Sejarah Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perspektif Sejarah

Sumber Foto: https://pusbimtekpalira.com/pembukaan-uud-1945-sebagai-norma-dasar/

UUD 1945 memang sudah terbukti berhasil menciptakan integrasi bangsa dan negara Indonesia sejak masa berdirinya hingga kini. Tapi di lain pihak juga memberi landasan melemahnya kontrol terhadap eksekutip

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD-45) adalah instrumen dasar (basic instrument) yang dibuat oleh bangsa kita setelah mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, UUD-45 yang berlaku sehari setelah proklamasi kemerdekaan itu disusun untuk memungkinkan tegaknya pemerintahan, pengaturan kehidupan berbangsa dan menimbulkan mekanisme yang efektif dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat.

Dengan sendirinya, UUD-45 terkait sepenuhnya kepada persepsi para pembuatnya tentang kehidupan masyarakat itu sendiri, baik yang nyata maupun yang dicita-citakan. Persepsi mereka tentang kenyataan hidup masyarakat bangsa kita pada waktu itu, memberikan warna sangat kental pada pentingnya arti musyawarah. Yaitu model pengambilan keputusan melalui cara mencapai mufakat (konsensus, secara bahasa seharusnya disebut kemufakatan). Sifat ke-bhineka-an yang demikian tinggi dari kehidupan bangsa kita pada waktu itu telah memberikan kesadaran demikian tinggi akan perlunya musyawarah digunakan untuk mencapai keputusan, dan bukannya cara langsung melakukan pemungutan suara.

Namun, para penyusun UUD-45 juga menyadari, bahwa tidak selamanya kemufakatan dapat dicapai, karena itu tetap diberikan – dalam UUD-45 itu sendiri – cara untuk melakukan pengambilan keputusan suara. Yaitu melalui pasal-pasal yang berkaitan dengan perubahan/amandemen terhadap konstitusi melalui pemungutan suara.

Konstitusi Amerika Serikat menentukan penerimaan dengan dua-pertiga suara oleh kedua dewan dalam Kongres (House of Representatives dan Senat) dan persetujuan dua-pertiga badan-badan perwakilan rakyat negara-negara bagian untuk mengesahkan amandemen konstitusional. Hal itu berarti sejak awal prosesnya harus melalui pemungutan suara. Sedangkan dalam UUD-45 justru proses tersebut yang dihindari sekuat tenaga.

Amandemen terhadap UUD-45 seolah-olah menjadi tidak mungkin sama sekali. Apalagi dengan ketentuan prosedural yang dirumuskan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang hal itu: sebelum diputuskan oleh Sidang Umum MPR, usul amandemen harus disetujui oleh semua fraksi yang ada di MPR itu sendiri.

Jelas dari kenyataan berupa rumusan mengenai amandemen terhadap UUD-45, bahwa konstitusi kita dibuat untuk mencapai keputusan dengan sedikit mungkin melakukan cara pemungutan suara. Cara itu adalah prosedur terakhir, bila tidak dapat dicapai keputusan berdasarkan konsensus.

Watak yang katakanlah nonliberalistik dari UUD-45 itu berangkat dan kenyataan sejarah akan keragaman yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, yang untungnya ditampung dan dapat diproses menjadi ketentuan konstitusional dalam UUD-45. Baik secara kesukuan, kebahasaan, keagamaan, budaya dan ideologis bangsa kita sangat beragam. Dan tingginya derajat keragaman itu telah menumbuhkan pola hidup yang dapat disebut (dengan meminjam istilah Nikita Kraschev) ‘hidup berdampingan secara damai’.

Sejak dulu bangsa kita sudah polyglot (berbahasa banyak), membiarkan kemajemukan agama dan budaya, serta mengembangkan pola kosmopolitan dalam pengaturan hubungan antar-etnisnya. Memang, dalam konstruk kesejarahan tampak jelas bahwa dalam pola demikian tinggi derajatnya heterogenitasnya itu cara pemungutan suara bukanlah sesuatu yang ideal. Karena hal itu secara perlahan-lahan akan mematikan pihak yang lemah, terlebih-lebih jika pihak itu menjadi minoritas bangsa.

Sebagai akibat dari kehendak sadar untuk memelihara dan mengembangkan keragaman demikian tinggi itu dalam kehidupan bangsa. UUD-45 merumuskan sebuah sistem pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Yaitu yang memberikan peranan sangat besar kepada Presiden/Mandataris MPR untuk mengambil inisiatif dan berusaha mencapai konsensus secara nasional. Dengan demikian, mandat yang diberikan MPR kepadanya bersifat mandat penuh. Artinya tanpa spesifikasi prosedural yang terinci.

