Sejarah Kata

Sumber Foto: https://anyflip.com/tugxf/magb

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tiap kata atau istilah dalam kehidupan sehari-hari selain mempunyai pengertiannya sendiri, juga mempunyai sejarahnya masing-masing. Antara kata dan sejarah harus disamakan, meskipun sepintas kata kelihatannya merupakan persoalan kecil. Sejarah mempunyai bekas yang mendalam.

1. Reinterpretasi Kata

Adillah naqliyah (teks-teks suci) juga tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya. Ada asbab al-nuzul (kondisi saat ayat-ayat al Quran diturunkan) dan ada asbab al-wurud (kondisi saat Nabi Muhammad SAW bersabda, berbuat, dan menilai sesuatu). Ini kelihatannya hal yang sederhana. Tetapi kalau kita teliti pada lafadlnya, kalimatnya, jumlahnya, menjadi ruwet. Dalil naqli menggunakan kata-kata yang sesuai dengan kondisi waktu itu. Dalil naqli yang digunakan tidak berdiri sendiri, semuanya berkaitan dengan latar belakangnya. Kita melihat adanya penafsiran ulang, reinterpretasi (tafsir min jadid). Meminjam bahasa Mbah Mansur Adnan ada “Tafsir Jalalain1 juga ada “tafsir jalan lain” yaitu tafsir yang baru ini.

2. Wanita “Prasejarah”

Teks yang melarang pemimpin negara seorang wanita misalnya,2 Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan, bahwa apabila suatu kaum dipimpin oleh seorang wanita, maka bersiaplah akan datangnya bahaya. Dalam hal ini, perlu dilihat terlebih dahulu kondisi saat datangnya ayat itu. Pada waktu itu, sekitar abad ke-7 dan ke-8, di Semenanjung Arabia pekerjaan kepala pemerintahan sangat sulit. Misalnya, memimpin peperangan dengan suku lain, memimpin rombongan/khalifah perdagangan ke negara-negara lain yang sangat jauh, di mana hal ini tentunya sangat sulit bagi seorang perempuan.3 Demikian pula dalam hal irigasi, betapa beratnya membagi air di Arab waktu itu, dan pemimpin harus mempunyai kekuatan dalam membaginya. Pada waktu itu pemimpin sifatnya perorangan (artinya, lebih banyak menentukan sendiri, tanpa ada bentuk perundang-undangan yang baku).

Tetapi sekarang lain, kepemimpinan sudah diinstitusikan sedemikian rupa sehingga Benazir Bhutto, misalnya, tidak bertindak sendiri. Keputusannya tidak bisa bertentangan dengan undang-undang, sementara yang membuat undang-undang adalah mayoritas laki-laki.

Oleh karena itu harus ada reinterpretasi dari teks-teks suci itu. Contoh lain, ayat tentang perempuan dan perbudakan:

“Fankihu ma thoba lakum min al-nisa’i matsna wa tsulatsa wa ruba’, fain khiftum an la ta’dilu fawahidaan aw ma malakat aymanukum.”4

Pertama, ayat ini merupakan isyarat adanya perijinan (kalam kobar) menikah lebih dari satu atau dengan hamba, budak yang disenangi, bukan menunjukkan perintah.

Kedua, kalau kita lihat, istri-istri yang dimaksud dalam ayat itu harus diperlakukan setara. Tidak bisa satu dipakai, satu tidak. Harus dipakai semua. Jadi, ayat tersebut jika dijelaskan menjadi: “Kawinilah oleh kalian perempuan yang baik-baik yang kamu sukai dua tiga atau empat. Tetapi, kalau dirimu merasa tidak bisa memperlakukan mereka secara adil, maka satu saja sudah cukup”. Tidak bisa mentang-mentang mau kawin banyak, kemudian memakai ayat itu sebagai dalil pembenaran.

Inilah yang dinamakan berbuat semena-mena terhadap al-Qur’an. Juga, kata ‘adil (adil)’ dalam ayat tersebut disandarkan atas penilaian siapa? Orang seperti saya, istri 30 juga masih bisa adil. (Gerrr…… tertawalah para hadirin). Lebih tepat, jika yang menilai keadilan ini adalah pihak perempuan (istri).

Ketiga, kita harus jujur menafsirkan lanjutan ayat ini “aw ma malakat aimanukum” (atau hamba perempuan yang kamu miliki). Maksudnya adalah perempuan yang dibeli (pada zaman “prasejarah”). Ayat ini memang merupakan problem bagi kaum Muslimin sekarang. Perbudakan sekarang tidak ada. Memang, ada kesenjangan sejarah antara teori dan praktik. Orang-orang Arab sekarang sering menganggap para TKW dari Indonesia sebagai budak, bisa “dikumpuli”. Akibatnya, bisa disaksikan ketika TKW pulang dan turun dari Bandara Soekarno-Hatta, banyak perempuan yang membawa anak-anak ganteng mirip orang Arab. Padahal para suami yang ada di belakang mereka, yang menjemput TKW itu, tidak terlalu ganteng. (Gerrr…. tertawalah para hadirin). Hal ini terjadi karena adanya kesalahan interpretasi. Di belahan dunia manapun tidak ada yang berkelakukan seperti orang-orang Arab itu.

