“Susah Menghadapi Orang Salah Pаhаm”
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Agama akan menjadi rahmat jika ia datang kepada manusia untuk kepentingan kemanusiaan. Tapi, kalau digunakan hanya untuk kepentingan manusianya sendiri, bukan untuk memenuhi kepentingan kemanusiaan, maka itu bukan agama namanya. Itu penggunaan agama yang salah. “Benturan antarkebenaran” terjadi saat orang-orang berani mengambil alih jabatan “Tuhan”, fungsi “Tuhan”, dan kerjaan “Tuhan”. Padahal, dalam ajaran tauhid, urusan kebenaran adalah hak prerogatif Tuhan,” demikian refleksi KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dituturkannya berulang-ulang kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68 H, Jakarta pada tanggal 07/05/2007.
Keberagamaan umat Islam saat ini sering dikaitkan dengan radikalisme dan kekerasan. Apa yang salah menurut Gus Dur?
Saya rasa persoalannya adalah ketidakmengertian. Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya — saya tidak memihak paham mana pun, baik Ahlussunnah, Syi’ah, atau apapun — adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali apabila kita diusir dari rumah kita sendiri. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya (al-‘irdl), kehilangan keamanan dirinya, dan kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu, kita boleh melakukan pembelaan.
Bagaimana cara menanggulangi radikalisme itu, Gus?
Ya, kita tidak boleh berhenti menekankan bahwa Islam itu agama damai. Dalam al-Qur’an, ajaran tentang itu sangat banyak. Jadi, kita tidak usah mengulang-ulang (pernyataan) lagi bahwa Islam itu agama damai dan rasional. Hanya saja, memang ada sisi-sisi lain dari Islam yang kurang rasional. Tapi kalau dipikir-pikir lagi secara mendalam, jangan-jangan itu rasional juga. Jadi dengan begitu, kita tidak boleh serta-merta memberikan judgement, pertimbangan, penilaian. Jangan! Kita harus benar-benar tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan kekerasan. Tapi biasanya, yang pura-pura (Islam) itulah yang paling keras.
Menentang pemerintahan yang zalim, yang menyengsarakan rakya, apakah bisa disebut jihad, Gus?
Sekarang kita tetapkan dulu: pengertian jihad itu apa? Jihad adalah berperang di jalan Allah. Kalau tidak begitu, ya, berarti jihad dalam pengertian lain. Ada banyak macam jihad, yaitu jihad ashghar (terkecil), shaghîr (kecil), kabîr (besar), dan akbar (terbesar). Ayatullah Khomaini pernah mengatakan bahwa jihad ashghar, atau jihad yang terkecil, adalah menegakkan keadilan. Tapi itu tergantung niat Anda juga.
Kalau niat Anda berjihad kecil hanya untuk merobohkan pemerintahan, hasilnya ya merobohkan pemerintahan saja. Di sini, kita bisa kiaskan dengan ungkapan Hadits yang menyebutkan itu. Tergantung pada orangnya. Kalau seseorang mau hijrah karena Allah dan utusan-Nya, maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan utusan-Nya. Tapi kalau hijrahnya demi harta benda atau perempuan yang akan dinikahinya, ya hijrahnya akan sampai pada apa yang akan dia hijrahi itu.
Sama saja dengan cara kita dalam menilai jihad. Luarnya bisa saja seperti jihad, tapi dalamnya kita nggak tahu. Makanya, jangan gegabah dalam soal ini. Nggak gampang menilainya.
Bagaimana menentukan sikap Islam yang benar dalam kompleksitas kehidupan dunia ini?
Sikap Islam yang benar adalah sikap yang sesuai dengan ajaran pokok Islam. Ajaran pokok Islam ialah berkeyakinan bahwa Tuhan itu satu dan mengimani ada Hari Akhir. Kemudian kita dituntut untuk mematuhi ajaran Tuhan, saling kasih mengasihi, dan sebagainya Kita harus saling kasih mengasihi antarmanusia. Kalau mau lebih disempurnakan, ya silahkan. Itu urusan masing-masing. Tapi, kalau ada orang yang berpendirian lain, ya nggak apa-apa juga.
Mana yang lebih baik antara undang-undang buatan manusia dengan apa yang sering disebut “hukum Tuhan” oleh sebagian aktivis Islam selama ini?
Yang perlu dilihat itu segi pemakaiannya, jangan bikinannya. Al-Quran itu memang firman Tuhan, dan kita pakai pada saatnya. Sedangkan Undang-Undang Dasar itu buatan manusia, dan kita pakai juga pada tempatnya. Dalam kehidupan bernegara, kita pakai Undang-Undang Dasar. Dalam kehidupan bermasyarakat, kıta menggunakan undang-undang al-Qur’an. Begitu saja kok nggak tahu?
