Teater dan Politik di Indonesia
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada waktu saya mendapat surat dari Teater Populer untuk ikut serta dalam seminar ini, sebenarnya saya sudah ragu-ragu, karena saya hampir tidak mengerti apa-apa tentang teater, apalagi teater di Indonesia. Untuk setiap kali menonton saja sudah tidak mungkin karena sibuk dengan teater kiai, bukan teater politik di desa-desa atau di daerah-daerah, sehingga praktis tidak pernah mengikuti perkembangan teater. Boleh dikata pengenalan saya hanya pada naskah-naskah yang pernah saya baca atau saya ikuti, karena memang kebetulan saya rajin mengumpulkannya, baik yang dipentaskan orang atau yang seharusnya dipentaskan. Salah satu di antara naskah paling berharga yang sebenarnya bukan untuk drama atau dipentaskan dalam bentuk teater, tetapi dibuat untuk skenario film adalah tentang Woila, yang disusun oleh saudara Wiwoho anak buah Rahmat Toleng, di Suara Karya.
Dalam naskah itu, mulai awal sudah ditulis close up buah dada seorang pramugari, kemudian paha, dan pinggul, terakhir ditutup dengan pantat. Sangat berharga melihat obsesinya orang Indonesia. Dari naskah-naskah yang ada, saya mencoba merefleksikan apa yang pernah saya baca, bukan yang saya tonton.
Dari yang saya baca selama beberapa waktu, saya melihat ada beberapa, kebetulan tadi dalam perjalanan kemari saya menonton rekaman video orang-orang seperti Charles Latter memainkan dalam bentuk film, tetapi dasarnya dari drama, yang menarik. Karya-karya agung semacam itu, menurut saya sangat patut diketengahkan untuk kita renungkan bersama.
Pada karya-karya teater yang agung yang menyangkut politik tersebut, saya lihat ada satu hal yang paling menonjol, yaitu bahwa politik itu sendiri sebenarnya hanya merupakan sub tema, bukan merupakan perhatian utamanya, yang tertuju pada watak-watak manusia. Apakah itu kelinglungan atau kebingungan seorang pangeran yang tidak tahu apa yang harus dikata (Hamlet), atau kelicikan-kelicikan untuk mewujudkan ambisi pribadi, kekejaman karena sifat haus kepada kekuasaan, keinginan akan kebesaran, atau bahkan yang disebut dengan kegilaan (di mana orang berkuasa itu mesti gila).
Seperti pernah kita lihat pada Caligula-nya Camus, semua itu menunjukkan bahwa yang ditelusuri sebenarnya adalah sifat-sifat manusia yang paling inti, yang merupakan kerangka psikologisnya. Kalau orang dengan kerangka psikologis tertentu memegang kekuasaan, lalu apa jadinya? Apakah itu karena kecintaan kepada Tanah Air, atau keserakahan akan teritorial, bahkan wanita cantik. Kita lihat dalam beberapa drama bahwa akhirnya pertaruhan itu hanya berebut wanita cantik. Tetapi khusus tentang wanita cantik ini, ada satu observasi yang merupakan koreksi terhadap kesan saya semula, mungkin karena saya pertama kali melihat Cleopatra itu adalah Elizabeth Taylor. Saya pikir Cleopatra itu tolol, karena saya memang selalu curiga pada kecantikan lahiriah, yang kebanyakan menyembunyikan ketololan.
Bahwa ternyata kemudian ada wanita yang menjadi bintang hebat dengan kecantikannya, itu adalah tanda kehebatannya, tetapi di antara jutaan yang cantik, mungkin tidak ada seribu yang benar-benar cantik luar dalam. Tadinya saya pikir bahwa Cleopatra itu seperti Elizabeth Taylor dalam pengertian tidak perlu berharap IQ tinggi darinya, karena memang dia yang bermain. Tetapi setelah baca lagi mendalam, ternyata dia sangat hebat dan sangat dalam sekali, di satu pihak penuh perhitungan dan banyak tipu daya, tetapi di pihak lain ia juga mempunyai impuls-impuls halusnya sebagai wanita yang setia kepada yang dikasihinya dan bahkan rela mati bersamanya.
