Setan Pun Saya Teken (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Wawancara dengan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid, oleh Romadlon Sukardi dari Aula, dilengkapi beberapa wawancara dalam kesempatan lain.
Bagaimana perasaan Anda terpilih sebagai Presiden WCRP?
Saya menghargai dan berterima kasih atas penghormatan dunia internasional atas diri saya itu. Saya menganggap pemilihan ini penghargaan terhadap Indonesia. Keberhasilan kita telah diakui dunia internasional dalam membina cara hidup berdampingan di antara umat beragama secara damai.
Tapi, Lukman Harun Cs tidak menyetujui?
Biar saja. Hal itu sebagai sesuatu yang tidak aneh dan merupakan sisi demokrasi. Yang jelas saya sudah tahu siapa Lukman Harun itu. Masyarakat Indonesia pun tahu siapa dia.
Apakah penilaian tentang Anda diperoleh dari pergaulan dengan tokoh atau pemimpin Agama di tingkat dunia?
Mungkin juga. Memang sudah lama tokoh-tokoh masyarakat tingkat dunia mengetahui apa yang saya lakukan selama ini. Terutama kalangan tokoh non muslim. Sebab, saya memang senantiasa menjalin hubungan dengan mereka, walaupun apa yang saya lakukan itu mungkin tidak banyak diketahui oleh teman-teman sesama muslim.
Contohnya?
Banyak forum di luar maupun didalam negeri yang pernah saya ikuti. Saya sering menjalin hubungan dengan wali gereja sedunia maupun gereja Katolik di Vatikan. Juga banyak tokoh lain, misalnya dengan Santi Frokas, tokoh Hindu dari India. Bahkan, juga punya hubungan baik dengan Kardinal Martin, Uskup Agung yang pernah disebut sebagai “Menlu Vatikan” itu.
Tokoh lain?
Ada juga. Misalnya Don Halder Camara, Uskup Agung Brazil. Sebab, tokoh ini telah banyak memberikan sumbangan pada pembangunan demokrasi di negerinya, sehingga negeri itu bebas dan merdeka dari penindasan. Dia pernah dicap sebagai penentang pemerintahnya. Tapi, para pengamat politik, tentu tahu bahwa sekian puluh tahun lalu ia sudah mendirikan lembaga semacam DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Pandangan Anda mengenai hubungan antarumat beragama di Indonesia?
Menurut saya, antarumat beragama perlu saling mengenal dan memahami perbedaan antara satu dan yang lain. Dengan demikian, akan terjalin hubungan yang lebih baik.
Memang semua agarna itu berbeda-beda dan yang membedakan adalah akidah. Tapi, saya melihat antaragama juga terdapat beberapa kesamaan, terutama dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
Kaitannya dengan NU?
Semuanya tidak terlepas dari kepemimpinan saya sebagai ketua umum PB NU.
Jelasnya?
Saya mulai resmi menjadi ketua umum PB NU sejak Muktamar NU 1984 dan sejak itu NU kembali ke khittah 1926, yakni sebagai organisasi sosial kemasyarakatan. NU sebagai organisasi Islam terbesar di Asia Tenggara sudah diakui berperan cukup besar dalam usaha menciptakan kerukunan umat beragama. Saya pikir, sekarang ini citra Islam di forum internasional banyak yang menurun. Kalangan negara-negara Barat selalu mengidentikkan gerakan Islam sebagai gerakan fundamentalis yang tidak jauh berbeda dengan kelompok ekstrem yang melakukan kegiatannya dengan gerakan kekerasan.
Tetapi di Indonesia, dalam beberapa waktu terakhir ini, citra Islam semakin baik. Tentu saja, menurut penilaian dunia, tidak terlepas dari peranan NU sebagai organisasi terbesar di negara ini yang bisa mendorong terciptanya kerukunan antarumat beragama. Ini suatu prestasi besar yang hingga saat ini belum dicapai oleh umat Islam di mana pun juga.
Apa obsesi Anda setelah ini?
