PKB, Proses Yang Belum Selesai

Sumber Foto: https://www.shutterstock.com/id/image-vector/jakarta-indonesia-may-20-2023-pkb-2305500981

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

MEMBUKA tulisan-tulisan dalam buku ini, penulis secara jujur harus menyatakan, bahwa baik para aktivis sendiri maupun pengamat dari luar melakukan kesalahan-kesalahan fatal, karena tidak memperhitungkan PKB sebagai proses yang belum selesai. Sukardi Rinakit, umpamanya, melihat pergulatan yang terjadi dalam tubuh PKB sebagai sesuatu yang akan demikian adanya dalam pergulatan politik di negeri kita. Ia melupakan sisi moral dari pergulatan bahwa tujuan demokrasi adalah sesuatu yang penting sehingga elemen-elemen proses demokratisasi harus tetap diperhitungkan.

Pada saat ini, lebih dari 100 buah gerakan-gerakan mahasiswa, LSM-LSM, berbagai gerakan intelektual dan satu-dua organisasi para birokrat, telah mempertanyakan mengapa tidak ada kejujuran dalam menentukan masa depan bangsa kita? Hal ini mereka lakukan dengan menunjuk kepada kenyataan, bahwa sekitar 1 juta orang pemilih tidak terdaftar sebagai para pemilih untuk menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada yang akan datang. Rasa curiga lalu diarahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, yang dalam perdebatan di layar televisi ternyata tidak pernah menyakinkan siapapun bahwa badan itu menegakkan keadilan. Para pemirsa melihat dengan mudah, betapa KPUD digunakan untuk memenangkan Pilkada bagi kepentingan Fauzi Bowo di atas kerugian Adang Daradjatun.

PKB merupakan bagian dari proses sejarah yang belum selesai. Ada kemungkinan hasil Pilkada DKI Jakarta itu akan berupa besarnya jumlah orang-orang yang tidak memilih alias golput. Walaupun KPUD dapat saja mengumumkan mayoritas masyarakat akan memilih, tetapi bisa jadi pengumuman itu berisi kebohongan belaka. Hal itu hanya akan menambah rasa tidak percaya masyarakat pada proses pemilihan apapun di negeri ini. Kalau saja perasaan seperti ini akan mengakibatkan semakin besarnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, mau tak mau PKB harus turut serta memecahkan masalah itu.

Sebuah hal yang semakin jelas menunjukkan kepada kenyataan bahwa proses pemilu pun merupakan hal yang belum selesai berjalan. Sebuah sikap terbuka untuk mencari penyelesaian yang jujur, merupakan kunci bagi pemecahan masalah dalam perkembangan sistem politik kita. Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga, sebagaimana juga halnya dengan kenyataan bahwa negara kita dewasa ini tengah ‘amburadul’ dan mengalami krisis berkepanjangan. Hanya keberanian melaksanakan konsep yang jelas mengenai jalannya roda perekonomian kita di masa depan, dapat membawa kita kepada penyelesaian krisis itu dalam waktu tidak terlalu lama, katakanlah lima sampai sepuluh tahun.

Lagi-lagi, PKB terlibat dalam sebuah proses yang belum selesai, yang masih berlangsung dengan segala suka dukanya bagi bangsa kita secara nasional, yang menunjukkan arti PKB bagi kehidupan bangsa kita. Beberapa kejadian penting di lingkungan PKB, seperti pelaksanaan Musyawarah Cabang (Muscab) II di lingkungan DPC (Dewan Pimpinan Cabang) Kotamadya Surabaya, di Sukolilo, dan pembekuan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB Jawa Timur, baru-baru ini, menunjukkan dengan jelas terjadinya proses yang belum selesai itu. Pembekuan tujuh DPC di Jawa Timur, menunjukkan dengan nyata betapa pembenahan demi pembenahan untuk mengembalikan kebersihan berpolitik di lingkungan PKB merupakan proses yang belum selesai begitu saja. Di propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), dan lain-lain–menunjuk kepada adanya sebuah proses yang secara sadar dimulai untuk menciptakan kebersihan dimaksud dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa.

Tentu saja akan terjadi reaksi bermacam-macam atas peristiwa demi peristiwa di kalangan PKB, dari yang paling negatif hingga paling positif. Proses politik seperti itulah yang oleh penulis makalah pengantar ini disebut sebagai proses yang belum selesai. Apakah PKB akan menjadi perintis proses demokratisasi di negeri kita atau justru menjadi beban yang negatif bagi kehidupan politik kita, sebagai bangsa di kemudian hari, akan merupakan hal yang harus dijawab sendiri oleh PKB secara nasional.