Dari sini terlihat bahwa watak manusia sulit diduga atau sangat rumit. Hal ini berarti saya juga harus merevisi pandangan saya tentang wanita pejaktian seperti Sarwa dalam cerita silat Cina. Dia dianggap tokoh yang paling jahat, tetapi ternyata dia yang paling efektif, mungkin seefektif penguasa-penguasa wanita kita yang tidak sempat menjadi pejabat resmi, tetapi hanya menjadi istri pejabat yang ternyata sangat efektif kekuasaannya.
Maksud saya di sini adalah pada dasarnya teater harus mampu mencapai temuan-temuan paling mendalam tentang watak-watak manusia, kemudian baru diungkap dengan performance lahiriah. Meminjam istilah Arief Budiman adalah dengan “kritik”. Kita tahu bahwa kompleksitas masalah itu sangat tinggi. Kalau kebetulan bicara tentang teater rakyat tradisionil atau yang modern, seperti ludruk hal itu semakin jelas. Durrasim ditangkap Jepang karena dia berani bicara begini: bekupon omahe doro, kandange doro, dijajah Nippon tambah soro (bekupon tempat/kandangnya burung dara, dijajah Nippon kita bertambah sengsara). Sudah tahu kalau bicara begitu akan ditangkap, tetapi dia masih bicara begitu juga. Di sini terlihat betapa pentingnya melihat motif dari orang teater, baik penulisnya maupun insan teater (pemain) yang lain.
Motif pertama dari teater memang politik. Artinya dari awal teater sudah sarat dengan muatan-muatan politik. Tetapi yang kemudian digali dari situ adalah perkembangan watak-watak dari berbagai peran di dalam masing-masing lakon. Di dalamnya terbentang secara total keseluruhan sejarah umat manusia. Upaya manusia untuk mencapai ketinggian, keluruhan, dan keagungan hidup, bukan keagungan diri.
Kalau diskursus atau wacana yang dibangun oleh para filsuf Yunani kuno akan ditampilkan sebagai lakon teater seperti cerita tentang Socrates yang harus minum racun, maka sangat menarik karena Socrates itu sendiri dengan suka rela meminum racun; ia yakin bahwa dengan minum racun kebenaran yang ia bawa tidak akan luntur. Watak atau keyakinan, yakni watak tegar yang timbul dari keyakinan seperti ini, adalah watak yang esensial dalam keterkaitan teater dengan politik. Artinya, bila orang teater masih memiliki keyakinan atas rangkaian kebenaran-kebenaran dalam kaitannya dengan politik bagaimana cara pemerintahan harus diselenggarakan, maka teater politiknya akan sehat dan baik, tapi kalau keyakinan itu sudah tidak ada, maka akan timbul dan berkembang suatu teater yang tidak politis, bahkan bisa sangat apolitis, atau menjadi apa yang di beberapa negara disebut “teater pemujaan kejayaan bangsa” terhadap masa lampau. Kita menyaksikan sejumlah pejuang kemerdekaan kita, menulis naskah-naskah yang saya tidak tahu apa pernah dipentaskan atau tidak, seperti Yamin dan Sanusi Pane. Semuanya hanya pemujaan (glorification) masa lampau, sehingga naskah-naskah itu menjadi dangkal karena tidak ada pengolahan apa pun tentang watak-watak manusia di dalamnya.
Hal ini masih untung, karena belum menjadi teater, tapi hanya menjadi pendahuluan teater, seperti halnya multi-media yang kita saksikan sekarang. Sang Saka Merah Putih diarak keliling panggung, tidak ada ceritanya, memang baik-baik karena saya juga senang nasionalisme, tetapi maksud saya kalau teater sudah menjadi seperti itu dan kita mengarah ke sana sangat memprihatinkan. Kalau PMP sudah dipahami betul oleh masyarakat kita, kalau 36 butir P4 itu sudah kita hayati, maka kita akan menjadi seperti itu, sementara korupsinya jalan terus dan hanya mengulang-ulang kebesaran bangsa kita di masa lampau. Politik yang seperti itu kan berabe.
Jadi saya melihat bahwa hubungan antara teater dengan politik itu adalah sesuatu yang esensial bagi teater itu sendiri. Karena teater berangkat dari tilikan atau pengamatan atas kehidupan sosial atau kehidupan masyarakat. Kalau tidak ada kehidupan masyarakat tidak perlu ada teater. Kalau hanya untuk mengglorifikasikan atau menyanyikan kejayaan cinta tarif lama, atau balada macam-macam folklor, menurut saya lebih baik tidak ada teater. Karena justru teater merupakan ruang pemeriksaan watak-watak manusia ketika dihadapkan kepada kekuasaan, apakah dia jadi penguasa ataukah menjadi hamba, menjadi seperti Pariyem. Meskipun sebenarnya Pariyem itu tidak mengandung lambang apa-apa, hanya lambang terjadinya dekadensi rakyat Jawa yang diam saja dijajah orang.