Ini merupakan tantangan NU agar dalam masa mendatang terus meningkatkan peranannya dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Dengan demikian, eksistensinya bisa benar-benar memberikan manfaat bagi umat, bangsa, dan negara serta demi citra Islam itu sendiri.
Anda tidak hanya dikenal di kalangan Islam. Bagaimana hal itu terjadi?
Saya ini paling senang bergaul dengan siapa pun. Karena, dari sana kita akan mendapatkan berbagai manfaat, sekaligus kita bisa berbuat sesuatu yang mungkin bisa memberikan manfaat. Keadaan itu sudah berlangsung sejak saya masih muda. Pergaulan saya tidak terbatas pada kelompok tertentu. Karena saya memang orang bebas, sehingga banyak orang menilai saya ini budayawan.
Bagaimana cara memanfaatkan kebangkitan umat Islam saat?
Mengajak mereka untuk mendemokratisasikan negeri ini. Mau nggak?
Tanggapan Anda tentang isu kristenisasi?
Itu timbul dari rasa tidak percaya diri, dan mengalami kegoncangan. Kiai-kiai kita dulu tidak begitu, justru mereka tegar. Karena itu mereka tidak pernah ribut ada kristenisasi dan lain-lain. Kita ndak pernah dengar Kiai Hasyim Asyari bicara tentang kristenisasi.
Berapa umat Islam yang mendapat kesempatan baik dalam dunia usaha?
Semua itu Islam. Yang ndak Islam itu cuma berapa sih? Anda itu jangan memisah-misah begitu. Kayak Amin Rais saja. Amin Rais bilang 400 triliun yang dikeluarkan kredit oleh bank-bank pemerintah jatuh kepada orang-orang Kristen sementara umat Islam hanya menikmati sepuluh persen. Saya bilang, yang dapat itu semua ada kaitannya dengan beberapa orang di negeri ini yang muslim semua kok. Susah. Kalau Anda sudah ngomong Lim Siu Liong, itu mewakili siapa? Dia itu mewakili Islam. Karena saham-saham perusahaannya yang memiliki umat Islam. Anda itu ngukurnya dari mana coba. Manajernya juga orang Islam. Kita ndak bisa model generalisasi.
Kok seperti membela non Islam?
Begini, kita sebagai mayoritas bersikap kekanak-kanakan terhadap minoritas, maka kepemimpinan kita juga nggak dihargai atau tidak diterima oleh mereka. Mari kita membangun bersama tanpa saling curiga. Jika masih pincang ya diperbaiki.
Kalau saya ini populer di gerakan orang-orang yang bukan Islam, termasuk di kalangan Islam abangan itu, memang saya ngomong dengan semua. Di Islam saya juga populer. Meski gembrot masih populer.
Kok sombong?
Ini fakta. Kalau ndak kenapa saya digegeri. Saya nggak sombong, hanya attakabbur ‘alal mutakabbir sodaqotun. Walaupun ini hadis maudu’ ha…ha…ha.. sekali-sekali kita pakai ha…ha…ha… Saya ini sering dihina-hina. Saya ini mau membesarkan diri. Saya buktikan satu saja deh. Saya berdiri di atas kaki sendiri nggak nggandol-nggandol pejabat manapun. Saya menjadi Ketua NU bukan karena pejabat manapun.
Katanya dulu karena Pak Benny?
Ndak betul itu, itu fitnah. Memang dalam politik kita harus mendapat izin. Lha saya ini diizini oleh semua pihak termasuk Pak Harto. Kalau ndak diizinkan mana mungkin. Tapi saya nggak minta dukungan apa-apa. Tanya langsung kepada siapapun. Saya melakukan itu dengan jempalitan. Kalau kamu tahu saya turun ke cabang-cabang, kamu akan nangis. Ya mungkin karena bukan pikiran saya, ya karena kerajinan saya.
Anda sering tidur dalam acara resmi karena kecapaian?
