Rukun Iman, Rukun Islam, dan “Rukun Tetangga”
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Rukun iman, semua orang sudah tahu. Iman kepada Allah, kepada para malaikat, para utusan Allah, kitab-kitab suci, kepada adanya hari kiamat nanti, dan kepada kepastian nasib di tangan Allah semata- mata Rukun Islam juga jelas, yang pernah belajar agama Islam tahu, syahadat, shalat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Cuma orang Mu’tazilah yang tidak mau tahu dengan sebutan rukun iman dan rukun Islam itu. Bukan karena mereka tidak beriman dan tidak mengaku menjadi orang Islam. Melainkan mereka memberi nama lain saja kepada pokok-pokok agama itu. Mereka namai pokok-pokok agama yang lima: tauhid, nubuwwah, adalah, al-wa’d wal wa’id, dan manzilah bainal manzilatain.
‘Adalah alias keadilan, karena mereka menganggap itu sebagai landasan utama kehidupan beragama Islam. Al–wa’d wal wa’id (janji sorga dan ancaman neraka), karena demikianlah ada tolok ukur akan perilaku manusia, antara batas terbaik dan terburuk. Manzilah bainal manzilatain, tempat antara dua tempat, yaitu bukan sorga dan bukan neraka, bagi mereka yang tidak pantas dimasukkan neraka, tetapi belum cukup syarat masuk sorga.
Orang Syi’ah mengganti pokok manzilah bainal manzilatain dari orang Mu’tazilah ini, dengan pokok imamah. Artinya keimanan yang wajib dipegang keturunan Nabi Muhammad melalui Siti Fatimah dan Ali bin Abi Talib. Lain-lainnya sama, sejak masa Syekh Mufid dikurunnya Imam Al-Ghazali. Ternyata masih ada juga kemungkinan lain untuk memahami pokok-pokok agama Islam di luar rukun iman, rukun Islam ataupun pokok-pokoknya orang Mu’tazilah dan orang Syi’ah itu.
Ada ayat Al-Qur’an yang menyatakan. “Tetapi kebaikan (al–birr) adalah orang yang beriman kepada Allah, hari kiamat, para malaikat, kitab (suci), dan para nabi, dan memberikan harta yang disenangi kepada para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, peminta-minta, budak sahaya dan mendirikan shalat, serta memberikan zakat’ (hingga akhir ayat 176 s. Al-Baqarah).
Jelas ada tiga kategori amal perbuatan agama dalam ayat itu. Ada perbuatan yang bersangkutan dengan rukun iman, yaitu iman kepada Allah, hari kiamat, para malaikat, para nabi dan kitab-kitab suci. Di penggal ketiga ada kerja melaksanakan shalat dan memberikan zakat, termasuk kategori amal yang terkait dengan rukun Islam. Namun, antara penggal ketiga dan ayat itu, ada penggal kedua yang menjembatani antara kedua rukun di atas. Penggal itu menunjukkan “indikator keimanan dan keislaman” kita: memberikan harta kepada mereka yang memerlukan pertolongan dan menderita.
Mengapa Allah tidak memasukkan jenis amal perbuatan itu ke dalam rukun tersendiri, tentu diluar kemampuan kita untuk menjelaskannya. Itu rahasia kehendak Allah semata. Namun kedudukannya orang bersholat. Dengan ungkapan lain, pertimbangan filosofis tidak bisa mengalahkan keputusan legalformalistik dari hukum Islam, agama Islam. Ujung ayat di atas yang mendudukkan status demikian tinggi bagi amal perbuatan jenis ketiga tersebut. Pantas dijadikan rukun, walaupun tidak pernah dijadikan rukun. Anggap saja “rukun tetangga”nya Islam.
Berapa banyakkah di antara kita yang menyadari kemuliaan status amal sedekah, wakaf, ibah, infaq, dan sebagainya itu sebagai kemuliaan di sisi Allah? Dan juga sebagai salah satu sendi keyakinan beragama dalam Islam?