“Sebenarnya, Pak Harto Saat Ini Lagi Pusing” (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Masalah suksesi jadi pembicaraan hangat lagi. Pak Harto sendiri yang mengangkat masalah tersebut ke permukaan,. Pertama, ketika bertemu para redaktur senior media massa Australia. Kedua, saat bertemu Presiden Blaise Compaore dari Burkina Faso, dan terakhir, ketika mencanangkan Hari Lansia (Lanjut Usia) di Semarang, pekan lalu. Dari yang terucap, jelas Pak Harto menghendaki pergantian kepemimpinan nasional secara konstitusional. Jelas pula, ia ingin melunaskan masa jabatannya hingga 1998. Tapi, apakah setelah periode itu Pak Harto akan bersedia dicalonkan kembali? Pak Harto sendiri tidak pernah memastikan hal itu. Yang menarik, beberapa hari sebelum pernyataan Pak Harto itu, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur melontarkan pernyataan yang cukup mengejutkan. Menurut Gus Dur, jika Pak Harto tidak bersedia dicalonkan lagi tahun 1998, situasi politik Indonesia akan rumit. “Karena, tidak ada calon penggantinya,” katanya.
Anda telah melontarkan kembali isu suksesi. Kemudian, Pak Harto juga menyatakan hal yang sama. Ada apa?
Itu ‘kan kebetulan. Karena hal itu sebenarnya sudah lama dipikirkan atau menjadi keprihatinan Pak Harto. Jadi, ketika saya mengemukan atau dikemukakan koran, dengan sendirinya beliau bereaksi. Meskipun persepsinya tidak sama, ada masalah dasar bahwa sampai hari ini belum bisa dicari atau belum bisa disepakati secara nasional, siapa calon yang akan menggantikan Pak Harto. Hal itu ‘kan sama-sama menjadi pemikiran, cuma hasilnya lain-lain. Untuk orang seperti saya, hasilnya adalah bagaimana mencari mekanisme, yang dalam jangka panjang akan menjamin munculnya calon pemimpin.
Seperti di Amerika, itu ‘kan sudah ada mekanismenya. Siapa calon presiden dari partai Demokrat untuk tahun 2000, mekanisme untuk mencari calon itu ada. Nah, di Indonesia ‘kan tidak ada. ABRI tidak tahu bagaimana memunculkan calonnya. Golkar juga tidak tahu bagaimana memproses orang yang mau dicalonkan. PPP dan PDI sama saja. Artinya, di negeri kita, lembaga-lembaga itu tidak memiliki mekanisme untuk mencari calon presiden atau wakil presiden. Yang ada fraksi-fraksi.
Nah, fraksi itu ‘kan beda dengan DPP. Karena fraksi hanya memproses secara formal calon yang sudah disepakati DPP. Artinya, Fraksi Karya Pembangunan, misalnya hanya akan mencalonkan orang yang dikehendaki DPP Golkar. Cuma, bagaimana DPP Golkar memproses orang yang diinginkan, itu tidak ada mekanismenya.
Sementara itu, Partai Demokrat atau Partai Republik di Amerika, ada mekanisme yang memungkinkan munculnya calon dari partai tersebut, sebelum dibawa ke pencalonan formal. Istilahnya, sebelum calon keluar ke gelanggang tinju, sudah ada pemilihan petinju mana yang akan ditampilkan. Nah, di Indonesia mekanisme mempersiapkan petinjunya itu tidak ada. Sampai dia bisa menjadi petinju saja tidak ada yang memprosesnya. Kalau di Amerika itu bukan DPP, melainkan anggota, melalui pemilihan pada tingkat primary. Tiap negara bagian menyelenggarakan proses pencarian calon partai Jadi, mereka memproses benar-benar dari bawah. Proses itulah yang tidak ada di sini.
Kalau di sini pemilihan awal itu seharusnya mulai dari mana?
