Saya Jadi Presiden? Ha-Ha-Ha…. (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Gus Dur panggilan akrab Ketua Umum PBNU, masih bergaya cuek, ogah-ogahan dan kadang terkantuk-kantuk seperti ketika diwawancarai TIARA empat tahun silam. Satu hal yang membuatnya seperti tampil beda adalah kacamatanya yang belakangan ini sering berganti-ganti. “Kemarin mata saya dioperasi, lensa mata saya diambil. Pengaturan cahaya dan pengenalan benda diatur lewat gelas kacamata. Jadi membutuhkan adjustment. Setiap bulan diganti sampai menemukan yang pas,” katanya.
Sedikitnya ada dua rangkaian peristiwa sekarang ini yang secara otomatis memaksa Gus Dur meningkatkan volume suaranya. Pertama adalah manuver para kiai yang berpolitik di PPP sambil membawa kiai nama NU, dan kedua adalah demam final Piala Dunia yang menyebar sampai ke Indonesia.
Tentang yang pertama sudah jelas, suka atau tidak suka, sebagai Ketua Umun PBNU nama Gus Dur memang terus dilibatkan dalam pemberitaan manuver itu. Malah sampai kini, nama kiai gendut asal Jombang itu masih terus-menerus disebut akan dicalonkan sebagai ketua umum PPP dalam Muktamar Agustus nanti. Padahal tentang ina, seperti ditekankan kembali kepada TIARA, Gus Dur berulang-ulang menyatakan, “Saya tidak kepingin menjadi ketua,” tandasnya. Lantas kalau sampai saat ini tetap ada orang yang mengatakan Gus Dur menyetujui pencalonannya? “Ya boleh saja. Orang ngeklaim ‘kan boleh-boleh aja,” tambahnya sambil menguap.
Sedang soal sepakbola rupanya tidak sedikit pun lepas dan perhanan Gus Dur. Meski sejak final Piala Dunia 1990 ia tak mau lagi menjadi komentator di televisi, namun kliping yang dikumpul selama Final Piala Eropa 1992 saja jumlahnya mencapai 800 halaman. Untuk final Piala Dunia kali itu katanya, belum sempat dihitung. Tapi yang jelas, dari pengalaman yang dimiliki sebagai pengamat, ia berani meramal lima kesebelasan yang sedikitnya akan masuk perempat final yaitu: Brazil, Argentina, Jerman, Italia dan Belanda.
Begitu selepas Asar menjelang Maghrib, usai memberi pernyataan kepada sejumlah wartawan tentang manuver politik para kiai, di kamar kerja kantornya, Gus Dur menerima Fit Yanuar, Ratri Adiati, J. Waskito dan fotografer Robedi Yulianto.
Apakah Anda juga ikut merasakan demam sepakbola?
Nggak, biasa saja. Yang terkena demam, biarin saja.
Mengapa sepakbola bisa menarik minat sedemikian banyak orang melebihi cabang olahraga lain?
Ya, yang pertama memang betul. Tapi menurut saya kok nggak juga karena tenis juga ramai yang nonton. Kalau badminton memang nggak banyak, tapi tenis saya kira banyak! Seluruh dunia, di mana-mana ada klub tenis.
Tapi yang paling bisa dimanfaatkan sebagai peluang bisnis?
Ya, tenis juga bisnis gedhe itu. Peralatannya justru lebih mahal.
Itu sebabnya demam yang ditimbulkan tidak sampai ke kampung-kampung?
Ya, tenis sampai kampung… ? Anda ‘kan bicara dunia (sembari tertawa). Di dunia ini yang sampai ke kampung-kampung juga…. (Terkekeh tidak menyelesaikan kalimatnya). Kan di Indonesia orang nggak bisa bikin lapangan tenis. Kalau di Jepang golf paling banyak. (Di waktu sore itu masih ada beberapa orang di kantor PBNU yang menemani Gus Dur. Seseorang yang menggunakan mobil berplat nomor “CD” malah tampak haru saja meninggalkan ruangan kerjanya. Dua orang tampak duduk menunggu di depan ruang kerjanya. Sedang satu orang lainnya yang masih berada di dalam ruangan kerjanya, buru-buru keluar begitu menyadari wawancara sedang berlangsung).
Menurut Anda, mengapa Amerika berani menjadi penyelenggara padahal di sana sepakbola tidak begitu populer?
Oh karena di sana mereka melihat peluang bisnis. Artinya kalau bola bisa dihidupkan dan orang gemar, ‘kan menguntung sekali. Jadi orang-orang, termasuk Henry Kissinger saya rasa memikirkannya, ya ini peluang bisnis. Memang belum ada orang sana sampai senang bola… (terbatuk-batuk).
Bagi Anda apa kesan yang paling menonjol dari demam Piala Dunia kali ini?
Lihat saja, ya, di satu negara seperti Italia, atau di Amerika Latin, kayak Brazil dan Argentina, mungkin sepak bola hanya salah satu di antara banyak cabang olah raga yang digemari.