Berbicara lebih jauh lagi tentang perempuan. Dahulu, dalam suatu perkawinan laki-laki meminta perempuan (calon istri) kepada keluarganya. Jika setuju, maka jadilah perkawinan itu. Setuju di sini bisa ada dua kemungkinan: pihak perempuannya yang setuju atau pihak orangtuanya. Keadaan itu sekarang sudah banyak berubah.

Dahulu perempuan dianggap tidak mempunyai otak atau kemampuan laki-laki. Karena itu perempuan tidak disekolahkan. Tetapi sekarang berbeda, banyak profesor doktor yang perempuan. Bahkan Hakim Agung perempuan pertama di dunia Islam (beragama Islam) malah dari Indonesia Widawati (istrinya Wiratmosuwito).- kalau menteri perempuan sudah banyak. Kemudian disusul oleh hakim-hakim Pengadilan Negeri lainnya yang perempuan.

Lebih banyak lagi perempuan yang menjadi hakim Islam, ini dimulai semenjak ayah saya (Wahid Hasyim) menjadi Menteri Agama. Pada waktu itu, ayah saya menghadapi permasalahan ketika dibuka SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama), kemudian PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri). Secara teoritis, perempuan bisa mengikuti pendidikan itu. Ayah saya ditanya bolehkah perempuan belajar di SGHA. Dia menjawab boleh, karena tidak bertentangan dengan UUD, meskipun menurut fikih ada satu qoul (sebagian ulama) yang tidak memperbolehkan. SGHA dan PHIN sekarang menjadi fakultas Syari’ah jurusan Qodlo’ dan lulusannya banyak perempuan yang menjadi hakim agama. Hakim agama pertama perempuan adalah sepupu saya, Mbakyu ‘Abidah Mahfudz Istri Kyai Mahfudz Anwar Seblak, cucu dari Mbah Hasyim dari ibu Khoiriyah. Perempuan sudah banyak yang mengerti fikih secara mendalam.

3. Kafir

Hal penting yang harus dipahami oleh orang Islam adalah kata al-dien (agama). Kalau salah dalam memahami istilah ini akan berakibat fatal. Al-Dien biasanya dipahami ‘inda ba’dlina (oleh sebagian ulama) sebagai keseluruhan pola hidup yang berasal dari Allah dan tidak bisa ditawar lagi. Hal ini yang mengakibatkan munculnya orang-orang seperti Abu Bakar Ba’asir, dan teman-teman kita yang tergabung dalam partai Islam.

Terutama kata “dien” dalam ayat adalah:

al-Yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum ni’mati wa rodlitu lakum al-Islam dina“. (Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agama-mu dan telah Aku cukupkan nikmatKu atasmU).5

Sempurna dalam arti sebagai suatu bentukan detail yang terperinci atau sebagai prinsip? Kalau saya, mengatakan sebagai prinsip, pokok-pokok ajaran Islam. Banyak masalah yang bagi saya itu prinsip begini-begini, adapun detailnya harus dilihat dulu. Kalau ada adillah naqliyahnya (teks yang jelas) kita pakai itu. Kalau tidak, kita tafsirkan sendiri. Kalau tidak ada teks, pakai akal kita. Kalau kelengkapan al-Qur’an (akmal) dimaknai sampai kepada tafsir-tafsir, maka akan berakibat sangat berbahaya.

Pertama, salah satu di antaranya adalah bahwa apapun yang akan kita lakukan harus senantiasa mempertimbangkan kebaikan untuk umum, al-mashlahatul ‘ammah. Kedua, harus berdasarkan rukun iman, dan juga segala pekerjaan dilandaskan pada rukun Islam. Jadi, itulah pokok-pokok ajaran Islam. Lalu fiqh (hukum terapan), senantiasa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, sesuai dengan kata-kata “al-Islam yasluhu kulla zaman wa makan“. Bahwa Islam itu ditafsirkan secara luas, secara longgar.

Jadi nama itu menjadi sedemikian pentingnya. Pemahaman al-dien seperti di atas mengakibatkan Islam harus sesuai dengan aturan yang telah ada dalam Islam. Aturan hidup dari non-Islam dengan jalan mendirikan negara Islam. Lha Islam dari dulu, “lakum dinakum waliyadin” (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku).6

Bahwa ada ayat yang mengatakan:

“Wa man yabtaghi ghoiro al-Islam dinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhira min al-khosirin”.

