Sumbangan Islam bagi Pengembangan Budaya Indonesia
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Topik yang dibahas kali ini memerlukan terlebih dahulu kejelasan akan arti kata “budaya” dan “budaya Indonesia”. Banyak pengertian yang diambil dari kata “budaya”, dari yang paling luas hingga yang tersempit. Dalam arti luas, budaya adalah keseluruhan pola perilaku sosial dan individual manusia di suatu kawasan. Dalam arti sempit, budaya adalah proses aktif untuk merumuskan kehidupan suatu kelompok manusia. Yang pertama berarti semua hal dapat dimasukkan dalam kategori kebudayaan, yang sebenarnya lebih tepat untuk diserahkan pada peradaban (civilization, tamaddun). Jelas pengertian seperti ini berada dari kata-kata budi-daya. Dalam artian lebih sempit ini, budaya (culture, tsiqafah). Pengertian ini menunjuk hanya kepada pengembangan pemikiran, sikap, kesadaran, dan pandangan suatu masyarakat. Ini jelas tidak meliputi keseluruhan teknologi, perekonomian, pertanian, dan lain-lain bidang kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Dalam arti yang paling sempit, budaya adalah buah penalaran pemikiran dan pandangan belaka, sehingga lebih mengarah kepada hasil seni dan sastra. Intinya adalah penalaran dalam bentuk pemikiran, yang kemudian diproyeksikan ke dalam gerak, kata-kata, lukisan, dan irama. Dimensi non-seni dari pola kehidupan menjadi tidak tertampung dalam pengertian tersebut.
Dalam pembahasan ini, yang digunakan adalah pengertian yang tidak terlalu longgar, tetapi juga tidak sangat sempit. Budaya adalah kegiatan berpikir, bertindak dan merasa yang dilakukan masyarakat yang menampilkan identitasnya sebagai suatu kesatuan. Batasan yang tidak memuaskan, namun sesuai dengan kebutuhan topik yang dibahas sendiri Dengan batasan, budaya Indonesia di sini memiliki arti keseluruhan pemikiran dan tindakan yang menampilkan identitas kita sebagai bangsa.
Dalam pengertian ini, kata budaya berarti keseluruhan produk seni dan sastra, pemaparan proses berpikir dan hasil pemikiran, refleksi dan pendalaman masalah, serta rekonstruksi dan proyeksi kehidupan kita dari masa lampau hingga ke masa datang; dan akhirnya juga totalitas pandangan hidup dan sikap kita sebagai bangsa. Cukup luas, walau pun tidak longgar, karena hal-hal yang tidak bersangkutan dengan pembentukan pandangan hidup (weltanschaung) bangsa kita, tidak dimasukkan ke dalam pengertian ini.
Dengan sengaja kita hindari keterlibatan dalam perdebatan mengenai hakekat budaya Indonesia sebagai kebudayaan nasional: benarkah ia merupakan sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari kebudayaan daerah, ataukah seperti yang dikatakan UUD’45, bahwa kebudayaan nasional adalah “puncak-puncak kebudayaan daerah?” Sengaja kita menghindarkan diri dari perdebatan itu, yang hanya akan selesai kalau kita telah tiba pada masa kedewasaan tertentu untuk mencapai kesepakatan final dalam masalah tersebut. Yang jelas, Islam harus bergaul dan mengisi, baik kebudayaan nasional maupun budaya daerah kita. Kenyataan sejarah telah menunjukkan hal itu, dan akan semakin banyak tuntutan sejarah untuk berdialog lebih mendalam antara Islam dan keduanya. Islam datang ke bumi Nusantara dengan mengambil pendekatan budaya, dalam arti tidak mementingkan penaklukan militer. Melalui kegiatan pendidikan, kesenian, ekonomi, dan perkawinan, lambat laun Islam berkembang dari pulau ke pulau di seluruh tanah air kita.
Islam tidak selalu tampil dalam bentuk pemerintahan, melainkan lebih banyak sebagai cara peribadatan, hukum positif setempat, dan pengajaran kitab-kitab kuning di kalangan rakyat. Gerakan-gerakan sufi besar terwakili dengan agungnya di masyarakat kita sejak dahulu, seperti terbukti dari perdebatan tentang ajaran-ajaran tauhid dan tasauf dari para tokoh masa lampau seperti al-Raniri, Abdur Ra’uf Singkel, Hamzah Fansuri, dan tokoh legenda Syekh Siti Jenar dan lawannya, para Wali Sanga.