Bisa saja, untuk calon presiden dimulai pada tingkat propinsi. Misalnya, DPC (kabupaten) menentukan calon. Selanjutnya dibawa ke sidang DPD (propinsi). Nah, kalau mekanisme itu berlangsung, sedikitnya akan ada sekitar dua atau tiga ratus nama calon yang bisa dibawa ke DPP (pusat). Siapa yang memiliki suara terbanyak, dialah calon dari partai tersebut.
Mengapa, mekanisme seperti itu tidak disiapkan dari dulu?
Tidak tahu kenapa, ya, barangkali karena kita tidak memandang perlu hal itu. Karena ‘kan belum pernah ada pengalaman. Sehingga, tidak ada mekanisme untuk menggulirkan calon baru. Sekarang, setelah Pak Harto lanjut usia, kita dihadapkan pada kesulitan, bagaimana mencari calon penggantinya melalui cara yang rasional, yang baku, yang memungkinkan seleksi alami, sebelum dilakukan pencalonan secara formal oleh fraksi-fraksi di MPR.
Apakah mekanisme itu sangat mendesak diciptakan?
Ya, seharusnya sudah ada sejak republik ini berdiri. Kalau kita tidak mau membuat mekanisme itu, kita akan begini selamanya, serba tidak jelas. Sekarang, jangankan kita bicara soal siapa calon yang akan menggantikan Pak Harto, mengenai Pak Harto akan terus atau tidak menjabat presiden saja masih menjadi masalah. Itu soal kemalasan kita sebagai bangsa. Kita enggan mengurusi soal-soal yang kecil seperti itu. Karena kita masih sok sopan, ewuh pakewuh, rasanya kok tidak sopan membicarakan siapa yang akan mengganti. Sementara orangnya masih menjabat. Sikap yang sungkan-sungkanan itu justru akhirnya menghadapkan kita pada persoalan yang pelik. Kita ini mempunyai sistem pemilihan presiden tanpa mekanisme pencarian calon yang baku. Ya, akibatnya, tumpuannya terletak pada intrik-intrik politik
Contohnya pada 1988, kasus pencalonan H.J. Naro sebagai wakil presiden. Waktu itu Fraksi Persatuan Pembangunan melawan aliansi Golkar-ABRI-Utusan daerah. Baru urusan wakil presiden saja sudah geger. Tahun 1993 juga timbul masalah, katanya Habibie yang dikehendaki Pak Harto untuk menjadi wakil Presiden, tetapi yang jadi Pak Try. Itu pun masih dengan pertanyaan, benarkah Pak Try dikehendaki Pak Harto, Sehingga Pak Try dicurigai, jadi wakil presiden walaupun tidak dikehendaki Pak Harto. Pertanyaan itu tidak ada jawabannya sampai hari ini. Itulah namanya intrik politik yang dahsyat. Bagaimana kita bisa memproyeksikan kepemimpinan kita kalau harus melalui intrik politik. Jadi, harusnya ada transparansi, sehingga membuat kita mantap. La, kalau begini terus, ‘kan Orang serba meraba-raba.
Dengan kata lain, masalah penentuan kepemimpinan nasional kita tidak ditentukan oleh partisipasi rakyat banyak, tetapi tergantung beberapa kelompok kecil di tingkat elite. Elitenya pun yang super, di lingkaran terdalam kekuasaan. Kalau sekadar anggota Fraksi Karya Pembangunan di MPR itu tidak ada apa-apanya, wong pimpinan fraksi saja belum tentu ikut, kok.
Apakah menurut Anda ada kesengajaan untuk mempertahankan status quo?
Ah, tidak bisa disalahkan pada pemerintah saja, tapi pada kita sebagai bangsa. Walaupun pemerintah menghendaki seperti itu, kalau bangsa ini melalui wakil-wakilnya di MPR mau membuat aturan yang benar, ‘kan tidak bisa ditangkal. Lha, wong yang di MPR tenang-tenang saja. Kondisi itulah, saya rasa, yang juga diprihatinkan Pak Harto. Barangkali beliau berpikir, “Kok, jadi begini, ya?”