(Barangsiapa memilih agama selain Islam maka tidak diterima dan di akhirat ia termasuk orang yang merugi).7

Lan yuqbala” (tidak diterima) maksudnya adalah la yutsabu (tidak diberi pahala), dianggap seperti orang yang jalan atau naik kereta apinya tidak mendapat pahala, bukan ibadah kok. Bukan berarti tidak sah jalannya atau naik kereta apinya, tetapi dalam pandangan Islam tidak diberi pahala. Cuma itu saja, tidak lebih dari itu. Tidak berarti kewajiban umat Islam membunuh mati orang Kristen.

Kata “kuffar” (orang-orang kafir yang dimusuhi) sering disebut al-Qur’an, tidak dimaksudkan untuk orang-orang yang beragama lain, misalnya Yahudi dan Nasrani sebagaimana dalam pengertian fikih.8 Kafir dimaksudkan untuk orang-orang yang menyekutukan Allah di Makkah (musyrik Makkah).9 Sementara Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an jelas disebutkan dengan kata “Ahli Kitab.”10

Pemahaman yang salah ini berimplikasi pada dilarangnya orang selain umat Islam masuk ke Makkah dan Madinah. Lima kilometer sebelum masuk Makkah atau Madinah, orang diperiksa Paspornya, kalau non-Muslim tidak boleh masuk. Kenapa harus ada aturan semacam itu? Padahal Sayyidina Umar menerima para pendeta di mesjid. Artinya, teks hanya dipahami secara formal, yang dibuat orang Islam dalam fiqh (kitab hukum) dan dalam perkembangannya fiqh melarang orang selain Muslim masuk ke daerah haram. Nah, di sini menjadi masalah yang tidak putus-putus sampai sekarang. Menjadi lucu bahwa negara Islam negeri-negeri orang Muslim turut meratifikasi deklarasi universal hak asasi manusia padahal pedoman yang digunakan adalah fiqh yang melarang orang non-Muslim memasuki Tanah Haram.

Berbicara tentang deklarasi universal Hak Asasi Manusia, ada pernyataan secara umum tentang hak-hak manusia yang disahkan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Di antaranya, hak berpindah agama dengan bebas. Al-Qur’an tidak pernah menerangkan bahwa orang Islam pindah agama lalu dihukum mati. Ini hanya ada dalam sejarah, orang pindah agama dihukum mati oleh rajanya karena dianggap sebagai orang murtad (apostasi). Orang pindah agama itu memang hak asasi. Itu yang membuat kita bertanya langsung apakah mengambil dari Al-Qur’an atau mengambil dari cerita sejarah.

Sekali lagi, ayat yang berbunyi: “Wa man yabtaghi ghoiro al-Islam dinan falan yuqbala minhu“, adalah milik Islam, bukan berarti wujud permusuhan terhadap mereka yang bukan Islam. Terbukti rumah sakit yang mereka dirikan bisa menyembuhkan orang sakit yang beragama Islam.

Kemudian lanjutan dari ayat itu adalah: “wa huwa fi al-akhirah min al-khasirin“. Artinya, orang yang tidak beragama Islam di akhirat menjadi orang yang merugi. “Khasirin” biasanya ada dalam dunia dagang. Jika dagangnya rugi, apa nanti di akhirat dagang lagi? Itu amal perbuatan kita tergantung pada Allah. Artinya, Allah menggunakan kata profesional “khasirin” untuk amal perbuatan, amal soleh yang hanya dinilai oleh Allah.

Jadi, yang menentukan amal seseorang diterima atau tidak, itu adalah Allah. Bukan Anda, bukan saya, bukan ulama, juga bukan hakim. Karena itulah:
“…tu’ti al-mulk man tasy’a wa tanzi’ al-mulka mim man tasy’a wa tu’izzi man tasy’a wa tudzillu man tasy’a…”11

Kalau Anda menggunakan agama lain, silakan itu urusan Anda. Tetapi menurut Tuhan saya, amal perbuatan Anda tidak akan diterima. Lha entah menurut pertimbangan Tuhan Anda, itu urusan Anda bukan urusan saya. Itulah al-Qur’an. Kita konsekuen dengan al-Qur’an apa tidak? Dan tidak bisa melihat agama lain dengan modal jengkel apalagi sambil puasa.

4. Hukum Allah

Dari sini kita harus berhati-hati pada beberapa kata yang mempunyai pengertian-pengertian yang berbahaya. Sering diulang-ulang pembahasan tentang ayat-ayat seperti berikut ini:

“…waman lam yahkum bima anzala Allah fa’ulaika hum al-kafirun/al-dzalimin/al-fasiqun
(barangs siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir/dholim/fasik).12

Hanya karena apa yang telah diturunkan Allah itu adalah ayat, pengertiannya menghubungi dengan ayatnya itu menjadi sempit sekali, menjadi keras sekali. Jika yang dimaksudkan dengan apa yang diturunkan Allah adalah hukum, maka hukum itu sendiri bergerak. Bukan berarti al-Qur’an tertutup ruang untuk interpretasi ulang. Kalau demikian kita telah memperlakukan agama Islam menjadi satu institusi atau lembaga yang sudah jadi. Sehingga secara kelembagaan tidak dibenarkan segala sesuatu yang tidak sesuai atau tidak berasal dari Islam.