Nah, merupakan kewajiban pemimpin Islam untuk menjelaskan itu supaya jangan ada kekeliruan. Undang-Undang Dasar itu memang buatan manusia, tidak sakral, kapan mau bisa diubah, ya bisa saja. Kalau al-Quran, penafsirannyalah yang dari waktu ke waktu berubah. Al-Quran sendiri tetap.
Bagaimana Gus Dur menafsirkan ungkapan Al-Quran “innaddîna ‘indallâhil Islâm”?
Dalam bahasa kita, ayat itu berbunyi, “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” Tapi, itu kan katanya orang Islam, toh?! Ya sudah, selesai! Itu juga kan kata Kitab Suci orang Islam. Makanya, kalau orang Islam bilang begitu, ya pantas-pantas saja. Sama saja ketika agama lain mengatakan, “Ikutilah aku!” Itu kata Yesus. Nah, soalnya tinggal kita ikuti atau tidak. Itu saja.
Islam seperti apa yang paling utama bagi Gus Dur?
Yang paling utama bukan Islam-golongan, tapi orang-Islam. Ingat loh, antara institusi agama dengan manusianya itu berbeda. Perbedaannya sangat jauh: ada yang ikhlas, ada yang cari pangkat, cari kedudukan, cari kekayaan, dan lain sebagainya. Jadi, sangat susah menilai dan mengatakan Islam mana yang paling baik. Saya saja nggak berani mengakui kalau Islam saya yang paling benar. Sebisa-bisanya, saya jalani saja.
Lalu, bagaimana Gus Dur mendefenisikan istilah kafir?
Mengenai pengertian kafir, muballigh kayak Yusril Ihza Mahendra saja nggak tahu. Dulu, dia pernah bilang, “Saya kecewa pada Gus Dur yang terlalu dekat dengan orang Kristen dan Yahudi. Padahal, al-Qur’an mengatakan bahwa tanda muslim yang baik adalah asyidda’u ‘alal kuffar (tegas terhadap orang-orang kafir).” Terus saya balik tanya, “Yang kafir itu siapa?”
Menurut Al-Qur’an, orang Kristen dan Yahudi itu bukan kafir, tapi digolongkan sebagai Ahlul Kitab Yang dibilang kafir oleh al-Qur’an adalah orang-orang musyrik Mekkah, orang yang syirik, politheis Mekkah”. Sementara di dalam fikih, orang yang tidak beragama Islam itu juga disebut kafir. Itu kan beda lagi. Jadi, kita jelaskan dulu, istilah mana yang kita pakai.
Banyak sekali soal khilafiah di dalam masyarakat dalam menafsirkan agama yang satu sekalipun. Apa kriteria perbedaan yang membawa rahmat itu, Gus?
Dulu, ada perbedaan antara Muhammadiyah dengan NU soal tarawih dua puluh tiga rakaat atau sebelas Kan begitu?! Semua itu sama-sama boleh. Jadi, jangan ribut hanya karena masalah seperti itu. Yang harus kita selesaikan adalah masalah-masalah pokok, seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan sebagainya. Tapi itu malah yang nggak pernah diurusi. Malah yang diributkan tentang shalatnya bagaimana; sebelas rakaat atau berapa. Itu kan bukan masalah yang berpengaruh pada kondisi kemanusiaan nyata?!
Bagaimana membuat Islam sebagai rahmat, bukan malah mendatangkan laknat?
Agama akan menjadi rahmat jika ia datang kepada manusia untuk kepentingan kemanusiaan. Tapi kalau digunakan untuk kepentingan manusianya sendiri, bukan untuk memenuhi kepentingan kemanusiaan, maka itu bukan agama namanya. Itu penggunaan agama yang salah. Contohnya, agama seharusnya terlibat langsung dalam menanggulangi kerusakan lingkungan hidup. Itu sangat jelas, karena lingkungan hidup sangat dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan kemanusiaannya.
Isu itu merupakan kebaikan yang menyangkut langsung kemaslahatan hidup. Makanya, di sini kita rumuskan dengan nama keyakinan. Kalau keyakinan itu untuk kemaslahatan semua, berarti itu agama. Tapi kalau tidak, ya namanya kepentingan kelompok. Jadi, harus dibedakan antara kepentingan agama secara umum dengan kepentingan kelompok.
Sekarang ini, agama tampaknya hadir kembali ke ruang publik dalam bentuk partai-partai dan kelompok-kelompok sektarian. Itu makin memperkental identitas kelompok. Bagaimanна tanggapan Gus Dur?
Ya, nggak apa-apa. Disebut atau tidak agamanya, sama saja. Yang penting agendanya harus jelas: untuk kepentingan kemanusiaan. Yang menjadi pokok, untuk kepentingan siapa dia bekerja? Kalau untuk kepentingan kelompok yang bersangkutan, itu namanya bukan agama. Bagi saya, agama itu harus hadir untuk semua golongan.
