Prajurit Lurus, Bukan Kaku
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Haris Sudarno seorang purnawirawan Mayjen TNI, terakhir menjadi anggota DPR dari Fraksi ABRI. Dulunya, dia pernah menjadi Panglima Kodam V Brawijaya di Jawa Timur. Suatu waktu, dia menerima laporan para komandan korem di bawahnya, Komandan Korem di Madiun Kolonel Luhut B. Panjaitan.
Luhut melaporkan bahwa para ulama di daerah binaannya, daerah eks Keresidenan Madiun, itu tidak mau memenuhi permintaan Kasospol Jenderal Hartono untuk tidak memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU yang baru dalam Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya. Para ulama itu menyatakan hanya akan memilih Gus Dur, tidak mau orang lain. Mendengar laporan-laporan dari para komandan korem itu, Pangdam Haris Sudarno menyatakan bahwa mereka harus mengikuti suara itu.
Menurutnya, ini tidak berarti insubordinasi (melawan perintah) atau tidak ada perintah yang dilanggar karena memang perintahnyalah yang salah. Tentu timbul pertanyaan, bagaimana sebuah perintah dapat disalahkan? Pasalnya, perintah itu bermula dari doktrin yang salah juga. Artinya, kesalahan itu kerap terjadi di masa lampau, seperti perintah memenangkan salah satu partai dalam pemilu masa Orde Baru: Golkar. Karena ada ”keharusan” seperti itu, mau tidak mau ABRI (sekarang TNI) harus mendukung sikap tersebut. Ini berarti, secara politis, ABRI masuk dalam pertarungan politik antarkelompok.
Sekali masuk ke politik, ABRI lalu kehilangan aspirasi perjuangan yang dimilikinya: bekerja untuk kepentingan semua kelompok. Dia lalu terkena penyakit lama, dan tercabik-cabik oleh berbagai kepentingan. Beruntung masih ada para panglima kodam yang ”berani” mempertanyakan kebijakan yang keliru, dan tidak sesuai dengan doktrin-doktrin yang dipercayai di lingkungan ABRI sendiri. Di sinilah terletak kekuatan dari ABRI: tidak tercabik-cabik oleh berbagai kepentingan saling berbeda. Akibatnya, Haris Sudarno harus melepaskan kepanglimaannya dan harus ”rela” menjadi anggota fraksi ABRI di DPR.
Dia lakukan hal itu dengan gembira, sebagaimana halnya dijalankan Mayjen (Purn) M. Ma’ruf (belakangan menjadi Menteri Dalam Negeri) yang kini menjadi ”orang biasa-biasa saja”, setelah pernah bertugas untuk beberapa tahun lamanya menjadi duta besar di Vietnam. Keluguan para opsir seperti keduanya ini memang jarang tampak bagi kebanyakan orang. Dan apa yang mereka lakukan, adalah tindakan ”untung-untungan”. Di sinilah terletak kekuatan ABRI, yaitu disiplin yang kuat dan ketaatan asas yang tinggi. Sayangnya, disiplin tinggi itu sering dilaksanakan secara membabi buta dan hasilnya adalah disiplin kaku yang merugikan.
Untungnya, waktu itu dapat dijaga. Kerugiannya hanya di lingkungan intern ABRI, tidak meluas ke mana-mana. Ini menghendaki kearifan sikap bukan di lingkungan ABRI saja, melainkan juga di kalangan masyarakat. Perkembangan politik ternyata membawa beban sangat berat bagi ABRI. Penulis teringat, pada suatu waktu Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo menyatakan di depan umum di Hotel Borobudur saat peluncuran biografi penulis, bahwa ABRI ”terpaksa” mengambil tindakan melawan perintah presiden, karena diperkirakan penulis sebagai Presiden RI akan mengangkat Tyasno Sudarto sebagai pangab.
Penulis langsung menjawab bahwa dia tidak pernah memikirkan hal itu. Dia merasa sedih karena ABRI ternyata salah menilai keadaan, tapi semua itu sudah berlalu, dan tidak penting lagi untuk mengetahui benar atau tidaknya sebuah perkiraan oleh ABRI. Ini berarti bahwa TNI di masa depan harus lebih berhati-hati lagi. Umpamanya saja, dalam hal calon Gubernur DKI Jakarta. Tadinya penulis ingin mencalonkan Agum Gumelar, bersama-sama dengan Didik J. Rachbini dari PAN. Namun, Agum Gumelar dipanggil Presiden RI ke Istana Merdeka.
Di sana sang Presiden menyatakan bahwa calon Gus Dur untuk gubernur harus ”dipatahkan”. Pukul 10 pagi penulis mendengar hal ini. Pukul 2 siang penulis menyampaikan berita kepada pers bahwa dia tidak memiliki calon lagi untuk Gubernur DKI Jaya. Ini penting sekali, masa depan ibu kota Republik Indonesia tidak boleh bergantung pada pertentangan pendapat antara Presiden RI dan warga negara. Memang, para pembantu presiden pernah mengatakan bahwa SBY tidak pernah memerintahkan mereka untuk mengganggu penulis dalam urusan calon gubernur DKI itu. Namun, setiap orang tahu bahwa perintah itu tidak jatuh ke tangan mereka, tetapi jatuh kepada orang-orang lain yang memang menjadi ”spesialis kekacauan” di lingkungan Presiden RI.
Inilah yang sebenarnya merisaukan hati penulis, karena membuat Presiden RI terpaksa berbohong guna menolong mukanya sendiri. Karena itulah, dia menarik diri dari upaya mencalonkan Agum Gumelar menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sederhana saja masalahnya. Apa yang diuraikan di muka menunjuk dengan jelas, bahwa politik sedang dimainkan dengan penuh kekotoran. Ini tentu saja tidak dapat kita terima. Dapat kita pahami betapa marahnya Sarwono Kusumatmadja SH dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Lembaga tersebut memutuskan bahwa pengajuan calon-calon independen sah-sah saja menurut konstitusi, tapi berlakunya hanya setelah pilkada sekarang ini. Ini benar-benar ”permainan politik” yang canggih, termasuk dari calon Wagub Prijanto. Ini adalah kejadian yang sangat menarik, yang menunjuk pada banyak kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Masalahnya sekarang, dapatkah rakyat ditipu dengan cara-cara demikian hingga hari ini? Kalau tidak, angka golput akan menjadi sangat besar. Patutkah hal itu terus menerus dilakukan? Sudah sangat sering kita harus ”menelan ludah” untuk menerima kebohongan demi kebohongan dengan sabar. Hingga kita sampai pada akhir masa itu, bukan?