Umpamanya, sekarang dalam al-Qur’an itu tidak ada cerita tentang pesawat terbang akhirnya orang tidak berani naik pesawat terbang. Lha, itu dikembalikan pada kendaraan yang disebutkan seperti unta, kuda, dan perahu. Itu menunjukkan jenis kendaraan. Kalau begitu, menghukumi berdasarkan apa yang diturunkan Allah tidak berarti harus dengan seperti yang ada di dalam al-Qur’an.

Nah, kalau fiqh menjadi begini kita tidak khawatir melanggar hukum Allah, tidak gampang sedikit-sedikit haram. Sampai ada seorang kyai yang ditanya apa hukumnya mikropon? Dijawab, “haram-haram!” Saya katakan, “Lha yang saya pakai untuk bicara ini kan namanya mikropon?” Kemudian dia mengatakan, “O… kalau itu yang namanya mikropon ya halal.” Itu kan belum tahu urusannya kok sudah bicara haram, mentang-mentang mikropon itu bahasa asing, tidak ada di al-Qur’an.

Ambil, contoh, Jinayah (hukum pidana Islam) misalnya potong tangan:
“…anna al-nafsa bi al-nafsi wa al-aini bi al-aini wa al-anfa bi al-anfi wa al-udzuna bi al-udzuni wa al-sinna bi al-sinni…”13

(….Jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telnga dengan telinga, dan gigi dengan gigi…).

Kalau diartikan secara formal itu sama saja dengan KTP bil KTP, kalau menghilangkan KTP punya orang harus mengganti KTP.

Saya sangat tertarik dengan pendapatnya al-Asmawi, mantan ketua Mahkamah Agung Mesir:

“…anna al-nafsa bi al-nafsi wa al-aini bi al-aini wa al-anfa bi al-anfi wa al-udzuna bi al-udzuni wa al-sinna bi al-sinni…”

Yang penting ada dua prinsip yaitu menghukum dan mencegah, punishment and prevention dalam istilah bahasa Inggris, dan bahasa Arab-nya al-‘uqubah wa al-difa’. Kalau dua unsur ini ada maka tiap jinayat, hukum pidana ada, asalkan Barat atau kitab hukum pidana Barat, seperti yang mendominasi KUHP kita. Islam adalah prinsip-prinsipnya.

Jadi, di sini diartikan bahwa setiap kesalahan harus ditindak, dihukum, dan dicegah jangan sampai diulang. Adapun bentuknya terserah kepada kita. Seperti hukuman penjara 10 tahun itu juga sudah Islami, tidak usah ada potongan. Qishash dalam praktek malah juga berbeda, tergantung pada keluarga yang didholimi, yang dibunuh. Kalau dia tidak ridla ya qishash. Jadi, kelihatan di sini bahwa hukum Barat lebih konsekuen. Artinya, tidak ada istilah maaf-maafan. Pidana dihukum ya dihukum, selesai. Kalau memakai hukum Islam secara formal tanpa interpretasi, seorang pembunuh bisa tidak dihukum bahkan dimaafkan.

Ini terjadi. Ada seorang sopir, supire wong Arab. Dia ditahan karena menabrak sampai mati. Oleh Mahkamah, dia dijatuhi hukuman mati karena membunuh. Apalagi yang ditabrak adalah anak satu-satunya dari sebuah keluarga kaya. Dia akan disembelih, dibawa ke depan Masjidil Haram. Algojo sudah siap semuanya. Sebelum algojo memakaikan tutup kepala untuk si sopir, sopir itu berkata: “Sebentar, saya mau minta maaf kepada orangtua si korban.” Dia diijinkan dan segera menemui orangtua korban. Sambil mencium tangan orang tua korban dia mengatakan — di situ ada penerjemahnya — “Saya minta maaf sudah menyebabkan kematian anak Anda. Sebelum dipancung, permintaan saya satu saja. Saya orang melarat. Apa yang ada pada saya itu, tidak cukup untuk anak-anak saya dan istri saya yang ada di rumah. Saya minta tolong — coba lihat gombalnya — (gerrr….gemuruh suara tawa hadirin). Tolonglah, keluarga saya dikirim sekian real, biar istri saya bisa menghidupi anak-anak kami sampai mereka selesai sekolahnya.” Mendengar gombalan itu, si orang tua pun menangis dan mengatakan, “Sudah, sudah, sudah! Kamu saya angkat anak, saya maafkan.” Sopir yang membunuh itu tidak dihukum malah diangkat sebagai anak oleh orang tua korban. Sekarang dia kaya raya. Saya pernah dijamu di rumahnya. Si ayah baru, ayah angkat itu, bangga dengan anak barunya. Rupanya orang tua itu, dalam penderitaannya bertahun-tahun mencari tokoh ideal, dan tokoh ideal itu mereka dapatkan pada waktu sopir itu minta maaf. Ya sudah, sekarang tokoh ideal ini kaya raya dan hidup di rumahnya.