Di dalam al-Quran juga ada pengertian mengenai hal ini. Tanda-tanda atau bukti-bukti kehadiran Tuhan adalah jika yang bersangkutan mengharapkan kerelaan Tuhan, bukan untuk dirinya sendiri. Juga bukan demi mengharap masuk surga. Tapi karena kerelaan Tuhan, kemudian untuk kebahagiaan akhirat nanti.
Tanda-tanda kebesaran Allah itu ada di mana-mana, ada yang secara lafzhi atau kata-kata, dan ada yang secara keadaan. “Laqad kana lakum fi rasûlillahi uswatun hasanah, li man kana yarjullâha wal yaumil akhir wa dzakarallāha katsîra (Rasulullah telah dijadikan panutan yang baik bagi orang-orang yang berharap (keridlaan) Allah dan hari akhir dan mereka yang banyak-banyak mengingat Allah),” demikian kata Al-Quran.
Mengapa ada kelompok Islam yang ingin ajaran-ajaran spesifik Islam diatur dalam hukum negara, seperti kewajiban berjilbab dan lain-lain?
Pemikiran seperti itu sebetulnya bersifat defensif. Artinya, mereka takut kalau Islam hilang dari muka bumi. Itu namanya defensif; pakai takut-takutan. Sebenarnya, nggak perlu ada rasa ketakutan seperti itu. Mestinya, hanya urusan-urusan kemanusiaan yang perlu kita pegang. Ada pun soal caranya, terserah masing-masing saja. Jadi, orang Islam nggak perlu takut Islam lenyap. Itu tidak mungkin. Islam akan melekat dengan amalan kita sendiri.
Coba saja bayangkan, dulu Islam berasal dari komunitas yang sangat kecil. Sekarang, Islam jadi agama dunia. Agama Buddha dulu juga demikian, Kristen juga demikian. Orang Kristen dulu dimakan macan nggak bisa apa-apa. Sama rajanya diadu dengan tangan kosong, bahkan diadu dengan singa. Toh, sekarang agama Kristen jadi agama yang merdeka di mana-mana.
Begitu juga dengan Islam. Jadi, tidak usah diambil pusing. Di negara Republik Rakyat Cina (RRC) yang katanya tak bertuhan, agama Konghucu dan Buddha, bahkan agama Islam dalam kenyataannya tetap ada dan berkembang walau secara sembunyi-sembunyi.
Mengapa sering terjadi benturan klaim kebenaran antaragama bahkan dalam satu rumpun agama yang sama?
Karena, kita berani-beraninya mengambil alih jabatan “Tuhan”, fungsi “Tuhan”, dan kerjaan “Tuhan”. Memangnya kita siapa, kok berani-beraninya?! Nggak ada yang lebih tinggi dari pada yang lain. Yang lebih tinggi dan lebih besar dari segalanya hanya Tuhan.
Bagaimana Gus Dur memaknai ajakan ber-Islam secara kaffah atau total?
Islam kâffah itu maksudnya adalah Islam yang memperlakukan manusia sebagai manusia yang utuh. Jadi, kalimat udkhulû fis silmi kâffah itu bukan menyangkut ajaran Islamnya, tapi soal masuknya yang kâffah. Artinya, masuk Islam ke dalam perdamaiarı yang total. Kalau dengan kebencian atau apalah, itu nggak total namanya.
Ada yang bilang, yang tidak sudi menjalankan hukum-hukum Islam pada level negara, tidak kaffah Islamnya. Mereka dianggap kafir. Pandangan Gus Dur?
Ada hal-hal yang prinsipil dalam Islam, dan tidak semuanya lantas pantas dikafirkan. Al-Quran juga menyatakan, “Pada hari ini telah Kusempurnakan agama kalian, dan telah Kusempurnakan pemberian nikmat-Ku kepada kalian, dan Kujadikan Islam sebagai agama kalian.” Nah, kesempurnaan di situ menyangkut hal-hal yang prinsipil. Begitulah pemahamannya. Jangan kita salah paham terus.
Ada cerita tentang orang yang suka salah paham, persis seperti jemaah haji Indonesia yang bingung ketika di Mekkah. Soalnya, setiap nyegat bis, kernetnya selalu teriak-teriak: “Haram…! Haram..!” Akhirnya, dia tak mau naik, karena takut dibilang haram. Lalu, dia nungguin bis sampai sore sampai mendengar yang bilang “Halal…! Halal…!” Kan susah menghadapi orang yang suka salah paham gitu?! Kata “Haram” itu dia pahami sebagai sesuatu yang dilarang agama. Padahal, maksudnya adalah jurusan Masjidil Haram, hehe..