Di tingkat pusat, Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) telah memulai sebuah eksperimen politik yang dapat dikatakan “tindakan berani” bagi masa depan dengan menetapkan bahwa sidang-sidang rapat gabungan Dewan Syura dan Dewan Tanfidz harus berakhir dengan pemungutan suara. Memang, pada saat ini delapan dari sepuluh usul penyelesaian suatu masalah sejalan dengan pendapat dan keinginan Ketua Umum Dewan Syura. Tetapi, di masa depan, tentu keadaannya akan sangat jauh berbeda. Ini sejalan dengan tuntutan demokratisasi di lingkungan PKB sendiri, yang selanjutnya akan mempunyai dampak tidak kecil dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa. Benarkah PKB dapat diandalkan menjadi sebuah partai bagi masa depan kita sebagai bangsa? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan sangat menentukan bukan hanya bagi PKB sendiri dalam kehidupan politiknya, tetapi juga bagi masa depan kehidupan politik bangsa dan negara kita.

Inilah hal yang harus disadari dan digunakan oleh para peneliti dan pengamat kehidupan politik kita sebagai bangsa dan negara. Mereka tidak boleh hanya berfungsi statis belaka melainkan harus aktif mengikuti dan mengamati perkembangan yang tejadi. Tentu saja, harus ada keberanian mengembangkan hal-hal baru dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa dan negara, dan tidak terpaku pada perkembangan keadaan yang terjadi selama ini. Bahwa, dalam tubuh PKB sendiri, ada dua macam keanggotaan yaitu para anggota yang hanya memperjuangkan kepentingan sendiri, dan anggota lain yang memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara (dengan meletakkan kepentingan sendiri sebagai bagian dari ‘kepentingan umum’ itu). Nah, manakah yang akan menang di antara keduanya?

Ada orang bertanya: mengapa reformasi kita kelihatannya gagal? Karena kesalahan kita sendiri! Sebuah reformasi yang berhasil, tentu ada ukurannya sendiri, yang tidak dapat kita capai ukuran itu adalah ketentuan bahwa kita berhasil menegakkan sebuah sistem pemerintahan sebagai pengganti sistem lama yang harus dibuang. Hal ini tidak terjadi pada sistem pemerintahan kita jika yang diperlukan adalah sistem pemerintahan baru. Yang terjadi tetap saja berkembangnya sistem-sistem yang tidak banyak berubah. Hal itu menunjukkan terjadinya pengepingan/fragmentasi sistem kekuasaan, sehingga muncullah sebuah gugusan sub-sistem, bukannya sebuah sistem pemerintahan. Eksekutif berkembang sendiri, legislatif tidak mengikutinya. Sebaliknya, masing-masing merasa ‘aman’ untuk mengembangkan kekuatan sendiri, bukannya kekuatan nasional yang satu, yang didukung oleh semua pihak.

Contoh yang dapat dikemukakan adalah tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ‘besar-besar’ seperti Pertamina dan Garuda Nusantara Airways. Sebagai BUMN, mereka harus ‘menyumbang’ pihak-pihak lain. Kasus Pertamina dapat dikemukakan dalam hal ini. BUMN tersebut meminta perusahaan-perusahaan asing untuk membantu pengeboran ladang-ladang minyak yang baru atas biaya mereka. Tetapi, begitu dapat diperoleh hasil-hasilnya, sang Direksi melarang pengiriman hasil-hasil eksplorasi Pertamina sendiri ke kilang-kilang miliknya. Sebagai tambahan, itu bukan milik Pertamina, tetapi adalah hasil eksplorasi pribadi, yang ‘harus’ dikirim ke kilang-kilang minyak di Singapura. Dengan cara begini, Pertamina tiap waktu mendapat tambahan beban, tetapi direksinya bertambah kaya.

Dari apa yang diuraikan di atas, menjadi jelas bahwa proses pengaturan segala sesuatu di negeri kita tidak hanya harus diteruskan, melainkan juga proses yang belum selesai dan harus dituntaskan. Kemauan berpegang pada pendekatan konsepsional dalam memecahkan krisis, belum disadari secara merata oleh hampir semua kalangan. Jadi, PKB pun harus terpanggil untuk mengembangkan pendekatan konsepsional dalam memecahkan krisis yang terjadi. Kesadaran akan hal ini belum dimiliki secara merata oleh para penguasa. Hampir seluruhnya masih bergulat dengan eksistensi mereka sebagai pemimpin. Jarang yang memperhatikan masalah-masalah bangsa dan negara secara keseluruhan. Ambisi pribadi masing-masing menghalangi mereka dari pendekatan kensepsional itu. Hampir semua merasa kekuasaan pemerintaan harus digunakan’ untuk melestarikan kedudukan sebagai pemimpin itu. Dengan kata lain, yang dipikirkan adalah kepentingan pribadi, dan bukannya kepentingan bangsa dan negara.