Itu sekadar satu contoh dari jeleknya hukum Qishash. Maka kita tidak boleh sembarangan menggunakan kata-kata itu, apalagi di dalam memahami kata. Yang terpenting kalau dua prinsip, yaitu punishment and prevention, cegahan dan hukuman sudah dijalankan berarti sudah dianggap sebagai pengganti, substitusi dari qishash, apapun bentuk hukumnya. Seorang Muslim seperti seorang hakim, tidak takut kepada apapun. Kalau memang benar-benar dinyatakan salah, bagaimanapun juga tetap salah.

5. Sejarah Laut Indonesia

Termasuk juga misalnya, sangat penting untuk mengetahui latar belakang Indonesia untuk menentukan orientasi negara Indonesia ke depan. Ini penting karena buntutnya panjang. Dari kata menjadi kebijakan, dari kebijakan menjadi tindakan, dari tindakan satu per satu menjadi kebijakan umum.

Pada dasarnya negara kita selalu diperintah oleh orang Jawa, kecuali pemerintahan umum yang bernama Sriwijaya dulu. Sriwijaya pada waktu itu mengutamakan kelautan. Aktivitas darat pada dasarnya hanya untuk menunjang kekuatan laut.

Sriwijaya kemudian menyerang Kalingga (Jawa) yang beragama Hindu-Budha. Kalingga tentunya merupakan wilayah agraris karena ada di pegunungan. Lava yang tersembur ke luar menyebabkan Kalingga subur, makmur, dan besar. Sriwijaya khawatir dengan kesuburan tanah dan kebesaran Kalingga. Maka dikirimkanlah sebuah ekspedisi dan berhasil merebut dan meratakan Kalingga. Mereka terus ke selatan timur sampai ke Borobudur, dan mendirikan satu keajaiban dunia yang bernama candi Borobudur.

Dalam pada itu orang Hindu-Budha Kalingga yang melarikan diri dan bertemu di Prambanan sebelah timur Yogyakarta. Mereka kemudian mendirikan masyarakat agraris baru berdasarkan sawah. Karena perkembangan masyarakat agraris ini cepat sekali, maka Sriwijaya khawatir dengan perkembangan ini dan mendesak orang-orang Hindu-Budha ini dengan melalui ekspedisi militer. Larilah mereka ke timur dipimpin oleh Dharmawanga dan mendirikan kerajaan baru di Kediri yang bernama Bairawa — ada yang mengatakan Bairawa adalah agama baru, Hindu-Buddha Bairawa. Sekarang disebut Birawa. Kemudian Kediri pecah dua menjadi Doho dan Kediri.

Perubahan baru di Jawa dimulai pada masa Kertanegara, Kerajaan Singasari. Masyarakat yang agraris harus tunduk pada Kertanegara. Tetapi ada yang berani menentang raja, yaitu menantu raja sendiri bernama Raden Wijaya. Karena tidak mau tunduk, Raden Wijaya lari ke utara, tepatnya di pinggiran Sungai Berantas di Desa Terik, hanya 100 km dari Singasari. Setelah Kertanegara meninggal, Raden Wijaya tidak mau mengurusi Kediri yang agraris itu. Dia memusatkan perhatian ke Terik menjadi kerajaan laut bernama Majapahit di bawah perlindungan angkatan laut Tiongkok. Majapahit adalah kerajaan interinsuler, sama dengan Sriwijaya.

Maka sebenarnya mula-mula Jawa adalah agraris, kemudian diserbu oleh kekuasaan maritim namun tetap bertahan sebagai agraris, kemudian menjadi maritim lagi dipelopori oleh Raden Wijaya.

Kembali ke cerita Majapahit, sebuah kerajaan interinsuler (yang pandangannya ke laut). Brawijaya V mempunyai selir dari Champa, orang Cina tetapi saca, sayyid juling/sipit, dan dikaruniai dua orang putra bernama Tan Eng Hwoat (belakangan disebut Raden Fatah) dan Tan Kim Han, saudara kembar yang lahirnya satu jam setelah Tan Eng Hwoat. Tan Kim Han mati di Troloyo, 1 km dari Trowulan, ketika diserang Kusuma Wardhani, saudara lain ibu dari permaisuri yang bernama Kencana Wungu.

