Remaja Sekarang Menghadapi Realitas Terbalik (Wawancara)

Sumber Foto: https://daerah.sindonews.com/read/1248673/29/kisah-penolakan-bung-tomo-menyambut-kedatangan-tentara-inggris-di-surabaya-1699657860

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid, lahir di Jombang, 4 Agustus 1940. Kini ia dikenal sebagai seorang kolumnis. Menulis di berbagai media massa, seperti surat kabar Kompas, Pelite dan majalah Tempo. Pak Abdurrahman, pendidikan terakhir Fakultas Sastera Universitas Bagdad, Irak, tertarik pada masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan Juga mendalami studi wilayah tentang Timur Tengah.

Disamping menulis artikel, ia pun menulis buku Diantaranya yang sudah terbit berjudul Bunga Rampai Pesantren dan Muslim Di Tengah Pergumulan. Kini la dikaruniai tiga orang anak, bekerja di Lembaga Studi Pembangunan Alamat rumah Jalan Taman Amir Hamzah no 8 atau Pesantren Ciganjur. Pasar Minggu Jakarta Selatan.

“Waktu terjadi pertempuran 10 November 1945 saya baru berusia lima tahun. Saya tidak tahu persis bagaimana peristiwanya. Tapi pada masa remaja, saya mendengar bahwa Bung Tomo adalah tokoh yang cukup dikenal dan populer,“ ucap Abdurrahman Wahid, kolumnis juga sebagai pimpinan pondok pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, dalam awal wawancara dengan Hai di ruang kerjanya. Kepemimpinan Bung Tomo, sudah tutup usia pada tanggal 7 Oktober yang lalu ketika sadang wukuf di Padang Arafah, dinilai mas Dur (nama panggilan akrabnya) sebagai tokoh sejati. Dia teguh dengan janji serta tegas dalam menjalankan cita-cita. Itulah sebabnya, kata mas Dur, Bung Tomo bersikap go to hell. “Dia memang tokoh yang taat menjalankan perintah agama dan menganjurkan adanya persatuan nasional. Dia berpepang pada cita-cita kemerdekaan.”

Gelisah

Figur Bung Tomo tidak bakalan luntur. Dia tokoh jujur, dalam arti, kata dan perbuatannya sejalan. Mencari tokoh seperti dia memang sukar Kini banyak tokoh yang bertolak belakang, kata dan perbuatannya jauh menyimpang. Figur semacam Bung Tomo pantas ditiru, dan wajar jika para remaja mengagumi hingga dijadikan tokoh idolanya. “Ini kan pertanda bahwa remaja kita kritis. Tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk Tahu kalau yang ini emas dan yang itu perak,” katanya.

Sejarah mencatat bahwa, usia kemerdekaan negara Indonesia sudah mencapai usia tigapuluh enam tahun. Guna mencapai kemerdekaan, berbagai peristiwa manis pun getir yang harus ditempuh. Ini merupakan perjalanan panjang yang tak pernah usai. Perjuangan di zaman merdeka jelas berbeda dibanding dengan perjuangan melawan penjajah. Motivasinya lain. Cerita tentang perjuangan, baik di zaman sekarang maupun sebelum merdeka, sering kita dengar atau hanya membaca dari sebuah buku. Tapi pada kenyataan, dalam suatu masyarakat, masih timbul problem mengenai seseorang yang mempromosikan dirinya pejuang. Apa dan siapa pejuang itu, figurnya harus tegas. Remaja sudah kritis menilai. Mereka tidak menilai berdasarkan omongannya saja tapi sikap dan perbuatannya. Pejuang yang baik adalah seseorang yang sadar dan rela berjuang demi kepentingan tanah air.