Mungkin kemarin-kemarin tidak terasa, tetapi kebutuhannya sekarang baru terasa. Maka, Pak Harto memberi responsi. Ketika ditanya wartawan Australia, beliau menjawab yang kata-kata kuncinya adalah: presiden harus menciptakan kondisi yang memungkinkan munculnya calon pemimpin baru. Di situ ada kehendak Pak Harto untuk, katakanlah, mencari semacam cara. Itu ‘kan istilah yang diplomatis sekali: presiden harus menciptakan kondisi yang memungkinkan munculnya calon pemimpin baru. Dengan kata lain, sebenarnya Pak Harto saat ini lagi “pusing”.
Karena, kenyataan, selama ini tidak ada yang pernah memikirkan secara serius persoalan itu. Golkar tidak pernah, PPP dan PDI juga tidak pernah, apalagi Fraksi Utusan Daerah. Kalau Fraksi ABRI memang maunya selamanya status quo. Kemungkinan perubahan ‘kan dari tiga parpol itu. Saya belum pernah dengar pidato di parlemen ada satu usul konkret untuk mengubah mekanisme alih kepemimpinan agar menjadi transparan.
Mungkinkah wakil rakyat tak berani menyuarakan itu karena takut di recall….
Karena takut risiko, tidak ada yang berani, ya, begini jadinya, Lha. Orang seperti saya, karena tidak punya risiko ‘kan bisa ngablak seenaknya Risiko saya paling ditekan. La, saya merasa sangat mencintai bangsa ini. Saya tidak akan membiarkan keadaan begini terus. Maka, saya ngomong sekarang. Nah, di situlah politik sebagai seni itu harus dimainkan. Kalau Anda berbicara pada waktu yang tidak tepat, ya, tidak ada yang mau melayani. Tetapi sekarang saya, yang kere (miskin) politik karena tidak punya tempat dalam politik, ngomong begitu, terus mendapat tanggapan luas itu ‘kan karena kebetulan persis waktunya. Di situlah politisi itu diukur gede-tidaknya.
Banyak orang bertanya, apa makna ucapan Anda mengenai suksesi itu. Ada yang mengira Anda sudah mulai kompromistis…….
Lho, saya ‘kan cuma bertanya. Saya tidak usah kompromistis hanya untuk menunjukkan kenyataannya memang begitu. Saya mau tanya, siapa orang yang saat ini sudah punya posisi bisa menggantikan Soeharto? Ayo, sebut nama. Akhirnya ‘kan: lho. Kok, tidak ada, ya…? Karena apa? Sebab, orang itu harus mampu dan harus diterima Pak Harto. Saya Cuma mengatakan apa yang nyata. Tidak ada keinginan bahwa saya mencalonkan kembali Pak Harto. Tidak ada. Bukan itu. Wong, Pak Harto sendiri sudah pingin turun, kok, kita ngitit. Bahwa Pak Harto itu orangnya diam, tidak mau ngomong terbuka segala macam, itu soal lain. Tapi, masak, Anda tidak bisa baca bahwa Pak Harto sudah kecapeaan. Wong, dia sendiri sudah pernah bilang TOPP (tua, ompong, peot, pikun).
Anda yakin Pak Harto sudah tidak mau lagi?
Saya rasa, kalau sudah ada proses penggantian yang membuatnya lega, dia sudah tidak mau maju. Saya yakin itu. Anda boleh saja setuju tidak setuju, saya berani membuktikan bahwa seluruh sikap Pak harto akhir-akhir ini ‘kan mengacu kepada: “Jangan membebani saya”, gitu, “kan? Itu kelihatan banget. Mungkin dulu-dulu itu belum ada orang yang dia percaya. Nah, mungkin sekarang sudah ketemu, Cuma belum ketemu bagaimana memprosesnya.
Anda merasa sudah bisa menyelami cara berpikir Pak Harto?
Dari dulu sudah.