Maka kita melihat hubungan yang esensial antara teater dengan politik yang ternyata menentukan hidup-matinya teater. Dengan kata lain kalau teater mencoba lari dari isu-isu politik, maka kualitas teater akan menurun dengan sendirinya, karena dia berpindah atau beranjak dari tugas yang sebenarnya, yaitu melakukan tilikan atau melakukan pengamatan dan pemetaan atas cara-cara kehidupan masyarakat diselenggarakan. Dan ini esensinya adalah pemerintahan. Meskipun di dalamnya tidak perlu ada diskursus yang sifatnya ilmiah, filosofis, atau yang sifatnya sloganistik, karena semua itu bukan cara teater. Jadi harus melalui suatu pola yang menampilkan watak-watak manusia dengan segala kerumitannya yang optimal, ketika dihadapkan pada kehadiran kekuasaan.
Di sinilah kita melihat ada kelicikan dalam maqnes, umpamanya, bagaimana sekularisme itu muncul dalam tindakan politik, ketika Henry VIII dihadapkan kepada larangan gereja untuk kawin lagi dengan wanita, dan seterusnya. Sekarang kalau kita sudah tahu seperti itu, saya tidak bermaksud untuk membuat tipologi watak-watak manusia yang didalami oleh teater, atau oleh karya-karya teater, cukup untuk menyatakan bahwa itulah tugas teater mementaskan bagaimana manusia kala hidup bermasyarakat, dan itu lahannya adalah politik. Pertanyaannya adalah apakah teater kita sudah menjadi seperti itu? Memang kalau kita melihat beberapa karya yang menunjukkan sindiran-sindiran yang tajam, walaupun dengan cara yang kocak, terhadap cara-cara kekuasaan digunakan, kita bisa melihat bahwa teater di Indonesia sudah memenuhi fungsi politik yang sehat atau yang benar yaitu mengajukan kritik-kritik. Tetapi kalau kita mendalami lebih jauh, sebenarnya pengelolaan watak manusia yang terdalam dengan segala kerumitannya ketika dihadapkan kepada kekuasaan belum keluar. Mungkin karena medium yang digunakan adalah komedi, sehingga tidak tampak telanjang, bentuknya sindiran-sindiran. Tetapi akibatnya adalah pendangkalan garapan dalam tema-tema politik yang dimiliki atau yang digarap oleh teater kita. Sehingga kalau mau ditarik dari sekian karya-karya itu, inti akhirnya hanya satu, yaitu suatu tema-tema yang sloganistik; bahwa kekuasaan itu jelek, kekuasaan itu korup, kekuasaan itu membunuh kreativitas dan sebagainya. Kita hanya melakukan stereotyping terhadap kekuasaan.
Akibatnya, dengan menonton teater, kita tidak bisa mendalami bagaimana kekuasaan itu beroperasi, bisa jadi karena keterbatasan ruang gerak kita. Atau seperti diungkap Arief Budiman bahwa Putu Wijaya, misalnya, beranjak dari tema politik secara terbuka menjadi tema politik yang terselubung. Tetapi kalau kita terus-menerus hanya demikian, maka kita akan kehilangan tema politik yang sesungguhnya. Karena itu saya pikir dalam rangka merefleksikan kembali peran teater sebagai salah satu bentuk ekspresi kehidupan yang komunikatif terhadap masyarakat atau terhadap bangsa, maka perlulah kita benar-benar mencoba mencari upaya untuk mendalami dan menelaah secara seksama, pola-pola perilaku yang ditimbulkan oleh keruwetan watak manusia.