Peranan pemuria dan remaja — istilah mas Dur remaja itu batas usianya sampai delapanbelas tahun — sangat menentukan dalam suatu kehidupan bangsa. Mereka ini ibaratnya sebagai tiang atau angin yang tahu mana arahnya. Dengan sendirinya tergantung dengan cuaca serta iklim. Iklim yang baik menurut mas Dur, ialah hidup yang ada tujuan. “Tanpa tujuan, semua nya itu nggak ada artinya. Karenanya pemerintah sewajarnya berfikir ke arah itu. Menyediakan sarana yang baik bagi remaja. Baik di sini bukan berarti dimanjakan atau dibikin cengeng. Saya sendiri tidak senang dengan remaja yang cengang. Remaja harus punya dinamika dan tidak selalu ditenteng dari atas. Kalau semuanya ditentukan berdasarkan aturan permainan, ya entah apa jadinya,“ ujarnya.

Menyinggung para remaja yang akhir-akhir ini terus mengadakan aksi perkelahian, mas Dur memberikan penjelasan, bahwa apa yang mereka lakukan masih dalam tingkat yang wajar. Memang masalahnya kompleks, tapi hendaknya kalangan orang tua tahu diri. Membuka pintunya untuk berdialog. Berintropeksi, Lebih lanjut mas Dur memperinci, masalah tersebut sebenarnya tidak dapat diselesaikan dengan cara sepihak. “Kita kan suka menyamaratakan. Saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan kalau perkelahian remaja itu sudah menjurus pada tindakan kriminal Terlalu pagi mengatakan demikian, itu kan justru menghakimi remaja. Saya kagum dengan remaja sekarang. Mereka memiliki rasa solidaritas yang kuat. Coba bandingkan dengan remaja Singapura, mereka di sana sudah dijejali dengan fasilitas yang berlebihan. Pokoknya yang bersifat manja, berlibur saja ke luar negeri. Remaja di sini maunya meniru macam begitu. Ya, iklim menghendaki ke arah itu.

Menurut kaca mata mas Dur, perkelahian remaja yang belakangan terjadi di sebabkan beberapa hal. Mas Dur menelaah dari sudut sosiologis. Dari sudut ini ada bagian yang terpenting untuk diketahui masyarakat, yakni bahwa hubungan orang tua dengan anak atau hubungan generasi tua sama generasi muda mengikuti jalur satu arah. “Situasi yang menciptakan demikian. Wajar jika mereka mencari idiom baru dengan cara seperti itu. Mereka gelisah dan tidak tahu apa yang mereka perbuat. Mereka mencari kepastian terhadap masa depan. Apalagi masalah ini dikaitkan dengan ekonomi, kesulitan mereka benar-benar kian menganga.”

Indah

“Saya menilai kenakalan remaja saat ini masih bersifat netral. Itu pun terjadinya di kota-kota besar tidak di kantong pedesaan. Padahal jumlahnya remaja di pedesaan sekitar delapan puluh lima persen. Nah, kalau yang di pedesaan ini diberi peluang, mereka diberi keluwesan bergerak dan dapat menyalurkan kreativitasnya, niscaya mereka akan menemukan apa yang diinginkan. Yaitu hidup yang punya tujuan. Tapi ingat saya tidak menginginkan remaja yang berwatak cengeng. Memang harus diakui pengaruh dari luar, terutama dari Barat, datangnya bertubi-tubi. Bentuk hiburan yang baik sampai saat ini belum mereka temui. Karenanya, remaja harus tahu posisi. Di mana sebenarnya mereka berpijak. Remaja tidak perlu gegabah meniru. Yang baik di Barat belum tentu berarti baik di sini. Sebenarnya banyak budaya leluhur yang perlu ditonjolkan, sayang mereka terpeleset, akhirnya menjadi sebuah mithos. Ini yang tidak saya inginkan.”

Bagaimana dengan masa remaja mas Dur?