Apakah Pak Harto memang sudah menemukan calon penggantinya?
Saya duga begitu. Orang ‘kan begini, kalau Anda kuat, orang lain yang akan menggantikan akan diukur pakai ukuran Anda. Tapi, kalau Anda sudah ogah-ogahan, ada atau tidak ada pengganti Anda akan bilang “Sudahlah, biarin, kurang sedikit tidak apa.” Jadi, kondisinya sudah berbeda sekarang. Tahun 1992 dengan 1996 beda, kualitatif Pak Harto nya berbeda. Kalau dulu mencari yang ideal, yang sempurna, yang berat lah syaratnya, sekarang sudah tidak lagi. Jadi, sikap saya itu bukan karena saya mendukung si A si B, atau saya ini sudah tahu persis apa yang akan terjadi. Saya justru bertanya, memancing, keluarnya calon definitif itu, yang kira-kira dikehendaki Pak Harto.
Apa isyaratnya, Pak Harto sudah menemukan Calon?
Dengan mengatakan, lewat Moerdiono, bahwa Presiden harus menciptakan kondisi yang memungkinkan munculnya calon pemimpin baru. Dia itu mikirnya ke sana. Cuma, mekanismenya kayak apa, nah, jangan tanya saya itu. Mungkin bagi Pak Harto, kalau pun sudah ada orangnya, tinggal memprosesnya yang masih tanda tanya. Nah, di situ ujiannya Pak Harto, mengakhiri kepresidenannya dengan nada pelepasan, bukan nada keruwetan. Wah, itu sungguh tidak gampang.
Maksudnya, ketergantungan kepada kerelaan Pak Harto masih sangat besar?
Wong, nyatanya begitu, kok. Sistemnya ‘kan juga begitu. Karena sistem presidensiil kita itu tidak kayak Amerika, yang dibatasi waktunya, jadi pada waktunya presiden AS tidak bisa mengelak, dia harus memproses penggantinya. Indonesia ‘kan tidak, itu bisa ditunda-tunda.
Pernyataan Anda, “Kalau Pak Harto tidak bersedia dicalonkan kembali menjadi Presiden, persoalan akan menjadi gawat dan rumit”, apa maksudnya?
La, iya, kenyataan gawat dan rumit tidak? Kalau tidak mau dicalonkan lagi, dalam kata lain, kalau benar-benar Pak Harto mau turun, keadaan akan gawat dan rumit, ya apa tidak? La wong, belum ketemu mekanismenya. Itu ‘kan sama halnya kalau kita bicara soal warisan. Sebelum cara aturan main membagi warisan ditemukan, lalu kalau orangnya mati duluan, bagaimana? Saya ini belum bicara soal siapa, baru tentang apa dan bagaimana. Tapi sudah banyak komentar
Anda khawatir Pak Harto tak mau dicalonkan lagi…
Ah. Itu ‘kan berarti tidak konsisten dengan jalan pikiran saya dari dulu. Yang terbalik itu jalan pikiran Anda, dalam hal, kenapa Gus Dur begini. Itu karena headline Kompas mendudukkannya seperti itu. Omongan saya tidak begitu. Yang bilang begitu Kompas, bukan saya. Saya ‘kan justru ngomong soal pergantian.
Siapa, sih, pengganti Pak Harto yang paling cocok?
Lho, jangan tanya saya, Saya tidak mau dipancing soal itu. Karena bukan persoalan saya. Itu persoalan Pak Harto dan seluruh bangsa.
Kalau Pak Harto mau mundur ‘kan harus ada pengganti yang layak?
Siapa? Try akan ditentang oleh Habibie. Habibie akan ditentang Edi Sudradjat. Edi akan ditentang pula. Jadi, siapa?
Kalau begitu, harus ada konsensus atau koalisi?
Anda pikir mereka itu ego-ego yang gampang untuk membentuk koalisi? Belum lagi ada yang lainnya, Ginandjar, Moerdiono, Rudini….