Indonesia sendiri?
Orang Indonesia sendiri yang pusing dan bingung. Nggak pusing gimana? Lapangan sebakbolanya dibabat jadi toko, he-he-he, kesebelasannya nggak karu-karuan. Ngundang saja nggak pakai kira- kira… (Terkekeh lagi), cari musuh AC Milan saja yang 8-0, ha-ha-ha. Masyarakatnya nggak bingung bagaimana?
Tapi Sampdoria hanya menang tipis 3-2 dari Liga Selection?
Lha iya, mestinya cari yang imbang, gitu lho! Ya jangan ngundang Manchester United dong, atau Blackburn Rovers, Oldham Athletic.
Dari penampilan tersebut, kesimpulan apa yang bisa didapat khususnya bagi persepakbolaan di Indonesia?
Ya.. belajar (Gus Dur menyurukkan tubuh ke badan kursi).
Apakah belum cukup belajarnya?
Ya karena nggak pernah bener belajarnya! Sekarang ya belajar yang bener! Pertama, menangani bola harus jelas, jangan kayak PSSI. Wong PSSI menangani bola (Gus Dur mengangkat bahu seperti tak habis berpikir)…, bola profesional ditangani secara amatir! Bola itu harus profesional! Yang amatir itu urusannya amatir (Kalimat itu meluncur beriringan dengan derai tertawanya)…
Orang bilang sepakbola itu 75 persen di luar lapangan, yang lain 25 persen lainnya merupakan puncak dari usaha dari luar lapangan itu. Apakah proporsi semacam itu yang tidak terjadi?
lya, sama saja… tetapi 75 persen itu kira-kira 25 persen saja yang dipakai, lainya untuk tidur. Lalu yang 25 persen di lapangan, ya hasilnya jelek (Gus Dur tersenyum-senyum). Artinya yang di luar nggak dikerjakan. Padahal kalau mampu menangani masalah itu secara sungguh-sungguh… ya lihat saja selection–selection itu, mengimbanginya toh? Perkara angkanya masih 4-1 itu biasa saja. Barcelona saja lawan AC Milan kalah 4-0. Jadi Liga Selection kalah 3-2 dari Sampdoria masih mendingan!
Artinya terlihat perbedaan jelas dari yang amatir dengan profesional?
Lha iya! Yang masih memandang bola amatir sama dengan profesional itu ‘kan Indonesia. Sama seriusnya. Di negara lain amatir itu urusannya sekolah.
Orang sering memandang masalah sepakbola itu terletak pada pengurus…
Iya betul! Pemain juga penting. Tapi lebih dulu pengurusnya dan ujungnya pada pelatih. Pada manajer. Coba lihat, bagaiman manajer Porto pada saat menang pertandingan Piala Eropa lawan Bayern Munich. Waktu main, saya lihat betapa staying power Munich begitu hebat.. wah ini nggak bisa diteruskan kalau begini. Harus diganti! Babak kedua, ganti strategi.. menang! Nah, gitu lho! Ada orang yang dari awal sudah tahu bagaimana strateginya. Juga Sao Paolo ketika berhadapan AC Milan, tidak mengandalkan kekuatan regu, tapi lebih banyak sebagai kekuatan perorangan. Kalau kekuatan regu, di mana pemain dipaksa bermain rata-rata, sama dengan yang lain, itu kelebihan dari seseorang pemain itu akan hilang. Jadi pemain yang istimewa yang diberi tempat yang istimewa. Sama saja waktu di AC Milan dulu ‘kan, waktu ada Arrigo Sacchi itu ‘kan Gullit disuruh main sebelah kanan, dia bisa bebas semau gue… Waktu Fabio Capello masuk, Gullit malah ditaruh ke tengah, kurang minggir dia…. mana bisa tenang? Dideb terus oleh lawan-lawannya, akhirnya frustrasi.
Lantas kesebelasan mana yang Anda favoritkan bakal menjadi juara dunia kali ini?
Saya pikir lima kesebelasan ini jelas favorit. Brazil, Argentina, Jerman, Belanda dan Italia. Mereka diramalkan bakal masuk babak 0erempat final.
Pertimbangan apa saja? Bukankah belakangan ini Kolombia pun menunjukkan permainan yang gemilang?
Yaa, tapi masih belum… Kompaknya pun masih kalah jauh dengan Belanda atau Italia. Belum cukup tarafnya. Coba lihat Norwegia itu, rapinya kayak apa? Ya rapi sekali! Tapi menurut saya untuk bisa mengatasi Jerman Barat..ya nanti dulu deh… gitu lho! Rusia juga bagus ‘kan! Tapi menurut saya masih di bawah kelas Italia. (Bapak empat putri ini tampak penuh minat menjabarkan pengamatannya tentang persepakbolaan. Badannya sekali dicondongkan ke arah meja, sekali mundur bersandar di kursi).
