Sorga Ada di Dunia Ini
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sebuah hadits menyatakan, bahwa ‘surga berada di bawah telapak kaki ibu’ (al-jannah tahta aqdamil ummahat). Sabda standar dari Rasulullah saw ini telah tertanam begitu kuat, sehingga mewarnai sistem kepercayaan kaum muslimin. Di manapun mereka berada, apa pun pola kehidupan mereka. Secara positif, ia diartikan dalam bentuk mementingkan pengabdian dan sikap berbakti kepada ibu yang melahirkan kita. Secara negatif, ia disimpulkan sebagai ancaman ‘Kuwalat’ jika ibu dilawan.
Pengertian seperti itu timbul dari pemahaman induktif atas kita ‘di bawah telapak kaki ibu’ dalam hadits di atas. Artinya, dimasukkan pemahaman tertentu pada kata yang semula berarti tempat di bawah kaki ibu. Pemahaman harfi tentang tempat, dialihkan kepada arti kiasan: jika memperoleh perkenan atau keredhaan ibu. Anak yang demikian adalah anak yang berbakti, taat dan setia kepada ibu, dus yang berbakti kepada orang tua.
Sudah tentu hal tersebut sesuai dengan perintah biruul walidain (berbakti kepada orang tua) yang difirmankan Allah dalam kitab suci Al-Quran. Dan mengingkari keharusan taat dan berbakti itu adalah melawan orang tua (‘uququl walidain). Melawan orang tua dilarang, diancam dengan tertutupnya pintu masuk ke sorga. Kalau taat kepada ibu sama pahalanya dengan ketaatan kepada kedua orang tua, tentunya melawan ibu sama akibatnya dengan melawan kedua orang tua. Begitulah logika pemahaman hadits di atas.
Tidak ada orang ingin membantah pandangan seperti itu. Sebagian karena tidak ada penalaran yang diperlukan untuk menolaknya. Sebagian lagi, dalam kenyataan memang ada anak yang bernasib buruk setelah melawan kedua orang tua. Atau tidak mau lalu disimpulkan itu sebagai ‘hukum yang akan berjalan kekal. Buktinya dapat dilihat pada kisah si Malin Kundang.
Sebenarnya, sebuah pemahaman baru dapat dilakukan atas hadits tersebut. Bukannya untuk mengganti pandangan di atas, pandangan normatif yang sudah berjalan berabad-abad. Melainkan untuk mencari pemahaman kontemporer, sambil tidak menolak yang sudah begitu lama dianut. Mencari arti aktual, setelah arti normatif diterima. Kedua jenis pemahaman akan berjalan seiring, sama-sama diaplikasikan oleh kaum muslimin.
Yang dimaksud dengan pemahaman lain itu adalah pemahaman tentang maksud ungkapan ‘dibawah telapak kaki ibu’, yang dilihat dari konteks kehidupan di dunia ini. Bukan yang akan terjadi di akhirrat nanti. Menurut arti ini, maksud dari ungkapan ‘di bawah telapak kaki ibu’ itu adalah tanggung jawab ibu atas anaknya. Ibu penentu masa depan anak, baik secara fisik maupun mental. Baik secara keduniawian maupun secara kerohaniahan.
Pelaksanaan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan mempersiapkan diri sebaik-baiknya pada masa kehamilan. Gizi harus cukup, vitamin bagi kandungan ada dalam jumlah seimbang, suntikan pencegahan penyakit diberikan sesuai kebutuhan. Suasana rumah tangga juga dijaga sebaik-baiknya, baik suasana psikologis maupun lain-lainnya. Calon ibu yang sedang hamil digembirakan hatinya menyongsong kelahiran bayi yang demikian didambakan. Dipelihara suasana kasih sayang dan kecintaan antara sesama anggota keluarga, sehingga suasana itu turut mengisi masa persiapan datangnya sang bayi. Suasana keagamaan dikembangkan begitu rupa, sehingga membawa berkah bagi perjalanan kandungan selama sembilan bulan lebih itu.
Begitu anak lahir, ia diasuh dengan kasih sayang, dipelihara dengan penuh kecintaan. Disediakan kebutuhan maksimalnya semasa umur balita. Diasuh lebih hati-hati lagi bila telah masanya memperoleh pendidikan formal. Diberi keteladanan baik oleh kedua orang tuanya. Dibesarkan dalam lingkungan sosial yang akan membawa dampak positif secara optimal bagi anak itu.
Dalam keadaan seperti itu, ia akan berkembang menjadi manusia yang sanggup mencapai cita-cita dan mampu memikul tanggung jawab terhadap kehidupan. Bukankah dengan demikian ia akan mencapai ‘sorga’ nya sendiri di dunia ini, sebelum ia nantinya memperoleh pahala sorgawi di akhirat kelak? Kalau dilihat dan sudut pandangan ini, memang sorga menjadi tanggung jawab ibu, untuk diberikan kepada anak dalam bentuk penyiapan kepribadian, pengetahuan dan sikap yang memunculkan kebahagiaannya dalam hidup di dunia. Dengan pengertian seperti ini, maka tanggung jawab tidak lagi hanya terletak pada anak, dalam bentuk pengabdian dan ketaatan. Tetapi juga di tangan ibu, dalam bentuk penyiapan anak untuk mencapai keluhuran arti hidup. Penafsiran yang cukup relevan dan sesuai kebutuhan, bukan?