Itu ‘kan orang-orang pemerintah. Apa tidak ada alternatif lain?
Kalau dari luar tidak mungkin, karena di sini ada dinasti besar. Namanya dinasti Korpri. Dia yang mewakili pemerintahan, to? Jadi, semuanya harus birokrat atau bekas birokrat.
Itu dengan asumsi suksesi berjalan lancar?
Kalau mau diganti, orangnya dari situ. Yang lain dianggap tidak berpengalaman. ABRI yang tidak pernah dikaryakan di birokrasi dianggap tidak berhak, tidak pantas, atau tidak bisa diproses. Katakanlah, tiba-tiba Feisal Tanjung menjadi presiden. Tidak mungkin diterima. Kenapa? Karena dia tidak pernah jadi menteri. Istilahnya belum punya pengalaman sipil. Indah sekali, bloking yang hebat.
Kalau Sudharmono atau Benny Moerdani, bagaimana?
Wah, itu dalam keadaan yang lebih ekstrem lagi, sudah kacau balau baru mereka bisa. Sebab, bagi mereka, ‘kan waktunya sudah lewat. Dan mereka arif, karena memang begitu jalan pikirannya: “Masak sih kita, “kan sudah lampau.” Saya rasa Pak Rudini juga demikian, cuma persepsi orang terhadapnya dikira masih aktif, karena masih sering ngomong.
Lalu, di antara yang Anda sebutkan tadi, siapa yang paling banyak aksesnya terhadap Pak Harto?
Kalau sampai sejauh itu saya tidak tahu. Masing-masing punya modal, tho? Try punya modal karena sekarang wakil presiden, Habibie juga, karena dia yang diperintahkan Pak Harto untuk membangun. Juga Edi Sudradjat. Jadi, masing-masing ada handycap dan keuntungannya. Ada kelebihan dan kekurangannya.
Kalau secara konstitusional, yang paling dekat ‘kan Pak Try?
Ya, ukurannya jangan yang konstitusional. Wakil presiden selama ini ‘kan hanya pengiring. Dekatnya ‘kan dekat konstitusional, kalau Pak Harto meninggal sebelum selesai masa baktinya.
Dalam sejarah di Indonesia, khususnya pada zaman kearajaan Jawa dulu, suksesi cenderung melalui kekerasan. Apakah Anda percaya itu akan terulang pada zaman modern ini?
Itu yang harus kita hindari. Sebab, konsekuensinya macam-macam. Satu, yang Islam, lawannya orang sekular. Itu nanti akan jadi masalah yang berkepanjangan. Kedua, hegemoni orang Jawa terhadap non-Jawa itu masalah besar. Ketiga, antara generasi 45 dan generasi penerus. Itu semua bisa menyebabkan kita terbelah betul, terjadi perang saudara. Nah, hindarilah. Karena itulah, cari mekanisme yang baik, mumpung masih ada waktu satu tahun setengah.
Satu setengah tahun apa cukup?
Kalau sekarang dibicarakan intensif, secara terus-menerus, lalu semua pihak menyadari pentingnya hal itu, ‘kan nanti bisa dimuarakan dalam Tata Tertib MPK yang akan datang. Selama ini, kan semuanya dari atas. Jadi, sekarang mulailah dikasih feeding (umpan), bikinlah tata tertib yang begini. Mudah-mudahan, lah. Saya mengharapkan Pak Harto bisa mengakhiri tugas dengan tenteram dan bahagia, dan menyerahkan kekuasaan pada orang yang dipilih dan diterima secara bersama-sama.
Menjelang pemilu 1992 lalu, Anda membuat apel akbar. Bagaimana menjelang pemilu 1997 nanti?
Bagaimana kalau bikin sekarang? Saya tanya, kalau Anda angap perlu, ya, saya bikin. Ya, mudah-mudahan dalam waktu dekat ini bisa. Tahun ini, lah.
Kali ini, apa arahnya?