Tapi seperti kasus Denmark pada Piala Eropa 1992 yang tiba-tiba bisa mengalahkan Jerman, Belanda, lalu jadi juara Eropa?
Ehm, Denmark kemarin sepenuhnya menggunakan unsur surprise. Artinya begini, dia bertahan habis, dan itu muncul seperti sekarang: model permainan yang bertahan habis kayak cattenacio dari Italia itu sudah usang, gitu lho. Ini hanya mengandalkan umpan balik, gitu ya. Serangan kilat pengumpan balik sudah mati di beku, gitu lho, karena solidnya pertahanan lawan juga. Sekarang ini skill-nya itu sudah tinggi, power-nya juga. Nah, Cuma pelatih Denmark itu pandai. Daya dobrak dari serangan balik itu dia gunakan. Jadinya ‘kan gitu. Karena itu kita lihat bahwa semua gol-gol yang dibikin oleh Denmark itu dibikin melalui serangan balik. Cepat sekali! Jadi di situ kemenangan dia. Jadi unsur surprise. Orang nggak siap dengan itu. Begitu diketahui itu, menghadapi babak penyisihan Piala Dunia, Denmark sudah nggak ada apa-apanya. Jadi kalau akhirnya dia gemilang, boleh-boleh saja! Yunani sekarang juga begitu. Tapi itu ‘kan masalah sudah mengenal. Pelatih itu punya informasi sekarang. Punya video, memata-matai memakai video. Ini sudah suatu kemajuan luar biasa untuk menetralisir kelebihan-kelebihan lawan.
Jadi meski Kolombia berhasil membantai Argentina dan memimpin grup, tapi….
Sekarang Argentina bagus. Saya juga heran, kenapa? Karena ada pemain-pemain muda yang baru. Brazil, tadinya dianggap laksana obor yang padam. Mana? Nyatanya kayak begitu….
Kenapa bisa demikian?
Oleh karena, pertama, materi pemainnya yang sangat kaya, sehingga pelatih gampang memilihnya. Yang kedua, para pelatihnya itu bukan orang sembarangan. Jadi pelatih yang betul-betul tahu apa yang harus dikerjakan. Ya, jadinya begini. Tadinya ‘kan juga, apa iya Dick Advocaat sanggup memimpin Belanda? Kayaknya habis Rinus Michels sudah nggak ada lagi. Tapi nyatanya Dick Advocaat bisa membawa Belanda melewati babak penyisihan dan dengan performance yang tetap baik. Kemarin dia mengalahkan Skotlandia 3-0 itu, saya heran banget. Karena Skotlandia ini, bukan hanya orangnya, tapi kesebelasannya pun juga paling pelit. Paling pelit ngasih gol dan juga paling pelit ngasih duit, he-he-he.
Itu artinya….?
Berarti Belanda ketemu dengan Dick Advocaat. Artinya KNVB (Koninklijke Nederlandsche Voetbalbond-Red) itu PSSI-nys Belanda itu sanggup, ngerti benar tentang Dick Advocaat Nah, kit kita ‘kan nggak ngerti orang bola, ternyata betul. Ya, karena kematangan tradisi bola. Ini pun sengaja. Seperti Johan Cruyff itu ‘kan persyaratannya macam-macam. Sengaja nggak dikasih, supaya nggak mau. Ala nggak apa-apa, ada yang lebih baik. Dan yang lebih baik yang tak dikenal oleh orang luar! Lho kok bukan Cruyff, gitu lho. Atau Hetnoss yang di Belgia. Kayaknya orang Belanda sana pelatih-pelatihnya bagus-bagus. Nah, pelatih-pelatih yang baik ini ‘kan tahu bagaimana… bagaimana. Ini berbeda dengan Mesir misalnya. Pelatihnya baik tapi tradisi berbola di sana, walaupun sudah lama, sama tuanya dengan Inggris, tapi pada kondisi prima yang kayak dicapai Eropa, Mesir belum lama. Tadinya ya kayak kita… brengseknya! Saya pernah di Mesir lama kok….
Brengsek seperti apa?
Ya brengseknya urusan bola di sana. Kayak kita brengseknya sekarang ini. Nah, akhir-akhir ini Mesir bagus. Tapi memerlukan tradisi yang banyak…
Tradisi yang dimaksud itu apa?
Ya pengetahuan tentang bola yang bagus. Tadinya pembinaan pemain-pemain melalui pengetahuan itu.
Bukankah sudah sejak 1930-an kita akrab dengan sepakbola?
Iya, tapi itu nggak ada artinya. Di Indonesia itu di bawah Orde Baru nggak ada apa-apanya…. sampai sekarang.
Lho, kenapa harus sebut-sebut Orde Baru?
Ndak… ya semua, ya sepanjang Orde Baru sampai sekarang ‘kan? Lho, kita ‘kan pernah bagus di Melbourne tahun 1960?
Itu masa Orde Lama?