“Indah,” jawabnya sambil tersenyum, la pun tidak memungkiri pada masa remajanya situasi memang serba gampang. Dalam arti kondisinya tidak seruwet sekarang. “Waktu saya sekolah buku perpustakaan lengkap. Berangkat sekolah, saya selalu jalan kaki. Pulangnya juga. Tapi saya tidak langsung pulang, main dulu, mencari bunga kenari di pinggir jalan. Kalau liburan, saya gunakan untuk rekreasi naik kereta api ke kota Karawang. Wah, bisa naik kereta api saja sudah merupakan petualangan yang luar biasa. Benar-benar asyik. Apalagi kereta apinya selalu on time, tidak pernah terlambat dan gerbongnya pun bersih.

Pendidikan mas Dur, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan di Yogyakarta. Tamat Sekolah Menengah Pertama ia masuk pondok pesantren Tegal Rejo di Magelang. Lulus dari pesantren itu langsung masuk pondok pesantren Tambak Beras, Jombang. Di tempat ini ia memperdalam ilmu keagamaan selama empat tahun. Lepas dari Tambak Beras, mas Dur melanjutkan kuliah di Universitas Al Azhar, di sini ia belajar tentang ilmu hukum Islam, lamanya dua tahun. Di Kairo, sewaktu kuliah mas Dur sering menulis artikel di surat kabar. Tulisannya sangat menyentuh dan gaya bahasanya mengdayu-dayu — sampai sekarang. Karena tulisan, memang terkenal di Kairo, buntutnya ia ditawari beasiswa untuk melanjutkan ke Universitas Bagdad di Irak.

Defensif

Latar belakang mas Dur yang dilingkungan pesantren, dan seringnya bergaul dengan ulama, ia mendapat julukan santri intelektual. Tidak terlalu berlebihan menyebut begitu, mas Dur tentu tertawa lirih jika mendengarnya. Kini di usia tigapuluh satu tahun, ia memimpin pondok pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan. Muridnya? Anda jangan kaget, hanya enam orang. “Murid cuma enam orang ya nggak apa-apa, Kakek saya limabelas tahun memimpin pesantren muridnya hanya empat orang. Bayangkan, itu selama limabelas tahun. Saya kan baru satu tahun,” kilahnya. Menurut mas Dur, pesantren Ciganjur diperkirakan pada tahun 1986 — paling lambat sudah berjalan dan sanggup menampung siswa-siswa dari penjuru kota di Indonesia. Berdasarkan program pengajarnya sebagian besar lulusan Universitas Indonesia. Melalui pesantren, mas Dur ingin meselaraskan sekaligus melebur pola pendidikan non formal dengan formal.

Masa remaja mas Dur penuh pula dengan gejolak, keterperanjatan dengan suatu nilai. Gejolak itu tumbuh dalam kultur pesantren. Kini, tutur mas Dur, remaja harus melawan arus. “Mereka selalu menghadapi realitas yang terbalik. Ya, masa remaja saya dihabiskan di kota kecil. Pada waktu itu saya mengagumi tokoh pejuang lokal. Saya sebutkan saja, Bung Tomo, pak Sudirman, pak Munasir dan banyak tokoh lagi dari kalangan biasa. Ya, mereka tokoh yang sederhana tapi tegas dalam menentukan sikap.”

Mas Dur pun berkomentar, dalam masa sekarang ini Pemerintah memang gemar menggunakan atribut-atribut formal negara. Mas Dur memberikan contoh tentang Pancasila dan GBHN. “Sebenarnya yang menjawab tantangan zaman ialah agama. Ilmu pengetahuan atau ideologi sudah tidak mampu lagi. Kedua kekuatan ini biasanya hanya memberikan alternatif secara sepintas saja. Atau bersifat defensif. Agamalah yang dapat memberikan jalan keluar. Agama merupakan sumber inspirasi dasar kehidupan.” Lantas apa tanggapan mas Dur mengenai meningkatnya para remaja menekuni bidang agama? “Di satu pihak saya merasa gembira. Tapi saya juga merasa khawatir. Mereka lebih mementingkan sifat ritualnya, sekedar ke mesjid atau ikut MTQ, Yang lebih perlu sebenarnya melihat realitas.”