Ada kesan umat Islam memusuhi seni rupa. Jangankan menggambar sosok nabi, menggambar makhluk bernyawa saja dikecam. Bagaimana Islam memandang seni rupa, Gus?
Dulu ada KH. Ahmad Mutamakkin dari Pati. Dia dituduh para ulama fikih di daerahnya telah mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Kenapa? Dia membiarkan adanya gambar gajah dan ular di tembok masjid. Lalu, tuduhan bertambah: dia anti Islam, karena suka menonton wayang kulit lakon Dewa Ruci. Kata yang menuduhnya: orang Islam kok percaya dewa-dewi?!
Memangnya kenapa; untuk nonton saja nggak boleh?! Dari sana dia kan bisa mengambil teori-teori yang dia tidak cocok. Untuk itu, kita ini jangan gampang bereaksi, apalagi menganggap orang lain itu kafir.
Bagaimana hubungan Islam dengan kebudayaan lokal Indonesia selama ini, Gus?
Antara agama Buddha dan Islam di Nusantara, banyak sekali persamaannya. Di antaranya adalah ketika Islam (di Indonesia, dan yang lebih khusus Islam tradisional), disebarkan lewat tradisi. Di antaranya adalah tradisi syair yang ditempuh Sunan Kalijaga. Tembangnya sampai sekarang masih terkenal, yaitu tembang Lir-Ilir Persamaan lainnya adalah dalam hal penjagaan tradisi. Agama Islam dan Budha sama-sama mengagungkan tradisi unggah-ungguh antara yang muda dengan yang lebih tua. Dalam hal ini, budaya-budaya Timur sangat sinkron dengan kedua agama itu.
Tapi permasalahnnya, di level nasional banyak permasalahan yang tidak sepadan antara budaya-budaya Timur–dalam artian budaya kerakyatan–dengan budaya Indonesia di tingkat nasional yang tampak kebarat-baratan. Misalnya, masalah aurat Bagi masyarakat pedesaan, jika berpakaian sudah rapi dengan kerudung, walau menggunakan kerudung yang transparan, itu dianggap sudah menutup aurat. Tetapi di level nasional, ada yang mengatakan itu masih belum mencapai batas maksimal penutupan aurat. Di sini timbul masalah.
Sama seperti kasus ciuman. Bagi orang-orang di level nasional, cium pipi itu sudah merupakan hal yang wajar. Tapi bagi masyarakat pedesaan, itu hal yang tidak wajar, karena salaman dengan lawan jenis saja sudah dianggap fitnah. Lalu, bagaimana agama menjembatani tradisi-tradisi yang berbeda antara tradisi yang di atas dengan tradisi yang di bawah ini?
Caranya adalah dengan menjamin hak-hak orang untuk melakukan penafsiran. Jangan asal berbeda sedikit dimarahi. Gendeng, apa?! Ya, memang kita nggak bisa memaksakan hal yang lampau dengan yang sekarang, bukan hanya soal yang bawah dengan yang atas. Zamannya mbah saya dulu, pakai sarung adalah harus. Dulu, kaidah NU adalah hadits yang berbunyi, “Man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhum,” siapa yang menyerupai sebuah kaum, dia termasuk kaum itu. Kalau pakai celana, berarti orang Barat, dong! Begitu, toh?! Tapi, sekarang kan sudah lain. Semua itu perlu peran agama untuk terus-menerus mendialogkan; mempersoalkan terus tanpa mengganggu undang-undang.
Apa kuncinya agar usaha dan doa kita terkabul, Gus?
Kuncinya, ya ikhlas. Kalau nggak terkabul, artinya Anda nggak ikhlas. Simpel saja. Makanya, Ibnu Atha’ al-Iskandari penulis al- Hikam berkata, idfin wujûdaka fi ‘ardlil khumûl (kuburkan dirimu dalam bumi kekosongan, Red). Maksudnya, kita harus benar-benar kosong supaya tak punya keinginan apa-apa. Susahnya, orang berdoa itu kan banyak keinginannya. Ini celakanya. Makanya, kalau kita berdoa, jangan minta apa-apa; terserah Tuhan sajalah. Pokoknya yang terbaik menurut Tuhan saja.
Apa gunanya kehendak dan doa jika segalanya sudah ditentukan Tuhan?
Dalam pandangan Islam, manusia boleh menghendaki apa saja, tetapi yang menentukan jawaban “ya” atau “tidak”, ya Tuhan. Ungkapan yang dikenal yaitu, “Allâhu yurid, wan nâsu yurid, wallâhu fa’allun li mâ yurîd” (Allah berkehendak, manusia juga berkehendak, tetapi hanya Allah yang mewujudkan apa yang Ia kehendaki). Jadi, prinsip berdoa adalah meminta kepada Tuhan supaya Dia mengabulkan.