Lha, iya. Tapi ini bukan soal ordenya. Maksud saya menunjuk pada periode. Sepanjang periode. Orde Baru ‘kan sudah lama, zaman Pelita. Lha, iya. Nggak ada apa-apanya.
Anda belajar sepakbola darimana?
Ya nggak ada. Ya melihat orang. Melihat dan mengikuti perkembangan. Ya ada yang dari usaha.
Dulu katanya pernah jadi pemain bola?
Ah itu main bola di sekolah. Nggak ada apa-apanya. (Masa sekolah itu, Gus Dur mengaku sering bermain sepakbola bersama Siswono Yudohusodo di taman Matraman dan juga sering main-main bersama Marsilam Simanjuntak yang kemudian di kenal sebagai aktivis Malari).
Mengapa pilih olahraga sepakbola?
Orang kampung mau main tenis di mana tempatnya? Kita di pesantren, gimana caranya? (Gus Dur tertawa terbahak-bahak). Saya rajin mengikuti pertandingan sepakbola secara teratur lewat berita koran atau siaran TV. Malah saya rajin mengkliping berita-berita persepak bolaan dunia. Dan ketika final Piala Eropa 1992 berlangsung, kliping saya mencapai 800 lembar dari berbagai media.
Piala Dunia sekarang berapa jumlah bacaannya?
Sekarang, lha saya ‘kan sakit. Jadi, ya numpuk aja di rumah. Jadi belum dibaca. Saya sekarang ini mengandalkan ingatan.
Sakit apa?
Sakit mata. Saya ‘kan nggak bisa baca sudah lama. Sudah setengah tahun! (Pada 1991 Gus Dur juga sempat terbaring di rumah sakit karena trombosit di pencernaannya. Sedang penyakit yang diderita kali ini adalah katarak mata yang kemudian dioperasi di Rumah Sakit Cipto Mangkusumo). Kemarin itu saya dioperasi. Lensa saya diambil. Terus untuk mengatur cahaya dan pengenalan benda, itu diatur dari gelas kaca. Jadi fokus dari benda itu di kaca. Tapi itu membutuhkan adjustment, waktu dan penyesuaian. Sekarang belum bisa. Keadaan begini saja sudah bagus.
Berarti lensa kacamatanya itu berbeda dengan yang biasa?
Oh, nggak. Begini ya. Mata itu ‘kan ada lensanya. Walaupun pakai kacamata, lensa mata itu tetap ada. Tapi ‘kan terjadi penyesuaian antara lensa kacamata dengan lensa mata. Sekarang lensa mata diambil, yang tinggal lensa kacamata.
Menurut dokter ini kenapa, apa usia yang bertambah atau…?
Ya, nggak Karena lensanya ambrol. Karena ada katarak. Kayak gorden itu, lho. (Tangannya menunjuk gorden di dinding ruang kerjanya). Lensa itu ‘kan nempel di bola mata. Itu ‘kan kayak gorden di jendela. Nah, kemudian ada katarak pada lensa itu. Lama-lama ‘kan nggak kuat nahan, ya ambrol. Nah, saya ambrol (lensanya), ya diambil. Karena diambil, pengaturan lensa itu ‘kan melalui, apa itu, melalui kaca. Ini memerlukan ganti-ganti ukuran, sampai menemukan yang pas. (Sampai sekarang menurut Gus Dur, lensa yang pas itu belum ditemukan. Jadi setiap bulan harus selalu diganti)
Apakah kondisi itu mengganggu Anda dalam hal membaca?
Ya, nggak juga. Ya, semuanya itu ‘kan nanti juga nggak apa-apa. Ya asal kita bisa ngatur juga nggak apa-apa. Dari 100 persen yang kita terima dari bacaan itu, 90 persen di antaranya adalah sampah. Asal hati-hati memilih 10 persennya.
Kita memilih yang 10 persennya itu bagaimana?
Bagi saya terus terang saja, ini sudah balik ke sepakbola ya, saya mengandalkan Suara Pembaharuan dan Kompas. Sekarang saya melihat analisis bola di mana-mana, gombal kabeh (gombal semua, red). Yang baik di kita itu…siapa namanya (dahinya berkerut). Oh Ronny Pangemanan! Menurut saya dia yang terbaik. Dia mengenal betul apa itu pertandingan bola. Terus, Ronny Pangemanan dan Ronny Pattinasarani. Kalau Kompas, tim sih, jadi merata.
Berkaitan dengan mata Anda yang sakit itu, berapa persen kegiatan yang lantas berkurang?
Nggak ada! Biasa-biasa saja. (Jadwal Gus Dur selama bulan Juni ini saja pun ternyata tidak berkurang. Selain Seminar ke Salatiga, UI, dan di tempat-tempat lain, ia juga tetap rutin menerima tamu atau menghadiri berbagai pertemuan). Tapi memang harus hati-hati. Melihat trap (tangga) itu susah. Itu saja yang harus hati-hati
Lantas pendapat Anda tentang maraknya manuver para kiai menjelang Muktamar PPP?