Pada umumnya, fiqh menjadi hukum positif kebanyakan masyarakat kita di masa lampau, sudah tentu berpadu dengan hukum adat setempat. Kebetulan sekali mazhab fiqh yang berkembang di sini dahulu adalah mazhab Syafi’i, yang dalam ushl fiqhnya mencantumkan cara-cara menyerap hukum adat ke dalam hukum fiqh (melalui perangkat al-adah muhakkamah). Sedemikian jauh fiqh telah menjadi hukum positif masyarakat kepulauan kita di masa lampau, sehingga ia merupakan sistem hukum nasional model Barat yang ditegakkan di sini. Beberapa pepatah menunjukkan kedudukan penting dari hukum fiqh, seperti pepatah “Adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah” di masyarakat Minangkabau dan “hukum bak kata meureuhum dan adat bak kata Syah Kuala” di lingkungan Kesultanan Aceh di masa lampau.
Pondok pesantren (surau, rangkang, dan dayah) merupakan lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, dari Aceh hingga Ternate. Dengan demikian, ilmu-ilmu pengetahuan agama Islam merupakan “ilmu umum”, di hadapan “ilmu khusus” di lingkungan keraton masing-masing daerah. Dapat dikatakan, bahwa sistem pendidikan nasional model Barat yang ada sekarang, di masa lalu adalah pondok pesantren. Tidaklah heran jika bangsa kita kemudian melahirkan ulama bertaraf internasional, seperti Kiai Nawawi Banten yang wafat di Mekkah dan bergelar sayyid fuqaha’ al-hijaz (panutan para ahli fiqh di Hijaz). Perpaduan antara Islam dan unsur kehidupan lokal tidak ada yang tampak sejelas perpaduan kesenian daerah yang bernafaskan Islam. Tari Seudati dan pantun Didong adalah contoh menarik bagaimana sesuatu yang “Islami” dalam bentuk salawat Nabi, kemudian diterjemahkan ke dalam gerak, tari dan kata yang begitu khas beri kedaerahan. Universalitas pesan Islam dipadukan ke dalam manifesta yang demikian lokal. Kalau diikuti terus dari daerah ke daerah akan tampak, bahwa perpaduan antara universalitas ajaran Islam dan bentuk lahiriah seni daerah mencapai titik dan penampilan yang berbeda-beda, namun mengikuti sebuah pola umum: menekankan tauhid dan memuliakan Nabi Muhammad SAW dengan di sana-sini menampilkan sisi akhlaq dari kehidupan kaum Muslim.
Kaitan antara unsur-unsur Islam dan unsur lokal dari masyarakat kita di masa lampau itu lalu simbiotik, dalam arti yang satu berpilin dalam ikatan tak terpisahkan: wawasan kebangsaan dari wawasan keagamaan Islam. Hubungan simbiotik itu paling jelas terlihat pada bahasa pergaulan (lingua franca) seluruh kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu, yang dikemudian hari akan menjadi bahasa nasional kita, Bahasa Indonesia. Perbendaharaan kata dalam bahasa Melayu sepertiganya adalah kata-kata bahasa Arab, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu tidak akan terwujud jika tidak ada bahasa Arab.
Pesan-pesan yang dibawakan Islam pada umat manusia adalah sederhana saja; bertauhid, melaksanakan syariah, dan menegakkan kesejahteraan di muka bumi. Kepada kita telah diberikan contoh sempurna, yang harus kita teladani sejauh mungkin, yaitu Nabi Muhammad SAW. Hal itu dinyatakan dalam Al Qur’an: laqad kaana lakum firasuulillah uswatun hasanah (telah ada bagi kalian keteladanan sempurna dalam diri Rasulullah). Keteladanan itu tentunya paling utama terwujud dalam peranan beliau untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil’alamin). Karena meneladani peranan pembawa kesejahteraan itulah manusia diberi status tinggi di hadapan Allah, seperti disabdakan-Nya “laqad karramna bani adam” (sungguh telah Ku-muliakan anak adam). Mulianya status itu dilengkapi oleh Allah dengan firman-Nya “laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwin” (sesungguhnya Aku telah menjadikan manusia dalam bentuk ciptaan yang sebaik-baiknya) dan dengan segenap peranan status dan bentuk ciptaan itulah manusia dijadikan Allah sebagai penerus-Nya di muka bumi (khalifatullah fil ard).