Ceritaanya, Kusuma Wardhani dikawinkan dengan adipati Kediri.14 Kemudian ia mempengaruhi suaminya — karena kecantikannya atau kepintarannya mengorganisasi atau karena keduanya — mengirimkan tentaranya yang sangat kuat ke arah utara melewati Kepung, Pujon, Taman Dayu Pandaan (lokasi pabrik Sampoerna sekarang) namanya Prigi, melewati Jalan Pugeran di Mojokerto menuju Trowulan. Sebelum dijemput oleh pasukan Islam.15 Tetapi pasukan Islam banyak sekali yang mati kalah termasuk, Pertama, Tan Kim Han (Mbah saya), biasa dipanggil Syekh Abdul Qodir Jailani al-Siyn. Kedua, Syekh Usman Ngudung bapak dari Sunan Kudus, dan juga Syekh Abdul Qohar yang terkenal dalam sastra Jawa Kuno sebagai Maling Cluring serta Syekh Ismail yang belakangan mayatnya dibawa ke Yanti di dekat Peterongan, Jogoorto.

Jadi, dengan adanya pertempuran di Troloyo, akhirnya tentara Islam banyak yang meninggal. Dua orang yang berhasil menyelamatkan diri adalah Maulana Ishaq al-Tabarqi dan Tan Eng Hwoat (Raden Fatah), mendirikan kesultanan Islam pertama di Demak. Maulana Ishaq berasal dari Libia Timur — atau hanya keturunan sana.

Arsitek kerajaan atau kesultanan Demak adalah Raden Fatah dan Maulana Ishaq. Mereka berdua adalah besan: anak perempuan Raden Fatah dikawinkan dengan anak lelaki Maulana Ishaq. Di mikhrab atau mimbar Masjid Agung Demak, ada gambar seekor penyu atau kura-kura melambangkan usia panjang seorang raja.17 Di punggung kura-kura ada ukiran halilintar (seperti lambang yang dipakai PLN). Halilintar (al-barqi) adalah julukan Maulana Ishaq.

Di sini kelihatan perbedaannya, Raden Fatah (Demak), wali songo dan lainnya itu merebut daerah pesisir mendirikan kesultanan. Maka dengan cepat lahirlah yang bernama Tuban, sebelumnya sudah ada tetapi akhirnya dikuasai oleh Demak, termasuk juga Jepara, Demak, Semarang, Tegal, Pekalongan, dan Cirebon, tujuh pusat pelayaran di Pulau Jawa. Namun mungkin karena mereka berorientasi agama, tidak mengerti orientasi sejarah, lupa bahwa kekuatan Demak letaknya di perdagangan. Kekuatan agraris lalu dibiarkan memupuk diri dan berkultinasi nanti pada masa Sutawijaya, akhirnya Sultan Demak kehilangan orientasi laut.

Sultan Trenggono (putra Raden Fatah) mempunyai menantu bernama Pangeran Karebet yang menjadi Adipati Panjang, sebelah timur Bengawan Solo berhadapan dengan Solo — pada waktu itu belum menjadi kota, masih kampung. Sultan Trenggono meninggal ketika terjadi pemberontakan, digantikan Pangeran Karebet bergelar Sultan Hadiwijaya ditantang oleh anak pungutnya bernama Sutawijaya. Sultan Hadiwijaya kalah dan lari ke ibunya Kanjeng Ratu Putri di Sumenep. Sementara Sutawijaya menguasai Pajang dan mengambil gelar Panembahan Senopati ing alogo sayyidin panotogomo kalipatulah ing tahan Jawi. Inilah bermulanya kembali orientasi agraris.

Di Sumenep, Sultan Hadiwijaya kemudian berguru dan mendapat kanuragan 40 macan. Ia berniat kembali merebut kekuasaan di Pajang, menaiki perahu di Bengawan Solo. Ia mampir di Pulau Pringgoboyo18 — tidak jelas mengisi air tawar atau mengambil barang. Di tempat inilah ia tertidur dan gurunya hadir dalam mimpi. Gurunya berkata: “Kamu sudah dapat 40 kanuragan, kamu mau kembali ke Pajang? Berebut keraton dengan Sutawijaya? Keraton itu bukan hak kamu, kamu tidak akan menang. Sudah, di sini saja, membikin pondok.” Dia menuruti petuah gurunya.

Cerita ini diabadikan dalam sebuah tembang

Jawa:
“sigromilir sang getek sinonggo bajul sekawan doso cacaipun.”

(Segeralah melaju wahai rakitku yang diangkat oleh 40 buaya yang menjaga).

Artinya: Kalau orang sudah enak di atas rakit kok mencari penyakit, terjun ke air ya dikejar, dimakan oleh buayanya. Kalau kamu gunakan ilmunu untuk berebut tahta, kamu akan jadi korban.

Tetapi itu versi para pemberontak. Cerita versi penguasa lain lagi. Sutawijaya kehilangan keraton karena tergoda perempuan cantik. Pada saat ia bermesraan dijaga 40 pengawal, dan yang dimaksud rakit dalam tembang itu, menurut versi ini adalah tempat tidur.