Itu yang rame–rame ‘kan pers saja, tho? Orang kumpul begitu saja kok rame? Kita di NU ini sudah biasa kok dengan event gedhe gedhe itu, sehingga nggak ada artinya pertemuan seperti di Rembang segala macam.
Bisakah kita mengartikannya bahwa demokratisasi semakin tampak dengan adanya situasi seperti itu?
Yaa, mau dibaca seperti itu ya bisa (Gus Dur menukas pertanya-annya ini dengan menjawab cepat). Tapi, apakah hal itu membuat masyarakat menjadi sangat dipengaruhi? Kan nggak toh? Yaa, biasa biasa saja.
Bagi NU sendiri pengaruhnya ‘kan besar sekali. Misalnya reaksi yang diperlihatkan Forum Komunikasi Generasi Muda NU itu?
Ah, itu hanya beberapa gelintir orang saja. Saya tahu orangnya satu per satu.
Apakah itu bukan bukti dinamisnya iklim demokrasi?
Yaa, asal statemen dinamika dianggap dinamis, ya nggak apa-apa. Tapi kalau yang tahu bahwa statemen itu nggak ada apa-apanya, ya nggak dinamis (Gus Dur terbahak). Anak-anak itu ‘kan cuma jengkel! Karena eksponen-eksponen PPP yang dari NU terlalu memanfaatkan nama NU. Gitu lho. Jadi, kejengkelan gitu aja ‘kan biasa? Tidak ada apa-apanya. Kita yang arif, yang tua-tua di NU, ya baiknya diam. Kita nanya, “Ngapain kamu jengkel?” Saya ketemu dengan mereka di sini. Ini politik kok. Orang-orang yang bingung itu siapa? Yang bingung ya mereka itu. Mereka yang di PPP itu. Kita, umumnya ketawa Lihat Pak Yusuf Hasyim, kayak mercon bumbung aja! Setiap mau Lebaran diledakan (Gus Dur Tertawa berderai)… habis itu dia beli lagi.
Apakah Anda juga tidak menganggap bahwa persoalan ini membuat discourse politik lantas meningkat di kalangan masyarakat?
Kalau modelnya begini nggak banyak manfaatnya. Semuanya bicara demokrasi. Lha, ini seharusnya discourse politiknya transparan. Harus membuat munculnya suatu keadaan bahwa perlu ada cara-cara yang lebih baik untuk menyelenggarakan kehidupan politik. Sekarang ‘kan nggak. Nggak ada! Mereka sudah cukup puas dengan Muktamar yang dijagain Sospol, sambil menunggu harap-harap cemas, siapa yang disetujui si Bapak. Apanya yang demokrasi? Demokrasi ‘kan mengandaikan keterlepasan dari kungkungan luar, tapi ini bukan berarti keadaan Indonesia itu tidak ada demokrasinya. Iya ada demokrasi. Ada juga. Nggak sepenuhnya jelek. Apa,sih? Ya, itu contohnya. Pada umumnya organisasi keagamaan masih bisa menyelenggarakan kegiatan secara otonom, tidak dicampuri kecuali HKBP ya? Ini saya nggak bisa memberi komentar lagi, bersedih hati begitu… (Gus Dur kembali menyandarkan badannya ke kursi lalu terpekur diam).
Maksudnya apakah Anda berpendapat ada semacam sistem yang ingin menghambat pertumbuhan demokrasi…
Nggak, nggak! (Gus Dur memotong cepat ). Demokrasi itu lain, demokratisasi itu lain. Demokratisasi itu proses, demokrasi itu keadaan. Nah, kalau sistem itu menghambat munculnya demokrasi, Lha iya. Ada. Konsekuensinya juga proses demokratisasi dihambat. Mengapa dihambat? Nah, pemerintah menganggap demokrasi yang terbuka atau yang transparan yang penuh kebebasan itu sebagai demokrasi liberal yang harus dihindari di Indonesia. Ya, itu sebabnya.
Mengapa?
Ya nggak tahu. Yang penting bagi saya kenyataannya begitu. Tiap hari kita dengar tentang demokratisasi, sekaligus tentang tidak cocoknya demokrasi Barat.
Tak cocok bagi siapa?
Ya, nggak tahu. Pokoknya nggak cocok, kata mereka….. (Intonasi suaranya sangat tajam).
Kembali ke masalah tadi, tokoh-tokoh NU sekarang ini kelihatannya merekayasa atau direkayasa secara politik?
Kalau dalam hal itu sih tidak. Tokoh eh orang NU yang di luar, jadi tokoh PPP. Tokoh NU yang ikut nyebur nggak karuan itu ‘kan cuma satu saja, Pak Yusuf Hasyim. Yang lain nggak ikut. Mana coba? Kiai Sahal nggak ikut. Saya nggak ikut. Pak Fandi nggak ikut Mana yang ikut? Cuma Pak Yusuf Hasyim saja. Tentang Pak Yusuf Hasyim, orang mau ngomong apa lagi karena sudah dari lahirnya memang sudah begitu.