Kekaburan prosedural ini dengan sendirinya lalu mengakibatkan kokoh dan kuatnya kedudukan pihak eksekutif di hadapan pihak yudikatif dan legislatif. Bahkan keseluruhan UUD-45 kita adalah pengingkaran terhadap sebagian wewenang antara pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif, karena yang dirumuskan adalah pembagian tugas belaka. Wewenang dimiliki bersama oleh ketiga pihak itu secara kolektif. Sudah tentu peranan pihak eksekutif lalu menjadi sangat besar, karena pihak isu berfungsi selaku motor pencapaian konsensus.

Sejauh ini, sistem pemerintahan yang digariskan oleh UUD-45 itu telah berhasil memantapkan kehidupan bangsa dalam arti menjaga keutuhan teritorial dan ideologis bangsa kita, dihadapkan sekian banyak tantangan densitregratif yang selama ini terjadi sebagai akibat ekses-ekses berkepanjangan dari keragaman sangat tinggi di segala bidang utama kehidupan yang hendak dilestarikan itu.

Kalau kita boleh berbangga hati dengan demikian penuhnya kehidupan kita sebagai bangsa dengan dimensi-dimensi pluralistik dalam tindakan, pemikiran, dan wawasan kehidupan kita dewasa ini, semuanya tumbuh dari kemampuan memelihara integritas nasional kita dengan tidak usah merusak derajat keragaman sangat tinggi di hampir semua sisi kehidupan kita sebagai bangsa.

Dengan kekayaan kultural, spiritual, dan kecakapan teknologisnya yang telah dicapai, apapun perbedaan derajat kemampuan yang dicapai di masing-masing sisi itu, kita sebagai bangsa, kini telah berhasil mencapai ambang pintu transformasi sosial ekonomis yang fundamental. Dari masyarakat agraris murni, kita kini tengah mempersiapkan diri menjadi masyarakat yang mengembangkan industri penunjang pertanian yang serba kompleks. Dan dalam waktu dua dasawarsa lagi akan mampu mencapai tahap industrialisasi massif. Atau dengan kata lain benar-benar telah menjadi negara maju. Dalam konteks ekonomi, tahap itu biasanya ditandai dengan derajat kemakmuran (afluence) yang tinggi.

Jelas sekali dari pengalaman yang ada saat ini, bahwa perkembangan demikian pesat, yang seolah-olah menunjukkan lompatan kuantum sangat besar dalam keseluruhan proses kehidupan kita, tidak akan dapat dicapai dengan cara-cara kita melaksanakan pemerintahan seperti sekarang ini. Masalah utama yang dihadapi dapat disimpulkan dengan sebuah ungkapan sederhana model pembangunan kita yang sangat birokratis dewasa ini tidak akan memungkinkan munculnya partisipasi kreatif dari masyarakat dalam arti sebenarnya dalam proses pembangunan kira dewasa ini. Dan dengan sendirinya peranan pemerintah sebagai pengambil prakarsa dan penyedia dana menjadi terlalu besar.

Wajah inilah yang diakui oleh pemerintah dengan implisit, melalui keputusan untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi dewasa ini. Sedangkan tanpa partisipasi kreatif dari masyarakat, jelas sekali tantangan-tantangan untuk memberikan yang terbaik dari diri kita masing-masing tidak akan terjawab dengan tuntas. Dan tanpa etos sosial untuk memberikan yang terbaik itu kita tidak akan mampu berkompetisi. Sedang hal itu merupakan syarat paling utama bagi suksesnya kiprah warga masyarakat, baik sebagai kolektivitas bangsa maupun selaku perorangan.

Dari pengamatan hal-hal di atas muncul sebuah masalah. Yaitu masalah pengembangan etika kerja (work ethics) yang sehat, seperti dikemukakan oleh para pengamat dari luar. Sikap mendua terhadap korupsi masih terlalu dominan dalam kehidupan kita. Baik di dalam maupun di luar pemerintahan kita dewasa ini. Hal itu langsung terkait kepada kuatnya kecenderungan menggunakan bahasa ganda (double talk), yang berfungsi mengaburkan wewenang semua pihak. Dan dengan demikian memberikan peluang sangat besar kepada penyalahgunaan wewenang itu sendiri.

Rasanya tidak berlebih-lebihan bila dikatakan bangsa kita sekarang ini adalah ‘bangsa-salah-wewenang’ terbesar di dunia. Tidak hanya para pejabat pemerintahan yang mempergunakan wewenang secara salah, juga unit-unit masyarakat yang lainnya hampir tanpa kecuali.

