkan itu. Hal inilah yang nantinya akan merupakan warisan bagi keturunan kita dimasa datang, untuk menilai bangsa kita dimasa sekarang. Dan warga Tioghoa sebagai bangsa Indonesia tidak lepas dari kewajiban ini. Selamat berseminar dan menyelesaikan tugas masing-masing.