Ya, mengajak seluruh bangsa untuk berpikir bahwa pemilu adalah sebuah proses politik yang penting, yang harus diperlakukan sungguh-sungguh, jangan dimain-mainkan, dilecehkan kecurangan dan intrik-intrik politik yang jelek. Itu saja.
Apa pemilu 1997 nanti akan lancar?
Tidak akan terjadi apa-apa, mulus-mulus saja, karena malah akan muncul apatisme. Masyarakat itu semakin sadar begitu, tapi belum sampai pada tingkat melawan. Jadi, yang golput lebih gedhe karena panitia pemilihan masih menggunakan standar ganda. Kayak dulu juga. Sambil mengaku tidak curang, tapi melakukan kecurangan. Lha, buktinya, pesantren saja sampai tidak didaftar. Wong, santri putri pesantren itu mayoritas di atas 17 tahun.
Kalau masalah kemenangan Golkar, semua tidak ada yang sangsi. Paling, tinggal persentasenya. PDI itu sudah happy kalau bisa melewati PPP. Sedangkan PPP, kalau tidak turun suaranya, itu sudah bagus.
Anda kira suara PDI akan meningkat banyak?
Jelas itu. Bisa melampaui PPP dia. Karena PPP tidak bisa meluas, sebab dia membiarkan dirinya berada pada citra partai Islam. Orangnya yang itu-itu. Sebagian masih ngomong yang Islami. Masih banyak yang marah-marah sama Kristen. Tapi, arahnya bergeser, dari partai kiai ke partai intelektual muslim dengan direkayasa pentolan-pentolan ICMI. Satu-satunya kemungkinan untuk menarik suara adalah Sri Bintang Pamungkas. Tapi Bintang di-recall. Yang saya khawatirkan, justru Mbak Mega emosional dengan perkembangan PDI yang dikerjain kayak begini dengan KLB. Itu membuat kualitasnya berkurang. Kalau Meganya seorang yang tenang, diam, ulet, tabah, itu yang bikin gairah. Kalau Meganya berantem kayak yang lain, ya, sama saja.
Kedekatan Anda dengan Megawati itu berpengaruh terhadap warga NU?
Saya menyediakan akses bagi Mega untuk mengenal warga NU, untuk mempengaruhi warga NU mendukung PDI. Tapi, apakah dia bisa mengolah akses itu sehingga menjadi daya tarik, menjadi rayuan efektif, itu terserah dia. Hal yang sama saya lakukan pada Golkar. Kalau Mbak Tutut ingin mengenal warga NU, oke, saya bersedia anterin. Saya yakin, orang NU tidak keberatan.
PPP tidak dikenalin?
PPP isinya NU. Tidak Usah saya kenalin sudah tahu.
Ada rencana membawa Mbak Tutut ke warga NU?
Ya, nanti kita lihat saja bagaimana. Kalau nanti disambut uluran persahabatan, kita akan jadi efektif. Tapi tergantung kemampuan Golkar menerjemahkan. Dengan kata lain, NU memfasilitasi pemrosesan potensi menjadi konkret. Tapi, prosesnya harus dilakukan yang bersangkutan. Pengertian dari Khittah NU itu begitu. Menjaga jarak yang sama dengan semua pihak. NU bisa dirangkul oleh siapa pun.
Ketua GP Ansor menyatakan Ansor masuk Golkar, itu Anda setuju?
Itu persoalan lain. Itu Cuma ambisi pribadi perorangan yang ingin mendapat tempat.
Ngomong-ngomong, kenapa Anda belum juga diterima Pak Harto?
Belum diterima karena Pak Harto juga harus menenggang pada banyak orang. Kalau Pak Harto mau baik sama kita, dia juga tidak mau terlalu kelihatan. Ada cara. Pak Harto itu orang pinter.
Anda tidak merasa hubungan dengan Pak Harto tidak harmonis?
