Sebuah Telaah Perbandingan Tentang Masyarakat Tanpa Kelas

Sumber Foto: https://vinus.id/resensi-buku-muhammad-saw-dan-karl-marx/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Buku ini dimaksudkan untuk membandingkan tentang masyarakat tanpa kelas menurut pandangan Rasulullah Muhammad saw dan Karl Marx. Memang sangat menarik untuk melihat bagaimana persamaan dan perbedaan antara pandangan berdasarkan sebuah kitab suci, bila dibandingkan dengan pendapat manusia. Sangat jauh berbeda, walaupun dengan sikap hati-hati kita bisa menyatakan ada titik-titik persamaan pandangan antara keduanya. Justru buku ini memaparkan persamaan dan perbedaan antara keduanya.

Persamaan antara keduanya dapat dilihat pada topik masyarakat tanpa kelas itu sendiri. Tapi, persamaan itu tidak menghalangi adanya kewaspadaan untuk tidak mempersamakan asal antara keduanya. Pandangan tentang Nabi Muhammad saw didasarkan pada firman Ilahi dalam kitab suci al-Qur’an, ucapan dan prilaku Nabi Muhammad saw. Sebaliknya, pendapat yang diterima Karl Marx umumnya diambil/didasarkan pada hal-hal yang dimuat dalam Das Kapital. Kalaupun ada persamaan antara keduanya, menjadi jelas bagi kita pengambilan sumber-sumber sudah jauh bebeda.

Prinsip-prinsip yang digunakan juga berbeda satu dari yang lain, walaupun mungkin kesimpulannya tidak jauh berbeda. Ini sangat penting diperhatikan, karena justru mudah sekali kita ‘terperosok’ mempersamakannya. Tugas buku inilah untuk melihat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga kita tidak melakukan kesalahan fatal mempersamakan keduanya.

Kitab suci al-Qur’an menampilkan sejumlah prinsip yang harus digunakan untuk mendirikan masyarakat yang bermanfaat untuk umat manusia. Umpamanya saja, firman Allah dalam al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan dan menjadilah saksi bagi Tuhan walaupun mengenai dirimu sendiri, orang tua dan kerabat/ya ayyuha al-ladzina amanu kunu qawwamina bi al-qisth syuhadaa lillah walau ‘ala anfusikum awil walidain wa al-aqrabin” (Qs. al-Nisa’: 135). Juga dalam kitab suci tersebut Allah berfirman, “Dan jangan kalian campuradukkan antara yang benar dan yang salah dan jangan kalian tutup-tutupi kebenaran jika kalian tahu/wa la talbisu al-haqqa bi al-bathil wa taktumu al-haqqa wa antum ta’lamun” (Qs. al-Baqarah: 42). Pandangan Kitab Suci tersebut sebagai titik berangkat adanya persamaan hak dan status semua manusia. Bagi mereka telah menerima kebenaran Allah SWT akan menjalankannya sebagai pegangan hidup.

Dalam pandangan Islam, kesamaan umat manusia didasarkan pada penerimaannya akan keyakinan adanya Allah SWT, yang dalam bahasa al-Qur’an biasa disebut taqwa. Ini dapat dilihat pada ayat berikut: “Sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa/inna khalaqnakum min dzakarin wa untza wa ja’alnakum syu’uban wa qaba’ila li ta’arafu inna akramakum ‘inda Allahi atqakum” (Qs. al-Hujurat: 13).

Jelaslah dari apa yang diuraikan di atas, bahwa ketaqwaan merupakan ukuran tertinggi dari hidup manusia. Juga bahwa ketaqwaan itu bukan hanya monopoli kaum muslimin saja.

Tapí Allah SWT juga berfirman: “Orang yang mengambil selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima dan ia termasuk orang yang merugi di akhirat/wa man yabtaghi ghaira al-Islam dinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati min al-khasirin” (Qs. Ali ‘Imran: 85). Bukankah ini berkebalikan dengan pendapat fiqh/ hukum Islam, yang beranggapan bahwa semua orang (termasuk kaum non muslim) akan memperoleh pahala jika meminggirkan duri dari tengah jalan ke pinggir jalan agar tidak terinjak?

Jawabnya ada pada firman Allah SWT: “Adakah orang yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah dan berbuat baik dan berkata sesungguhnya aku termasuk golongan kaum muslimin/wa man ahsanu qaulan mimman da’a ila Allahi wa amila sholilan wa qala innani min al-muslimin?” (Qs. Fushshilat: 33). Kitab suci al-Qur’an juga menyebutkan: “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar/waltakun minkum ummatun yad’una ila al-khairi wa ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhauna ‘ani al-munkar” (Qs. Ali Imran: 104). Dari Qs. Fushshilat: 33 tadi terlihat amal shaleh (‘amalan shalihan) hanya berada di tangan kaum muslimin, sedangkan dalam Qs. Ali ‘Imran: 104 terlihat amal kebaikan (fi’lu al-khair) dapat diberikan kepada siapa saja termasuk orang non-muslim. Jadi Keduanya memperoleh pahala, walaupun status pahala itu berbeda. Mengapa Tuhan berfirman seperti itu? Rahasia akan hal ini hanya Tuhan saja yang tahu.

Seperti seorang orientalis Amerika Serikat, Charles Torrey yang mengajukan disertasi pada Universitas Heidelberg di Jerman pada tahun 1860-an. Ia mendapati hanya kitab suci al-Qur’an yang menggunakan kata-kata profesional untuk menggambarkan keyakinan agama dalam Islam. Seperti dalam firman Tuhan: “Barang siapa menghutangi Allah dengan hutang yang baik akan dilipat- gandakan pengembaliannya/man dzalladzi yuqridhullaha gardhan hasanan fayudha’ifahu lahu” (Qs. al-Hadid: 11).

Buku ini sangat menarik untuk kita apresiasi bersama, karena tidak hanya memaparkan tentang konsep masyarakat tanpa kelas menurut pandangan Muhammad SAW dan Karl Marx, akan tetapi kalau kita telaah lebih dalam buku ini sebenarnya menggambarkan kegelisahan penulisnya ditengah-tengah masyarakat yang hari ini telah terkontaminasi oleh sistem kapitalisme Global. Meskipun kekurangan buku ini adalah oleh penulisnya tidak dikontekstualisasikan dengan situasi kekinian yang itu tentu perlu penelitian mendalam. Dan kita tunggu saja buku ke II yang dijanjikan penulis, yang lebih mendalam akan mengupas Muhammad SAW dan Karl Marx serta upaya mencari ideologi baru pasca kapitalisme. Apalagi buku ini ditulis oleh seorang anak muda NU yang menghabiskan waktunya ketika mahasiswa menjadi seorang Aktivis PMII D.I. Yogyakarta sehingga sangat terasa kelugasan bahasanya yang lebih mirip dengan orasi, sebagimana kelugasan tulisan-tulisan seorang aktivis terdahulu yang sekaligus seorang penulis yakni Soe Hok Gie, Soekarno, Tan Malaka.

Jelaslah dengan demikian bahwa diperlukan kajian mendalam tentang berbagai aspek dalam kehidupan kaum muslimin, bukan?