Dapat diambil sebagai contoh, apa yang terjadi pada diri Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai Presiden. Ia mengangkat Bambang Kesowo sebagai Menteri Sekretaris Negara. Tentu saja, dalam kedudukan itu, ia lebih memberikan peran pada BUMN untuk mengatasi krisis ekonomi. Tetapi, dalam kenyataan, ia juga mengangkat Dorodjatun Kuntjorojakti, seorang penganut paham privatisasi, menjadi Menko Perekonomian. Di tambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Budiono, tentu saja tampak wajar mereka berusaha mewujudkan liberalisasi ekonomi. Kedua hal yang tampaknya saling bertentangan itu memerlukan seorang presiden berkepribadian yang sangat kuat, keberanian yang luar biasa dan ‘kebiasaan’ untuk memaksakan kehendak. Semua itu menunjukkan kepada proses sejarah yang belum selesai. Ditunggu munculnya seorang pemimpin pemerintahan yang memiliki kemampuan memandang jauh ke depan, sehingga tahu apa yang harus diperbuat dalam proses yang belum selesai itu.

Demikian pula perkembangan politik kita secara nasional, memerlukan kemampuan semua pihak untuk melihat ke depan, yaitu kepentingan bangsa dan negara, dan bukannya kepentingan mereka sendiri. Disinilah PKB harus berperan strategis yaitu mengemukakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi krisis kepercayaan dalam kehidupan bersama milik kita. Umpamanya saja, keadaan intern PKB sendiri. Banyak pengamat menyarankan atau menyatakan mereka menyayangkan perpecahan yang terjadi dalam tubuh PKB, terutama antara generasi tua yang menjadi ‘sesepuh’ PKB, melawan generasi muda yang berpikir lain dari mereka. Bahkan, Masdar Farid Mas’udi menulis surat kepada penulis sendiri dengan permintaan agar supaya dilakukan ‘islah’ dengan para sesepuh.

Penulis makalah ini menjawab dengan suratnya, bahwa islah itu punya dua arti; baginya, di satu sisi, islah berarti memelihara persaudaraan dan bersikap memaafkan. Penulis menjawab, kalau arti ini yang dimaksudkan, hal itu sudah lama penulis lakukan tanpa ribut-ribut. Tetapi, islah juga berarti penempatan tenaga bagi kepentingan PKB sendiri, baik itu penempatan dalam lingkungan PKB sendiri maupun di luarnya. Untuk itu, penulis mensyaratkan kejujuran dan kecakapan. Jadi bukan sembarang islah saja, melainkan harus mempertimbangkan baik-baik penempatan tenaga bagi kepentingan bangsa dan negara maupun bagi kepentingan-kepentingan PKB sendiri. Sekarang ini, masih ada beberapa tenaga yang ditempatkan dalam pemerintahan di masa lampau. Secara pasti, hal itu harus diperbaiki dan dikoreksi, bilamana diperlukan.

Akhir-akhir ini, pendapat penulis itu disanggah melalui perbuatan-perbuatan mereka, oleh sementara pihak. Pada dasarnya, mereka bekerja keras untuk mencapai kepentingan pribadi. Kalau ini terganggu, maka mereka memberikan reaksi dan melakukan ‘tindakan perlawanan’ guna memelihara kepentingan mereka. Di sisi lain, warga PKB ada yang mementingkan kepentingan umum, dan memasukkan kepentingan pribadi sebagai bagian dari kepentingan umum itu. Perbedaan antara kedua hal itu tentulah merupakan proses yang tidak pernah berhenti, yang akan membuat PKB senantiasa mengalami proses tanpa akhir. Apa yang terjadi sekarang ini dalam susunan kepengurusan PKB dalam berbagai tingkatan menunjukkan watak yang demikian itu. Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf menunjukkan dengan jelas bahwa disiplin berpartai, dengan memperhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan jika kita bersungguh-sungguh.

Masalahnya adalah, bagaimana kita melaksanakan kesungguhan sikap itu sendiri. Masa depan bangsa dan negara, dalam artian negatif dan positif, merupakan taruhan kita dengan selalu menerapkannya dalam pengambilan berbagai kebijakan dan keputusan partai. Jelaslah, di sini, bahwa apa yang terjadi dalam tubuh PKB mempunyai dampak yang besar bagi masa depan bangsa dan negara. Peluang emas, yang juga jalan yang sempit (shirâth al-mustaqîm), merupakan kewajiban yang harus dipanggul oleh PKB. Dapatkah ia melakukannya?