Yang bilang hubungan saya dengan Pak Harto tidak harmonis itu siapa? Ada dua jawaban terhadap pertanyaan itu. Satu, ukuran harmonis dan tidak harmonis itu bagaimana. Saya tidak merasa ada hubungan yang tidak harmonis itu. Kalau ada keinginan untuk menciptakan hubungan tidak harmonis antara saya dan Pak Harto oleh oknum-oknum pejabat tinggi pemerintah, betul itu ada. Tapi, Pak Harto itu orang pinter, pemain politik yang luar biasa. Saya ngomong ini bukan karena mau mencalonkan dia lagi, lho. Dia tidak mau, istilah orang Inggris, he never burn the bridge, membakar jembatan yang dia lewati, karena suatu ketika dia mesti lewat situ lagi.
Nah, mungkin suatu ketika saya bikin dia marah, tapi itu cuma beberapa waktu. Sebentar saja sudah tidak ada apa-apanya. Hanya pihak-pihak yang berkepentingan supaya hubungan saya tidak harmonis dengan Pak Harto, saya tidak usah menyebutkan namanya, orang-orang ini, yang mau terus menghalangi saya ketemu Pak Harto. Saya tahu itu karena ada orangnya Pak Harto yang ngomong begitu. “Bapak sebenarnya pengin ketemu sampeyan, tapi kalau ketemu sekarang, ya, bikin geger baru. Sebab, si ini, tidak setuju. “Saya dikasih tahu, kok. Jadi saya tidak mengganggap ada disharmoni.
Begitu banyak hal yang dilakukan kepada saya di NU, hambatan-hambatan, sampai ada muktamar luar biasa, tiadak ada yang dibenarkan Pak Harto. Begitu sampai pada tahap kritis, Pak Harto keluar sikapnya, melalui suara menteri-menterinya. Mendagri bilang: Yang sah hanya Muktamar Cipasung. Soesilo Soedarman bilang: Hasil Cipasung yang dipakai pemerintah. Moerdiono, Edi Sudradjat juga demikian. Itu tidak main-main. Mereka tidak akan ngomong kalau tidak boleh sama Pak Harto. Jadi, melihatnya dari situ.
Naiknya Anda kembali sebagai Ketua Umum PBNU itu dinilai sebagai keberhasilan upaya Anda untuk mengubah status quo. Betul itu?
Kesan itu ada, tapi salah. Sebetulnya, Pak Harto itu terbuka. Dia berpikir, kalau bisa dicari gantinya, beliau akan turun. Kalau tidak, ya terpaksa diterusin. Karena mekanisme belum ada, lalu cara intrik-intrikan tidak putus-putus juga, dan hasilnya tidak akan konklusif. Pak Harto tidak bisa dong mundur, namanya tidak tanggung jawab. Kalau mundur, saya akan ngomong ke Pak Harto: “Jangan turun, Pak.” Ini bukan masalah senang tidak senang. Daripada ada peristiwa berdarah, begitu saja, deh, gampangnya. Daripada pertentangannya tidak bisa diselesaikan secara mantap oleh calon-calonnya yang mau mengganti, daripada mereka ribut berantem dan akhirnya negara kita berantakan.
Sekarang ini levelnya terletak pada: bisa ditemukan atau tidak mekanisme itu. Lalu, kapan bisa temukan calon yang definitif, saya rasa akhir tahun ini. Sebelum akhir tahun belum ada hal ini. Nah, itu harus kita akui, bahwa itulah ketimpangan politik kita. Sebab, prosesnya lalu terserah di tangan presiden, bukan di tangan MPR. Kekuasaan eksekutif yang terlalu besar itulah yang harus kita pikirkan untuk dikendalikan pada era pasca-Soeharto.
Kalau Anda sendiri, mau tidak jadi presiden?
Saya tidak akan mencalonkan diri. Simpel sebabnya. Masak, orang yang kotok matanya seperti saya bisa jadi pejabat. Pahit memang, tapi ya inilah kenyataan. Saya jalan ke podium saja dituntun, Kok. Kebetulan saya juga tidak punya ambisi. Jadi, enteng-enteng saja.