Lha kalau itu ya karena pembawaan. Di manapun saya begitu. Ketika sambutan Rais Aam dalam pembukaan Munas RMI: saya tidur itu ha…ha…ha.. Ketika Pak Harto saya tidak, karena saya memperhatikan isinya. Karena, isi pidato Rais Aam saya sudah tahu isinya. Salah sendiri orang gombal begini kok ditaruh di muka. Lain kali, kalau ada acara taruh saja saya di tempat paling belakang. Yang tidak kelihatan orang.
Ancaman bangsa Indonesia saat ini apa menurut Anda?
Krisis intern. Krisis kurang kepercayaan diri. Kita itu begitu ketakulan. Sebagai bangsa takut pada demokrasi, takut pada perbedaan pendapat, takut kepada variasi-variasi dan keragaman. Sebetulnya kalau bicara Bhinneka Tunggal Ika itu sebenarnya penyeragaman.
Konsep-konsep Anda terhadap kondisi bangsa yang seperti saat ini?
Demokratisasi. Dimulai dari penegakan hukum, secara tuntas. Dari obyektivitas sikap para pengelola kekuasaan negara. Dari kebebasan berbicara dan berpendapat dari semua warga negara. Dari struktur yang memperhatikan kepada yang lemah. Kalau kita mau kuat di kemudian hari, maka harus melakukan itu.
Bagaimana demokratisasi di NU?
Ya menuju ke sana. Coba kalau kita berbicara kebebasan, mana yang lebih bebas dari NU orang ngomong. Tempat lain sudah saling memecat, sedang di kita ayem-ayem saja. Silakan mau ngomong apa saja. Lha wong sekadar ngomong saja. Ada orang setiap hari nuthuki saya di koran. Seperti Chalid Mawardi. Saya biarkan saja. Saya nggak apa-apa kok. Kalau di tempat lain sudah saling memecat, malah kita kalau ketemu peluk-pelukan. Itu semua hanya bagian dari permainan. Orang luar itu antara permainan dan sungguhan tidak bisa membedakan.
Sesungguhnya apa yang terjadi?
Ya biasa saja. Pak Chalid ingin menjadi Ketua Umum PBNU. Tentu dia supaya kelihatan menjadi pahlawan harus nuthuki Ketua Umum. Kan begitu to. Ndak usah kaget lakon lawas. Nanti juga ada cara lain, bagaimana caranya supaya saya restui. Saya disanjung-sanjung setiap hari. Saya juga tidak boleh kaget. Lha yang gini-gini mutunya tidak lebih baik dari gitu-gitu.
Anda kelihatannya condong calon Ketua PBNU yang dari Jawa Timur?
Oh. Ndak. Itu salah.
Ada kabar KHA Wahid Zaini adalah salah satu calon pengganti Anda?
Itu urusan Muktamar. Pokoknya, saya tidak mau jadi Ketua Umum PBNU lagi. Sudah cukup dua kali.
Kalau Pak Tolhah Hasan bagaimana?
Ndak. Pak Tolhah tidak mau pindah ke Jakarta mana mungkin. Katanya lebih berkonsentrasi mengurusi UNISMA.
Kalau Kiai Wahid Zaini?
Ya mau ndak beliau pindah ke Jakarta. Pokoknya, apa Pak Tolhah atau Pak Wahid kalau dipilih oleh Muktamar ya saya terima, dengan baik. Nggak ada yang dilebihkan dan ndak ada yang dikurangkan.
Kalau seandainya Kiai Wahid mau hijrah ke Jakarta bagaimana?
Bukan hanya Pak Wahid saja. Siapapun yang ingin ketua di NU dia harus sanggup tinggal di Jakarta. Makanya itu kesulitannya. Saya dulu juga pindah ke Jakarta karena terpaksa.
Mengapa terpaksa?
Saya di Tebuireng gelut terus sama Pak Ud. Waktu itu mungkin saya yang salah. Keponakan kok berani-beraninya. Memang gagasan saya nggak sama terus. Ya nggak apa-apa to, wong perbedaan gagasan saja kok. Terus para alumnus Timur Tengah bilang ya udah ente di sini aja deh. Terus diberi tanah 3000 meter di Ciganjur saya pakai. Ternyata sebelah-sebelah saya daerah Cina. Sehingga kalau mau membeli satu persatu waduh mahalnya bukan main. Lalu saya lepas. Terus pindah ke tempat yang sekarang. Lumayanlah satu hektar-setengah kurang lebih. Mudah-mudahan cepat menjadi pondok.