Sebagai Ketua Umum PBNU sendiri, apa Anda tidak harus merasa ikut tampil dalam “rekayasa’ itu?
Ah, tidak NU sudah ada kerjaannya sendiri (Gus Dur menandaskan pula bahwa manuver-manuver oleh sejumlah politisi yang melibatkan nama NU itu sama sekali tidak mempengaruhi kerukunan di dalam tubuh NU). Orang NU hanya ketawa saja, kok nggak sembuh-sembuh dari dulu. Penyakitnya itu-itu juga. Jadi ketawanya begitu. (Gus Dur ikut ketawa).
Jadi Anda melihat tidak ada manfaat dari pertemuan Rembang dan sebagainya itu bagi rakyat secara umum?
Yaa, itu. Jawabannya, seperti judul drama Shakespeare ‘Must do but nothing’. Jadi banyak yang resmi dikeluarkan tapi tidak untuk apa-apa. Wong politik ‘kan ya begitu, tidak hanya PPP aja. Tidak hanya orang NU saja. Lagi ngalahin, megap-megap, teriak-teriak, nangis–nangis, nggak ada yang dengarin. Nggak kedengaran keluar. Tanya aja Hartono Mardjono, mau nggak dia mendukung Buya Ismail? Nggak mau! Husni Thamrin juga. Cuma suara mereka karena disiplin intern atau karena apa, nggak keluar!
Sampai hari ini nama Anda tetap disebut sebagai calon Ketua Umum PPP…
Saya nggak kepingin. Karena apa? Karena tugas saya di NU lebih menarik.
Bukan karena sudah terlanjur menjadi kader Golkar?
Nggak! Golkar saya itu Golkar gitu–gitu saja. Ya, karena semuanya Golkar, ya Golkarlah… Golkar! Golongan fungsional itu lho waktu saya jadi anggotanya, ada Cak Nur (Nurcholis Madjid-red). Lagi pula Cak Nur sekarang malah condongnya ke PPP.
Tapi menurut Ketua Umum Golkar Harmoko, Anda belum luntur sebagi kader Golkar?
Ya boleh saja! Orang mengklaim ‘kan boleh-boleh saja. Orang PPP mengklaim saya juga boleh. Lha, hakikatnya saya gimana, hakikat saya… (Gus Dur tersenyum simpul). Saya ini menggerakkan hak politik saya hanya pada satu acara, yaitu dalam Pemilihan Umum, nyoblos. Lalu apa di sana? Golkar, PDI dan PPP. Lho, nyoblos kok dikasih tahu orang-orang, ya bodohnya itu lho! Ya udah ngelipat saja, saya nggak akan bilang, saya ini apa!
Kalau dicalonkan menjadi Ketua Umum OPP yang berkuasa, misalnya?
Nggak! Itu saja nggak tertangani, kerjaan di NU itu begitu banyak!
Bukankah dengan menjadi Ketua Umum OPP, siapa tahu bisa menjadi presiden nantinya?
(Lama juga Gus Dur terdiam seperti tidur sebelumnya akhirnya memberikan jawabannya). Ya itulah pokoknya kita itu, bahwa NU itu bukan organisasi politik, melainkan organisasi keagamaan. Sebaiknya agama itu dilepas dari bidang politik. Nah, lalu apa kaitannya dengan politik? Cuma tinggal satu. Kita merupakan referensi moral untuk menjadi ukuran bagi seluruh bangsa.
Kalau diisukan seperti dulu, Anda dicalonkan sebagi presiden, bagaimana?
Siapa? Saya? (Gus Dur menunjuk dirinya). Presiden. Yaa, Presiden Taxi-lah. Orang kayak saya kok masih ada yang mau mencalonkan sebagai presiden…. ketawa saya.
Namun dilihat dari syaratnya, sudah mencukupi bukan?
Apa? Ya syaratnya menurut UUD itu ‘kan umur sekian…(keras sekali tawanya).
Bukan. Maksudnya Gus Dur orang Jawa Islam, bisa diterima kanan-kiri atas-bawah dan tengah?
Yaa, kalau begitu yang paling bagus adalah Tarsan.
Tarsan mana?
Yaa Tarsan anggota Srimulat, Asmuni itu… bisa. Kan diterima kanan-kiri…(tawa berderai-derai dari mulut Gus Dur pun meledaklah).
Tapi secara politis memang harus seperti yang tersebut di atas ‘kan?
Ya mestinya nggak begitu. Seperti Islam gitu. Mestinya itu jangan dijadikan benturan. Bukan karena apa-apa, karena konstitusi sendiri juga menyebutkan itu. Terlepas dari itu karena mayoritas penduduknya Islam, dengan sendirinya yang terpilih tiap-tiap kali adalah orang Islam. Tetapi itu tidak menutup gerbang bagi orang lain untuk berusaha. Lain ‘kan kalau dicantumkan harus Islam? Nah itu orang lain tentu tidak bisa berusaha. Nah, saya ngomong gini orang sudah pada marah. “Lho, ini bagaimana sih Gus Dur?” Kebetulan nama Pak Benny juga disebut-sebut. Ya saya ketawa lho. Saya ini nggak mendukung siapa-siapa. Saya cuma ngomong bahwa secara konstitusional itu begini.
