Solidaritas Kita Sebagai Bangsa

Sumber Foto: https://www.kompas.com/edu/read/2020/10/27/150709571/pelajar-pancasila-ini-alasan-solidaritas-harus-tumbuh

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan, bahwa kita mendiami sebuah kawasan yang sangat kaya raya dengan sumber-sumber alam yang melimpah. Hutan yang dulunya menjadi paru-paru dunia, kini hancur porak-poranda akibat salah urus dan ketamakan yang luar biasa. Laut dengan segenap kekayaan yang dikandungnya, yang diperkirakan mampu menghasilkan 30 milyar dollar AS per tahun melalui hasil perikanan yang dijual begitu saja, ternyata menjadi ajang penyelundupan serta penjarahan yang telah merugikan negara. Bahan-bahan pertambangan yang diobral besar-besaran bagi kepentingan segelintir orang, telah menjadi lahan subur bagi kegiatan KKN dalam dan luar negeri.

Demikian juga hasil pengelolaan melalui pertanian dan kerajinan, justru hanya menguntungkan bagi segelintir pengusaha asing belaka. Para produsen dalam negeri kita, hanya menikmati sebagian kecil dari hasil-hasil kegiatan mereka. Tekanan pada kegiatan ekspor hanya memberikan hasil kecil pihak eksportir sendiri, demi keuntungan lebih besar oleh para importir dari negara-negara maju. Jelasnya, merekalah yang memperoleh bagian terbesar dari keuntungan kegiatan ekonomi mereka.

Ketika penulis memasuki pasar swalayan di Amerika Serikat, didapati bahwa banyak aneka jenis jeans maupun kemeja yang justru buatan Indonesia, dengan tulisan jelas terpampang di dalamnya ‘made in Indonesia’, harga 20 hingga 30 dollar AS. Ketika penulis melakukan checking di Cihampelas, Bandung dan Tegalgubuk di Cirebon, ternyata pekerjanya hanya memperoleh 1 dollar untuk tiap potong, dan pengusahanya memperoleh 3 dollar AS. Ini berarti hanya 20 sampai 30 persen saja yang dinikmati pengusaha dalam negeri, dan selebihnya dinikmati orang lain.

***

Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya besar dalam hati kita; mengapakah hal itu kita biarkan begitu saja? Mengapakah kita biarkan bangsa kita tetap miskin dengan kekayaan alam demikian besar? Jawabnya sudah jelas, bahwa keuntungan tanpa banyak berusaha, alias monopoli, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja di Indonesia. Kalau Mahbubul Haque menyatakan bahwa di bawah pemerintahan Ayub Khan, hanya 23 keluarga di Pakistan yang menikmati hasil pembangunan, di negeri kita–menurut catatan terakhir, ekonomi hanya dikuasai oleh 23 keluarga saja. Yang berarti, jumlah uang beredar di kawasan Jakarta, yang berpenduduk tak ada seper-sepuluh jumlah warga negara Indonesia. Ini dapat dibayangkan betapa kuatnya pemusatan pemilikan ekonomi di Ibu kota!

Tak heran jika lalu muncul OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Irian Jaya, yang merasa muak dengan pengerukan kekayaan alam di kawasan tersebut melalui penambangan oleh pihak Freeport dan perampokan alam oleh Jayanti Group. Sedangkan aparat pemerintahan hanya dipakai sebagai alat pelindung mereka. Mungkinkah kita melakukan negosiasi untuk menegakkan otonomi daerah tersebut, kalau keadaan semacam ini tetap dilanjutkan? Tidakkah semakin lama keadaan semakin parah, apalagi dengan kematian sangat mencurigakan Theys Hiyo Eluay dan raibnya sang sopir? Bukankah aneh sekali, jika kita hanya menyalahkan tokoh tersebut tanpa melakukan perbaikan mendasar dalam perlakuan kita sebagai bangsa terhadap orang-orang Papua?

Hal yang sama juga terjadi di Aceh, dengan pembunuhan besar-besaran melalui penerapan DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh? Bukankah ini menunjukkan kepada kita keharusan untuk melakukan negosiasi dengan semua pihak di Aceh, dalam rangka mencari pola otonomisasi yang relevan bagi propinsi tersebut? Bukankah kesalahpahaman kaum sparatis di Aceh adalah akibat belaka bagi tersumbatnya arus komunikasi dengan orang-orang jujur yang tidak berpendirian Asal Bapak Senang (ABS) bagi propinsi tersebut?

***

Jawaban atas pertanyaan-pernyataan di atas jelas mengacu pada beberapa hal. Kalau hal-hal itu dapat kita penuhi, jadilah kita sebuah bangsa yang kuat dan berdaulat dalam arti sebenarnya. Kalau kita gagal, maka sebagai bangsa hanya akan menjadi korban pemerasan kekuatan dalam dan luar negeri semata. Apabila hal ini berlangsung cukup lama, maka gairah berbangsa satu dan negara yang berdaulat akan hilang begitu saja dan kita akan bercerai-berai menjadi sekian bangsa yang berdiri sendiri. Ini, tentunya, jauh dari impian para pendiri negeri kita dalam paruh pertama abad lalu. Tak ada hasilnya kita membuat sistem administrasi pemerintahan tunggal bagi semua propinsi di negeri ini, dengan bahasa nasional yang dipakai semua orang dan memiliki pola pertumbuhan ekonomi saling bergantung (interdependensi) bagi semua kawasan.

Penyelesaiannya sangat sederhana dalam teori, tapi sulit dipraktikkan. Yaitu, menegakkan sistem ekonomi kerakyatan dengan menampung segala macam perbedaan antar daerah, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Ini berarti memajukan secara ekonomi semua pihak di negeri kita dengan saling ketergantungan antardaerah, sebagai kuncinya. Ditopang dengan sistem transportasi publik yang ekstensif, dikombinasikan dengan upaya menutup kebocoran serta menghilangkan pungutan-pungutan liar maka akan terjadi penambahan sangat besar dalam penghasilan warga masyarakat kita, dan menaikkan kemampuan daya beli yang semakin besar. Perlombaan yang terjadi antara kenaikan penghasilan/pendapatan di satu pihak dan peningkatan daya beli (purchasing power) mereka di pihak lain, akan membuat ekonomi kita semakin kuat, bukan semakin lemah seperti sekarang ini.

Sistem politik seperti itu hanya dapat ditegakkan dan dijaga, apabila mengembangkan sistem politik yang benar-benar bertanggung jawab pada kepentingan rakyat banyak. Bukannya sistem politik ideal, yang hanya baik dalam retorika tetapi saling bertentangan bagian-bagiannya satu sama lain dalam kenyataan. Bilamana sistem politik itu dapat ditegakkan maka sistem hukum, kepegawaian, dan sistem-sistem lain yang kita perlukan dapat kita tegakkan. Bukankah pepatah menyatakan, perang sangat penting untuk kita putuskan bersama-sama dan bukan hanya menjadi urusan para jenderal belaka. Bukankah hampir semua bidang memerlukan penanganan para pemimpin kita secara sungguh-sungguh dan tidak hanya diputuskan oleh para ahli masing-masing belaka? Karena inilah kita memerlukan pemerintahan yang benar-benar demokratis dalam kenyataannya, meski pun pada awalnya terkadang harus dilakukan upaya-upaya otoriter.