Dari calon yang disebut-sebut: Pak Tolhah, Pak Wahid, Pak Fahmi, Gus Mus dan Pak Chalid — mana yang lebih cocok menurut Anda?
Semua sama. Sama-sama baiknya, dan punya peluang. Kalau saya mendukung sini, mendukung situ kan ndak enak saya.
Paling tidak Anda punya kriteria di antara nama-nama itu?
Lho kenapa kok saya yang harus menetapkan kriteria. Ya muktamar dong.
Apa ciri kepemimpinan Anda.
Maziyah atau keistimewaannya adalah: Satu, ndak pernah campur urusan dari badan-badan otonom dan lembaga. Mau pilih siapa pun, misalnya Pak Syukron Makmun — yang biasanya isi pidatonya selalu maki-maki saya pun — ndak ada masalah. Kalau memang dia melalui proses jadi ketua lembaga dakwah NU dibawa ke saya. Begitu ada di meja saya, setelah saya baca ternyata baik semua ya saya tanda tangani. Organisasi tidak boleh berdasarkan senang atau tidak senang.
Kedua, kalau ke daerah saya ndak pernah main paksa. Setan pun kalau direkomendir wilayah NU sampai ke tempat saya ya saya teken. Kita tak pernah memihak siapapun. Karena itu, NU sekarang sehat dan kuat. Orang merasa semua dihargai. Rasa ini yang paling penting.
Siapa figur yang bisa menjaga independensi NU dalam hal ini?
Ya karena pimpinan itu kolektif saya kira semua juga bisa. Yang disebut nama-nama itu ya bisa semua. Jangan dikira kalau Pak Chalid menjadi ketua lalu bebas sak karepe dewe. Saya saja nggak dapat kebebasann apa-apa kok. Mau gini ndak boleh, mau gitu ndak boleh. Susahnya kalau sudah memimpin organisasi memang begitu.
Bagaimana peran politik NU di Indonesia masa mendatang?
Orang kalau melihat peran seolah-olah harus di depan dan bermain, kayak pemain silat. Orang tersebut lupa bahwa diam dan memantapkan keadaan itu juga peranan. Seharusnya menurut saya umat Islam terserah saja kalau berpolitik praktis ya monggo. Kalau mau berperan silakan. Jangan membawa-bawa yang lain. Karena NU ini ingin tenang-tenang saja. Mau membangun ekonomi, budaya, pendidikan dan sebagainya. Jadi jangan ubyak-ubyuk kayak anak kecil. Terus main dukung-dukungan, main pro-kontra, sama-sama umatnya kalau nggak dukung dibilang anti. Lha ciloko to.
Maksud Anda?
Lha yo to. Saya ini dibilang anti Pak Harto. Siapa sih yang anti Pak Harto. Wong bondone nggak karuan jadi orang anti itu.
Pada tahun 1998 nanti, menurut Anda apa ada hal-hal yang penting?
Ya. Setiap tahun Pemilu, setiap tahun Sidang Umum ya penting. Tapi nggak ada yang istimewa tahun 1998. Apanya yang istimewa?
Kabarnya, yang harus bermain nanti hanya Islam kota?
Ndak juga. Sekarang mana yang dikatakan Islam kota dan mana yang dikatakan Islam desa itu.
Islam kota diwakili Habibie dan Anda mewakili Islam desa?
Sebelum kelompok itu muncul, orang NU di Tanjung Priok, di Kebon Sirih sudah berakar. Itu kan Islam paling kota di Jakarta ini ha ha ha…
Yang dimaksud Islam kota-desa disitu adalah pemikirannya. ICMI lebih maju ke depan dibanding NU?