Baik. Secara Formal, Anda memang tidak berpolitik. Namun dalam statemen Anda sudah pasti ada muatan politis yang tentu bisa memposisikan Anda pada politik praktis. Apakah ini ada unsur kesengajaannya?
Orang itu keliru sih, yaa. Ketika saya berbicara, saya itu tidak mau berbicara politik. Maksud saya, saya tidak mau berbicara intrik-intrik atau siasat politik. Kalau bicara politik…. tentang demokrasi. Tentang apa lain, itu ‘kan politik semua? Lha iya. Saya berbicara tentang politik yang inspirasional, bukan yang operasional.
Bukan dalam pengertian mengusahakan seseorang menjadi…
Nah, kayak gitu–gitu itu saya nggak ikut-ikut.
Tapi kalau pernyataan Anda secara tak langsung mendukung pihak-pihak tertentu, misalnya….
Mana? (Gus Dur memotong dengan cepatnya).
Seperti tadi. Boleh siapa saja yang menjadi presiden. Terus ada nama Pak Benny segala?
Ah, dia tidak merasa terdukung! Orang lain yang menuduh (intonasi suaranya meninggi dan sengit). Pak Benny nggak mencalonkan diri, nggak akan! Malas dia! Mencalonkan diri kemarin? Nggak ada dia. Yang ada Cuma Pak Try.
Anda mendukung Pak Try?
Saya sudah bukan anggota MPR lagi. Saya berhenti menjadi anggota MPR itu ‘kan tahun 1992, Nah, mereka mendukung Pak Try tahun 1993 ‘kan? Ya sudah, nggak ikutan.
Sebagai anggota MPR waktu itu, apakah tidak berhak mengusulkan adanya regenerasi?
Yaa, Anda nggak ngerti sih, Sidang MPR. (Terpekur sejenak seperti tidur) Sidang MPR itu, satu ngomong. “Setuju?” lainnya, “Setujuuuuuu!”
Jadi suara Anda timbul-tengelam di sana?
Ya, memang nggak bersuara kok! (Gus Dur tertawa tertahan). Ini ‘kan “negoro persetujuan!” Semua melalui cara… setujuuu!!!
Tentang suksesi, apakah NU juga perlu melakukan?
Mmm. Kita masih perlu juga. Tetap perlu. Tapi di NU itu relatif lebih baiklah. Yaa. Artinya cepat, begitulah.
Artinya, periode mendatang, Anda tidak duduk lagi di kepengurusan NU lagi?
Oh, salah. Nggak begitu! Saya mengusulkan supaya posisi ketua umum dihapuskan. Dihapuskan, otomatis saya tidak ketua umum lagi Lalu (saya) jadi apa? Alah, wong di NU saja kok bingung. Biar, nggak jadi apa-apa, ya, tetap saja berfungsi. Yang penting ikhlas saja.
Kalau terhadap kepemimpinan nasional? Sudah waktunya terjadi suksesi atau belum menurut NU?
Ya itu tergantung ‘kan? Ya tergantung siapa calonnya dan sebagainya. NU ‘kan nggak ikut nyalonkan, karena nggak boleh ‘kan? Kita ‘kan bukan MPR.
Ini bicara tentang gagasan saja, idealnya dalam satu negara proses suksesi harus berlangsung beberapa kali atau beberapa lama?
Pertarungan di tingkat gagasan ya sepotong-sepotong. Wong nggak bisa diteruskan. Kita ini, ya maaflah, kayak orang ngeden tapi nggak bisa keluar kotoran. (Gus Dur langsung terdiam lama, sekitar satu menit).
Kita ini maksudnya…..
Lha, ya menyeluruh bangsa. Kemarin itu ribut-ribut soal kapal. Dengan keterangan sepotong, lalu selesai. Ya sudah tidak dibicarakan lagi. Kadang-kadang belum selesai.
Padahal, mestinya apa yang harus kita bicarakan?
(Gus Dur kembali diam, rasanya lama sekali sebelum akhirnya seperti terbangun dari tidur sambil berujar). Yaa, kita itu nggak transparan. Nggak bisa blak-blakan. Ya itu kuncinya!
Soal Forum Demokrasi (Fordem), belakangan ini tidak terdengar gaungnya. Apakah artinya diskusi tentang demokrasi sudah tidak ada lagi?
Ya tetap. Kita adakan pertemuan mingguan, memantau keadaan, menyamakan pandangan-pandangan. Isinya ‘kan pemimpin berbagai LSM dan gerakan massa.
Tidak merasa perlu membuat pernyataan politik, misalnya tentang praktek-praktek yang bertentangan dengan nilai demokrasi?