Haruslah diakui, bahwa UUD-45 memang menyediakan kemungkinan sangat besar kepada penyalahgunaan wewenang secara luas, karena kurang memberikan (atau bahkan menolak) pembagian wewenang yang saling bertentangan antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam sistem pemerintahan kita dewasa ini. Pembagian tugas saja ternyata tidak mencukupi kebutuhan melakukan upaya menegakkan mekanisme pemerintahan yang saling mengawasi dan mengontrol. Bahkan di bidang hukum sekalipun, yang merupakan instansi terakhir untuk memperoleh keadilan, (dan dengan demikian pembatasan atas penyalahgunaan wewenang oleh siapapun terhadap siapapun) ada ‘mafia pengadilan’ dan ‘mafia kejaksaan” yang membuat frustasi para pencari keadilan. Tidak heranlah jika masyarakat lalu mencari cara lain untuk menyelesaikan persoalan, dengan akibat semakin kuatnya kecenderungan kearah ‘budaya kekerasan’ budaya kehidupan kita.

Sangat tragis untuk melihat pertumbuhan yang demikian timpang dari UUD-45, Konstitusi kita itu, yang semula berfungsi demikian indah, (yaitu memberikan kemungkinan bagi keragaman sangat tinggi dalam semua sisi kehidupan kita sebagai bangsa tanpa mengorbankan integrasi nasional dan keutuhan kita secara teritorial) kini lalu menjadi perisai bagi hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan semangat dan cita-cita UUD-45 itu sendiri. Konstitusi kita menerima perbedaan tugas antara ketiga sayap eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hanyalah untuk mencegah ketiganya dipertentangkan satu terhadap yang lain.

Secara implisit, sudah tentu perbedaan tugas mengandung dalam dirinya pembedaan wewenang masing-masing, yang kalau difungsikan secara penuh akan membentuk keseimbangan relatif yang menjamin kehidupan yang demokratis dan menjunjung tinggi kedaulatan hukum. Tanpa kedua hal itu, partisipasi kreatif masyarakat tidak akan berkembang, sedangkan ia merupakan persyaratan utama bagi berlangsungnya transformasi sosial-ekonomis yang penuh dan mendasar. Itupun kalau transformasi sosial-ekonomis itu didukung oleh transformasi sosial-budaya dan transformasi budaya politik kita secara simultan.

Mengingat letak titik sumbat (bottleneck) masalahnya adalah disfungsionalisasi UUD-45 secara meluas, walaupun aspek proseduralnya dilestarikan dengan baik dalam bentuk penumbuhan lembaga-lembaga pemerintahan dan kemasyarakatan dan tata-cara pengambilan keputusan dijaga dengan baik, maka tantangan terbesar bagi kita adalah masalah penggunaan UUD-45 secara lebih penuh.

Pengertian lebih di sini adalah menjadikan sebagai titik pangkal bagi penjabaran wewenang lebih distributif antara ketiga sayap pemerintahan di atas. Dapat dikemukakan di sini kebutuhan akan fungsionalisasi Mahkamah Agung sebagai lembaga penguji keabsahan produk-produk legislatif kita di bawah UUD-45 dari sudut pandang UUD-45 itu sendiri. Juga perluasan hak-hak lembaga perwakilan rakyat di segala tingkat untuk menerapkan pengawasan nyata atas jalannya pemerintahan.

Kombinasi antara semakin tegaknya kedaulatan hukum dan semakin berfungsinya mekanisme pengawasan antar-sayap-pemerintahan, untuk menciptakan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh kepastian hukum, masih memerlukan juga sebuah perangkat lain. Yaitu tersedianya peluang bagi masyarakat untuk membawa masalah yang mereka hadapi kepada para petugas pemerintahan yang bersangkutan, tanpa harus berhadapan dengan berbagai jenis mafia. Hal ini berarti harus adanya jalur untuk menampung arus komunikasi secara terbuka, yang bebas dari kendala birokratis maupun kepentingan politik.

Kalau disimpulkan secara singkat, UUD-45 dalam perspektif sejarah telah menunjukkan peranan sangat positif sebagai instrumen dasar yang menjaga keseimbangan antara integrasi nasional dan keutuhan teritorial negara di satu pihak, dan pelestarian keragaman bangsa kita di hampir segala bidang kehidupan. Peranan sedemikain positif dalam saat-saat kelahiran negara dan di saat-saat kritis bagi keselamatan negara, ternyata dihambat oleh disfungsionalisasi sebagai dari pasal-pasalnya yang berkait dengan tegaknya kedaulatan hukum dan konkritnya pengawasan atas jalannya pemerintahan.

Sekarang, terpulang kepada kita semua untuk menimbang-nimbang masih tersisakah kekuatan kita sebagai bangsa untuk melakukan fungsionalisai UUD-45 secar lebih penuh lagi, bukan hanya dalam ketentuan proseduralnya belaka?