Semuanya juga ke depan. NU itu pondok pesantren, sudah menerima pendidikan model Barat 70 tahun yang lalu. Itu kan pandangan ke depan. Jangan menyepelekanlah. Seolah-olah yang lain paling maju, NU tidak. Mentang-mentang sananya gebyar, sininya cuman bisa molat molet saja. Belum tentu kan. Kalau memang wakil-wakilan, saya ini mewakili pondok kuno. Dididik di Tegalrejo Jawa Tengah kurang kuno apanya. Pakai ngrowot segala. Dan hidup saya sekarang ini ya kayak pondok kuno itu lho. Ziarah kubur apa itu kan. Pekerjaan saya itu, model kuno sekali.
Kalau begitu Anda bagaimana?
Saya mau menantang. Kalau Anda mau lihat ke depan berarti Anda mau lihat demokrasi. Nggak repot-repot. Kalau cuma teknologi, struktur ekonomi diubah, itu semua juga ke depan. Tapi kurang ke depan lagi. Kalau mau melihat ke depan lagi, tidak sekadar perubahan perubahan teknologi, tetapi transformasi hidup secara keseluruhan termasuk struktur masyarakat dan struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan-perubahan yang mendasar di masa yang akan datang. Jangan hanya tambal sulam. Berani nggak melihat di suatu masa di mana Golkar tidak ada, umpamanya. Itu baru menatap ke depan. Kalau misalnya 1998 masih ada Golkar itu namanya tidak masa depan, tetapi satu depa.
Anda itu aneh. Selalu kontraversial dengan berbagai pihak. Anda selalu sendirian. Apa sebenarnya keingin Gus Dur?
Saya teringat ucapannya Mao Je Dong. Saya bersama rakyat, karena itu sendiri. Apa artinya, karena saya ingin membela kepentingan rakyat, orang lain nggak ngerti. Sehingga ditinggal oleh yang lain-lain ya monggo. Nggak apa-apa. Saya yakin apa yang saya bawa ini akan tercapai, untuk kepentingan rakyat dan rakyat memahaminya entah sepuluh atau tiga puluh tahun kemudian.
Meskipun Anda dicaci maki?
Ya ndak apa-apa wong dicaci maki saja kok. Nabi saja dicaci maki, apalagi kita-kita yang penuh dosa ini. Yang tak berdosa saja dimaki-maki orang, apalagi gombal-gombal ini.
Anda sering merugikan NU karena kurang ramah kepada pemerintah.
Kita ini ramah dan ingin ramah dan tetap ramah. Salah satu bukti keramahan adalah meminta beliau-beliau untuk memberi pengarahan pada acara-acara NU semacam di Munas RMI, Muktamar dan sebagainya. Cuma ada pihak-pihak lalu membuat fitnah karena kita (NU) tidak mengeluarkan dukungan resmi kepada siapapun dalam percaturan politik, itu dianggap melawan. Memang, karena politik kita tertutup. Hal-hal semacam itu nggak gampang dibuka. Nggak gampang ketahuan bisikan-bisikan racun. Seolah-olah ada kesan menentang pemerintah. Siapa yang menentang pemerintah. Urusan NU ada sendiri, urusan Forum Demokrasi juga ada sendiri. Jangan dicampur-campur.
Saya sebagai Ketua Umum NU, saya tidak pernah bertindak mengambil tindakan menentang pemerintah. Mana ayo buktikan. Di Forum Demokrasi mana. Apalagi di NU. Nggak pernah saya menentang pemerintah. Mengkritik pemerintah memang ya di Forum Demokrasi. Masa nggak boleh. Dan saya akan selalu mengritiknya kepada siapa saja yang tidak benar.
Menurut Anda apa yang dilakukan NU akan berhasil?
NU berjuang untuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia, melalu jalur dakwah dan pendidikan, dan budaya. Ini yang sudah sekian lama dilakukan. Lalu yang baru dirintis di bidang sosial ekonomi. Perkara berhasil apa tidak. Tak menjadi masalah. Yang penting berbuat terus.