Beberapa asas dapat ditarik dari keutuhan manusia dalam wawasan Al Qur’an seperti dikemukakan di atas, yang akan menyajikan gambaran lengkap tentang arah kehidupan manusia sebagai makhluk yang diperintahkan melakukan ibadah atau menyadari keagungan-Nya. Asas-asas manfaat, asas keadilan, persamaan manusia di hadapan ajaran-ajaran-Nya dan banyak lagi asas lainnya merupakan kerangka yang membatasi perilaku manusia. Asas tersebut berfungsi sebagai prinsip pengaturan kaum muslimin, baik secara perorangan maupun kolektif. Dapat saja prinsip itu diwujudkan dalam bentuk kemasyarakatan Islam yang bersifat formal, namun dapat juga menjiwai berbagai bentuk kemasyarakatan yang ada. Dengan demikian, dua buah jalur pemikiran dapat digunakan untuk menelusuri beberapa yang dapat disumbangkan Islam dalam kehidupan bangsa dan negara. Di satu pihak, Islam menyediakan konsep jadi yang tuntas tentang berbagai aspek dan bidang kehidupan masyarakat. Konsep itu menjadi pegangan dalam membuat operasionalisasi nilai yang ditarik dari ajaran Islam. Cara ini memang memuaskan, karena dari awal hingga akhir keutuhan pandangan Islam tentang aspek atau bidang yang digali itu akan tampak. Namun kesulitannya adalah ketiga gugusan berbagai konsep yang meliputi aspek dan bidang kehidupan yang berbeda-beda dari suatu masyarakat lalu membentuk sebuah keutuhan baru, yaitu keseluruhan pola hidup bangsa itu sendiri. Pendekatan ini lalu menyajikan sebuah masyarakat Islam, bukannya masyarakat kebangsaan sebagaimana yang ada di Indonesia dewasa ini. Berarti harus diulang kerja menyaingi nama dari keutuhan masyarakat Islam itu, yang dijadikan ramuan bagi penyusunan masyarakat kebangsaan tersebut bersama-sama dengan sumbangan pihak-pihak lainnya. Dengan kata lain, sumbangan yang dihasilkan justru penarikan prinsip-prinsip dari keseluruhan konsep tersebut.
Jalur kedua adalah justru dengan menyampingkan pola konseptualisasi. Bukannya konsep yang dibuat, melainkan justru prinsip-prinsip yang dapat ditarik dari ajaran Islam yang diutamakan. Kalaupun konsep dibuat, hanya untuk kepentingan terbatas, yaitu guna melihat prinsip-prinsip itu dalam operasionalisasinya. Prinsip-prinsip itulah yang ditawarkan kepada masyarakat sebagai sumbangan Islam, dan dengan demikian ia tidak terikat pada bentuk dan cara pencapaian tujuan. Dengan masuk ke dalam bangunan kehidupan masyarakat sebagai prinsip, ajaran Islam secara elastis akan membentuk kehidupan bangsa melalui penumbuhan etika masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam. Dilihat dari kacamata pengembangan budaya bangsa, jalur kedualah yang sepatutnya diambil untuk menelusuri sumbangan Islam kepada kehidupan bangsa. Dengan ungkapan lain, Islam dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan budaya bangsa melalui sejumlah prinsip yang mengatur pola perkembangan budaya bangsa itu sendiri.
Pertama, kehidupan budaya harus mengembangkan kreativitas yang berkembang terus-menerus. Tuntutan akan pengembangan kreativitas itu sesuai dengan kedudukan khalifatullah fil ard yang bertugas menyejahterakan kehidupan. Tugas seperti itu memerlukan kreativitas yang tinggi, dan untuk itu manusia telah diberi kekuatan jasmani dan rohani yang sesuai dengan tuntutan pengembangan kreativitas itu sendin Islam harus dapat memberikan jaminan akan pengembangan kreativitas tersebut secara tuntas.