Sementara itu Sutawijaya tetap berkuasa di Demak. Ia mengalahkan orientasi laut dari kerajaan Demak secara mutlak dan diteruskan oleh Sultan Agung.

Sultan Agung sebagai Sultan Mataram pernah menyerang Belanda di Batavia. Ada tempat yang namanya Paseban (nyembah raja), tempat persinggahan Sultan Agung. Juga di sebelah se

latan Paseban ada Matraman, tempatnya tentara Matraman (Jawa: Matraman). Sebelah selatan Matraman namanya Bali Matraman, tempatnya Asyafiiyah sekarang. Artinya: tentara Bali Matraman. Jauh di selatan pada waktu itu dijaga oleh Wira Guna (Jawa: Wiro Guno) Panglima Sultan Agung, daerahnya kemudian dinamakan Wiragunan. Orang Betawi tua tetap menyebut Wiragunan, bukan Ragunan.

Jadi semua tempat ada sejarahnya. Ada daerah di Wiragunan yang bernama Jati Padang, artinya tempat yang terang dari Jati. Artinya, tempat ulama dibunuh. Padang di sini bermakna Hilang (Jawa: ilang, jati itu tempatnya ulama, karena jati itu lurus seperti ulama). Maka ada Keramat Jati, artinya seorang ulama yang keramat. Jadi ulama mengendalikan negara. Maka pantas kalau ulama dimuliakan.

Rentetan cerita di atas memperlihatkan betapa arah hidup atau orientasi laut orang Demak yang meneruskan Majapahit akhirnya digantikan oleh Mataram yang berorientasi darat. Maka perbedaan Mataram dengan Majapahit adalah orientasinya, interinsuler lawan agraris.

Sultan Agung raja Mataram dulu mendukung Betawi, tetapi hanya melalui jalur darat. Sementara Belanda membuat pertahanan dengan menggunakan faktor alam. Belanda ada di Walter Freedom, artinya dunia damai, tidak bisa diserbu orang.

Sultan Agung berjalan dari sebelah timur yaitu Kali Ancol, selanjutnya ke utara yaitu Pejambon, kemudian Pasar Baru, ke Manggarai, ke selatan, tepatnya Pasar Rumput sekarang. Itu semua tempat persinggahan Sultan Agung. Lalu di barat sampai Kali Cideng itu pertahanan sebelah barat. Sementara pertahanan Belanda ada dua lapis, di tengah-tengahnya sendiri Walter Freedom itu ada kebun sirih, kebun melati, kebun kacang (sebagai pertahanan).

Sebelumnya ada tanah pertanian kosong. Tentara Belanda tinggal menjaga di pinggiran dan tentara Sultan Agung dipanah dengan api. Akhirnya, Sultan Agung pulang dan mati di perjalan. Jadi, pertahanan Belanda alami. Jangan kaget ada istilah Jalan Palem, atau Kenari, dulu juga tempatnya Sultan Agung. Jadi semua ada arti sejarahnya.

Maka jelas bahwa orientasi agraris Mataram menyebabkan Sultan Agung picik, tidak mau menyerang melalui laut. Padahal laut terbuka lebar, karena ia benci dengan kota-kota pesisir, ia tidak mempunyai pasukan laut. Ia hanya menggunakan tentara darat dan membuat Belanda tidak mendapatkan perlawanan yang berarti. Belanda menggunakan strategi menyerang dengan panah.

Nah, sekarang kalau Indonesia ingin maju, maka agraris tidak bisa ditinggalkan. Agraria itu penting. Namun yang terpenting adalah menjadikan Indonesia bangsa yang maju, berpenghasilan tinggi, dan menjajah seluruh dunia. Salah satunya dengan memaksimalkan laut. Di sini lah kewajiban kita melihat segala sesuatu secara historis.

Apabila kita ingin jaya, memimpin dunia, kita harus bisa bersaing dengan bangsa lain melalui produk-produk kita. Tetapi, di dalam diri kita mempunyai kekuatan sendiri, kita tidak mengandalkan hidup dari situ. Pengaruh kita melebar karena perdagangan internasional, sedangkan kebesaran kita ditentukan dari kemampuan kita di dalam negeri. Jadi berarti, kita harus membangun sektor agraris tetap, tidak hanya menjadi penguatan luar negeri.

Dengan istilah lain, ada yang dinamakan “substitusi impor“. Karena kita mengimpor dari dalam negeri, maka ini harus juga dipasarkan ke luar negeri agar kita mendapatkan devisa dari luar negeri. Sebagai pengalaman, karena kita tidak mampu mengelola, akhirnya kita menjual barang mentah ke luar negeri seperti karet, jati, dan kayu meranti. Ini sama terkait, atau berhadapan dengan sistem ekonomi Jepang yaitu ekonomi nilai lebih (value added economy), artinya, barang mentah dari Indonesia, saking gobloke orang Indonesia. Bahan mentah yang dibeli oleh Jepang dijual lagi ke kita dengan harga tinggi.