Tentu kita tidak bisa bicara tentang hal yang sekarang, karena yang demikian itu mengharuskan kembali ke belakang seperti yang telah dibuat dalam novel-novel kita. Kalau Saijah dan Adinda itu mengemukakan kondisi masa lampau yang harus ditelaah dengan sungguh-sungguh, bagaimana kekuasaan digunakan secara sangat menekan, hal itu juga harus ada pada teater. Burung-Burung Manyar jelas bercerita tentang seorang panglima perang yang sangat rumit wataknya, tetapi dari teater tidak ada usaha untuk menggali seperti itu. Satu-satunya galian yang menarik hanya pada ketopraknya Bung Jody, yaitu Bedah Kartosuro. Itu pun ternyata juga tidak konklusif, di mana tekanannya hanya pada kolosalnya saja, ceritanya menjadi sangat gampang, sangat steretotypis; seorang Tumenggung yang kurang ajar. Jadi sebenarnya ketoprak ini tidak berbicara apa-apa. Bagaimana pertikaian antara Pangeran Mangkubumi, Paku Buwono III dan Mungkunegoro I yang akhirnya berkesudahan pada lahirnya tiga kerajaan di bekas kerajaan Mataram pertama, itu sangat menarik. Tetapi tidak ada galian yang cukup, mungkin takut akik suluk Jawa. Saya kira akan sangat baik apabila ada orang yang menggali hal itu.
Kita tidak tahu pergulatan para orang kaya dengan Sultan Aceh. Kita tidak tahu apa-apa tentang Keraton Bugis. Bagaimana pertarungan-pertarungan itu harus dikaji ulang, kalau perlu banyak serat-serat yang menggambarkan pertentangan-pertentangan dan pertarungan-pertarungan politik yang tajam di masa lampau. Seperti Serat Cabolek tentang Haji Mutamaqqien yang dipanggil oleh Katib Anom ke Kartasura, untuk dimarahi habis-habisan karena berani mengajarkan ajaran Islam yang berbeda dengan versi keraton, bahkan diancam hukuman mati.
Kalau dikaji secara mendalam apa yang menimbulkan pertentangan-pertentangan itu sangat menarik. Karena saya bukan orang teater maka saya tidak dapat menuangkannya dalam bentuk lakon. Kebetulan Haji Mutamaqqien itu leluhur saya. Dia adalah orang Syi’ah yang berasal dari Kasan di kota Zabul. Tentu saja dia digebuk oleh Katib Anom yang merupakan establisment Sunni di sini, seperti halnya sekarang orang-orang Syi’ah dimarahi oleh MUI. Kalau semua itu bisa digali saya kira sangat menarik, karena yang seperti itulah yang sebenarnya politik yang paling politik.
Jadi kalau perlu teater kita untuk mendahului masalah-masalah itu, kalau perlu menengok ke belakang atau kembali ke masa lampau, atau secara horisontal di zaman ini kita bisa mencari tema-tema dari kejadian-kejadian yang belum lama berlangsung. Sangat menyedihkan bahwa tragedi pada tahun 1965 yang menimbulkan korban hampir satu juta orang dibunuh, yang sebagian tidak tahu mengapa harus dibunuh. Ada seorang mayor tentara bercerita kepada saya bahwa waktu itu ia harus membunuh dan menembaki PKI. Salah seorang yang akan dibunuh ditanya: “Kamu PKI ya?!” Orang itu menjawab: “Bukan Ndoro, saya BTI”. Dari situ terlihat bahwa ternyata orang tersebut tidak bisa membedakan apa itu PKI dan apa itu BTI. Kalau demikian, lalu apa ideologinya?
Kita sudah menghasilkan karya-karya besar di bidang sastra, di antaranya adalah novelnya Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia, yang timbul dari pengalaman, termasuk masa berdarah yang dia alami. Saya rasa orang teater pun harus mengingat itu, bukan hanya revolusi saja yang menggelegar. Pengalaman seseorang dihadapkan kepada kekuasaan, sehingga kekuasaan menindak begitu tegas, tepat dan benar adalah sesuatu yang sangat menarik. (Slogan ABRI itu kan tegas, tepat, dan benar. Tetapi biasanya hasilnya adalah tepat, tegas, dan salah, seperti kasus Nipah sekarang). Jadi menurut saya kejadian-kejadian itu bisa diolah dan dibuat bahan kajian sehingga menghasilkan lakon-lakon teater yang baik, dengan tema-tema yang politik.
Marilah kita melakukan penggalian lebih dalam dan tidak berhenti hanya pada kekenesan sindiran-sindiran saja. Itu hanya akan menghasilkan teater yang sloganistik atau teater yang demikian semu bahasannya, sehingga kehilangan watak politiknya.