(Pengagum dan pengkritik Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno ini tercenung lama) Nggak ada sih. Untuk apa? Pernyataan thok tidak akan menyelesaikan masalah. Kita lebih penting menyamakan langkah, pandangan dan sebagainya untuk menghadapi masyarakat. Meletakkan dasar-dasar bagi sebuah masyarakat yang demokratis di masa yang akan datang.
Masyarakat yang demokratis itu pada hakikatnya seperti apa?
Saya rasa, di mana semua warga negara kedudukannya sama di muka hukum, itu pertama. Lalu, yang berperan adalah kedaulatan hukum bukan kedaulatan kekuasaan. Yang ketiga, di mana kebebasan menyatakan pendapat dibolehkan. Yang keempat, di mana adanya pemisahan yang tegas dalam fungsi-fungsi yang tidak boleh saling mempengaruhi, yaitu antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kalau Fordem melihat kenyataan yang tidak sesuai dengan hal tersebut di atas, apakah mereka puas dengan hanya ber-diskusi saja?
Ya, mungkin demikian. (Sambil terkantuk-kantuk, Gus Dur seperti memberikan jawaban seenaknya).
Kenapa?
Lho. Lha iya. Sebatas diskusi ‘kan? Kemungkinannya ‘kan hanya gitu? Kita nggak nafsu sih mau demokrasi, ya nggak nafsu…
Artinya hal yang bisa dinikmati rakyat banyak hanya sebatas itu?
Memang kenapa?
Bukankah seharusnya pikiran atau pendapat anggota Fordem bisa di-share…
(Terbatuk-batuk cukup lama). Ah, wong demokrasi itu syarat-syaratnya keterbukaan dan kejujuran. Semua orang tahu itu.
Lantas kapan menurut Anda masa demokratis penuh tersebut akan terjadi?
Siapa yang tahu? Ini ‘kan tergantung bangsanya. Jika bangsa ini mau berkembang ke arah demokrasi yang sebenarnya… saya bilang demokrasi penuh, demokrasi yang sebenarnya. Maksudnya demokrasi di mana yang berlaku adalah kedaulatan hukum, bukan kedaulatan kekuasaan, karena semua warga itu sama kedudukannya di muka hukum, juga di mana hak-hak asasi manusia itu di praktekkan atau ditegakkan. Nah, itu negara yang berdemokrasi secara sebenarnya. Yang tidak demikian itu namanya demokrasi semu. Dikasih nama apa pun, tetap saja semu. Untuk mencapainya, ya tergantung bangsanya, menghendaki atau tidak.
Tentang foto yang tergantung di ruang tamu, mengapa pose Anda agak lain dibanding orang-orang lain yang pernah diterima presiden?
(Di foto yang tergantung di ruang tamu kantor PBNU itu Gus Dur tampak duduk di depan meja Presiden dengan hanya menaruh kedua telapak tangannya diatas pahanya sambil mencondongkan badannya ke depan. Padahal seperti lazimnya muncul di foto berita anggota rombongan lain yang menghadap Presiden bersama Gus Dur itu memposisikan tangannya dalam bentuk ngapurancang atau menyilangkan tangan dengan sopan di depan badan). Ya, memang bebas kok! Kesopanan itu ‘kan relatif. Pak Harto sendiri nggak apa-apa. Emangnya harus begini (lalu tanganya diletakkan dan digoyang-goyangkan di keningnya, seolah-olah sedang menyembah seseorang).
Tapi kalau dilihat, pada umumnya orang yang ke sana akan bersikap sangat sopan sekali.
Ya, itu bukan ukuran dong. Wong itu semua, orang yang pengen dapat apa-apa dari beliau.
Kalau boleh tahu, foto itu saat peristiwa apa?
Nggak tahu ya. Yang mana sih fotonya? Rombongan? (Gus Dur terpekur lama, dan akhirnya ) biar ajalah. Kembali ke topik bola aja lah!
Kalau kembali ke peristiwa kecelakaan istri Anda, apakah Anda menganggapnya sebagai suatu musibah?
Memang musibah (Ny Nuriah, istri Gus Dur beberapa waktu lalu mengalami kecelakaan kendaraan bermotor Untuk memulihkan kesehatannya, sekarang ini setiap pagi Gus Dur mengantarkannya untuk menjalani fisioterapi). Kecelakaan itu ‘kan membuatnya lumpuh, tidak bisa berjalan. Jadi, yang dilakukan sekarang adalah untuk mengembalikan kemampuannya berjalan.
Berarti sekarang ini waktu yang Anda sediakan buat istri lebih besar lagi?
Memang dari dulu juga begitu.
Tidak menyita waktu atau kegiatan Anda?
Tidak ada urusan! Dulu waktu kuliah juga begitu. Saya drop dia, lalu saya jalan. Mau kemana pun dia, saya drop. Selagi menyangkut antar-mengantar ini, bagi saya tidak merupakan masalah. Sebab dari dulu juga selalu begitu.