Apabila kita menerapkan value added, kita masih mempunyai tambahan nilai karena kita berproduksi. Bisa dibayangkan, Singapura tidak mempunyai hutan tetapi bisa menggarap rotan 140 paten. Indonesia tidak berusaha mempatentkan itu, hanya menerima menjual barang mentah. Kita sudah 30 tahun dirampok semenjak Indonesia merdeka. Berarti juga semenjak zaman penjajahan kita dirampok.


Catatan Kaki:

  1. “Tafsir Jalalain” adalah kitab tafsir tahlili (analitik) yang mu’tabar atau umum dipakai di pesantren-pesantren. Ditulis oleh Jalaludin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli.
  2. Ada seorang pemimpin Pakistan yang minta didoakan Gus Dur selaku ketua PBNU, karena Benazir Bhuto (yang perempuan) menjadi Perdana Menteri Pakistan.
  3. Khodijah misalnya, tidak menjalankan perdagangannya sendiri dari Madinak ke Baitul Maqdis, tetapi dijalankan oleh Muhammad sebelum menjadi nabi.
  4. “… maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinlah) seorang saja. Atau budak-budak (perempuan) yang kamu miliki…”
  5. QS. 5: 3
  6. QS. 109: 6
  7. QS. 3: 85
  8. Beberapa waktu yang lalu, saat Gus Dur berdiskusi di Masjid Sunda Kelapa, Yusril Ihza Mahendra mengatakan: “Saya kecewa kepada Gus Dur, karena berdekatan-dekatan dengan orang-orang kafir, Yahudi dan Nasrani, padahal di dalam al-Qur’an telah melarangnya.”
  9. Ibnu Katsir dalam “Tafsir al-Qur’an al-Adhim” menjelaskan kata kafir dalam ayat pertama Surat Muhammad (47) sebagai berikut: “…yaitu orang-orang Quraishy yang ingkar terhadap Allah dan menghalangi diri mereka sendiri dan orang lain menuju jalan Allah.” (Maktabah al-Ashriyah, Beirut, Cet. II 1998, hlm. 37).
  10. Ibnu Katsir dalam “Tafsir al-Qur’an al-Adhim”, hlm. 507.
  11. QS. 3: 26. Lengkapnya: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
  12. QS. 5: 44 (kafirun): 45 (dholimun): 47 (fasikun).
  13. QS. 5: 45.
  14. Kadipaten Kediri, tepatnya di tengah-tengah lokasi pabrik Gudang Garam sekarang, dulu menjadi pusat kejawen. Dilokasi itu tempat yang dijaga 24 jam, tidak ada yang boleh masuk.
  15. Penyebaran Islam ke Indonesia diceritakan dalam pembicaraan Sejarah Spekulatif.
  16. Maulana Ishaq, asirahnya atau julukannya adalah al-Tabarki. Barq dalam bahasa Arab artinya halilintar-seperti dalam al-Qur’an “yakadu al-barqu yakhtofu absorohum…” (QS. 2: 20). Al-Tabarqi disebut Tabruk. Anda yang familier dengan bacaan Perang Dunia II pasti tahu adanya pertemuan besar pasukan tank (2000 tank) yang disebut Tobruk, yaitu pimpinan Marsekal Erwin Rommel (Jenderal Jerman) melawan Jenderal Montgomery dari Inggris. Tobruk berasal dari tabarq, nama Arab. Sebelum orang Arab menguasai atas nama Islam bernama Kerenaika,Gus Dur mengatakan: “Waktu Pak Harto memimpin sidang-sidang KTT non-Blok di Cartagena (bahasa Spanyol, Cartago baru), saya tertawa dalam hati, Pak Harto cari penyak, mimpin sidang saja kok di Cartagen, berarti ia tunduk pada keturunan Cartago Kerenai/Tobruk (Tan Eng Hoat dengan Maulana Ishaq), yaitu Megawati dan mungkin juga saya, Tan Kim Han, dengan keluarganya Maulana Ishaq itu. Yang lebih tahu adalah Muamar Kadafi (Presiden Libya), karena dia mengatakan kepada Alwi Shihab (waktu itu menjabat luar negeri), “saya anggap Presiden Wahid adalah keturunan Libya.” Mungkin dia punya silsilah lain, ada perkawinan silang antara keturunan Tan Eng Hwoat dan Tan Kim Han.”
  17. Kura-kura umumnya berumur panjang, sebagai pertanda panjangnya usia sang raja (long live the King, bahasa Inggris, bansue, bahasa Cina, bonsai, bahasa Jepang). Kemudian sangking jengkelunya orang Melayu pada penguasa, menamakan bangsat.
  18. Dulu di Pringgoboyo ada pulauunya. Sekarang sudah bersatu dengan darat di bawah jembatan, sebelah timur langitan, dekat Siman Lamongan.