Kedua, pergembangan kreativitas memerlukan kebebasan berpendapat dan kelonggaran untuk berbeda pendapat antara para budayawan. Tanpa kebebasan seperti itu, tidak mungkin kreativitas akan muncul. Pendapat yang paling kurang ajar sekali pun harus diberi perlindungan, karena hanya dengan cara itulah pendapat paling benar akan muncul dan proses mengasah pikiran dan memperbarui wawasan secara terus-menerus. Karenanya, setiap produk pemikiran maupun apresiasi seri tidak boleh dianggap sebagai hasil akhir yang harus dinilai secara final. Proses pro-kontra yang terjadi yang akan memunculkan pikiran yang paling benar dan apresiasi seni yang definitif.
Ketiga, pengembangan budaya suatu masyarakat harus diletakkan pada jalur penumbuhan sifat-sifat manusiawi semua warganya. Dengan demikian, kemanusiaanlah satu-satunya ukuran kegunaan suatu bentuk kegiatan budaya. Walaupun atas nama Islam, setiap kegiatan yang menyebabkan mundurnya nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat harus dihilangkan. Martabat manusia sebagai makhluk termulia menuntut tidak kurang dari penghargaan tertinggi pula atas dirinya.
Dengan ketiga prinsip di atas, Islam banyak memberikan sumbangan kepada budaya bangsa pada saat ini. Sikap tersebut yang melandasi perkawinan antara unsur budaya Islam dengan budaya daerah kita di masa lampau. Arsitektur masa pra-Islam menghasilkan bentuk atap bersusun (meru). Bentuk atap tersebut yang kemudian digunakan suku bangsa Jawa untuk menyatakan keyakinan Iman, Islam, dan Ihsan melalui tiga lapis atap genting, yang melandasi tauhid, yang dirupakan dalam bentuk mustaka. Alangkah sayangnya jika perpaduan arsitektur lokal dan keyakinan agama itu harus hilang begitu saja dilanda atap berbentuk kubah, yang secara salah justru dianggap mewakili simbolisme iman bentuk itu justru datang dari agama Kristen Byzantium).
Demikian juga, ekspresi keyakinan agama dalam bahasa daerah sebenarnya tidak perlu distandarkan dengan jalan dialihkan ke dalam bahasa Arab. Penghayatan yang intens dari ekspresi keagamaan lokal itu akan sirna jika “diluruskan”, seperti kebiasaan orang Betawi mengucapkan du ile atau ja-ile. Rasanya tidak terlalu perlu diluruskan dengan ungkapan sepotong yang sepintas lalu tampak salah itu (menurut setengah orang, aslinya adalah le ilaha, yang tentu saja salah dari sudut keimanan). Banyak ekspresi seperti itu, yang umumnya memang sedikit banyak “bersinggungan” dengan ajaran resmi Islam. Dengan pendekatan mengajukan prinsip-prinsip Islam seperti dikemukakan di atas, sebenarnya secara tidak disadari Islam telah memberikan sumbangan kepada pembentukan sebuah budaya bangsa yang utuh, di luar budaya budaya daerah yang ada. Dalam dialog dengan budaya-budaya daerah Islam lalu memasukkan ke dalam masing-masing budaya daerah hal-hal yang menyamakan wawasan mereka, seperti wawasan kemanusiaan dan wawasan kebebasan berpendapat. Hal-hal yang menyamakan kesemua budaya daerah itulah yang akan menjadi warna utama dari kebudayaan nasional kita di kemudian hari.
Juga keterikatan pada nilai-nilai universal yang disumbangkan Islam akan membawa budaya-budaya daerah pada penghayatan bersama atas kehidupan bangsa dan proses penghayatan bersama itulah yang menghasilkan kebudayaan nasional kita di kemudian hari. Kesadaran sebagai bangsa hanya akan mucul dari rasa kebersamaan yang dibawakan oleh penghayatan tersebut, di samping rasa kebersamaan dengan sesama umat manusia warga dunia ini.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sumbangan Islam yang sebenarnya pada budaya Indonesia adalah mengambil bentuk pengembangan budaya-budaya daerah melalui prinsip-prinsip yang akan memunculkan rasa kebersamaan, yang akan berjuang pada sebuah kebudayaan nasional yang penuh keanekaragaman, tetapi juga penuh kematangan sikap dan pandangan.