Tuhan dan BajuNya
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Suatu waktu. Sufi ‘pembangkang’ Mansur Al-Hallaj melihat salah seorang murid atau pengikutnya memaki-maki seorang Nasrani. Caranya tidak benar, kata-katanya tidak sopan. Al-Hallaj segera menyimpang dari arah tempat kejadian itu, dan seharian itu ia tidak mau berbicara kepada sang pengikut kasar tersebut.
Sang pengikut lalu menjadi masgul hatinya. Maklum orang tasawwuf sangat bergantung kepada kerelaan gurunya, jika menginginkan keselamatan di akhirat kelak. Ditanyakannya kepada sang guru, apakah kesalahan yang telah diperbuatnya. Sang Sufi lalu menjawab, bahwa sikapnya yang memandang rendah orang beragama lain itulah yang membuat rasa tidak rela kepada sang pengikut. Ketahuilah, demikian kira-kira tutur Al-Hallaj kepada muridnya itu, bahwa Tuhan kamu dan Tuhan mereka adalah Tuhan yang satu itu juga. Yang berbeda hanyalah baju Tuhan, bukan Tuhannya sendiri. Kalau kau anggap baju Tuhan sama dengan Tuhan sendiri, maka adalah seorang musyrik, orang yang mempersekutukan Tuhan. Dus bukan seorang muslim lagi, karena telah meninggalkan tauhid, faham pengesaan Tuhan.
Sesuatu yang sangat sepele dan mudah difahami. Tetapi sejarah semua agama justru menunjukkan ketidaksanggupan manusia untuk memahami kenyataan sederhana tersebut. Kita sering terlalu sibuk dengan kebenaran ajaran sendiri, sehingga melupakan kehadiran Tuhan itu dalam kenyataannya yang paling sederhana. Tuhan dalam rumusan akhirnya mengalahkan Tuhan dalam kenyataan semula.
Bahwa Tuhan ada, bahwa la hanya satu, bahwa la menghendaki persaudaraan dan kemanusiaan dari kita semua, itu semuanya adalah pengertian dasar yang harus diambil dari kenyataan sederhana di atas. Kalau sebenar-benarnya seseorang beriman kepada Tuhan, tentulah ia tidak akan membenci seseorang karena perbedaan agama. Itu berarti ia mengutamakan baju Tuhan, yaitu rumusan agamanya sendiri tentang hakikat-Nya, lebih dari kenyataan adanya Tuhan itu sendiri.
Saya seorang muslim, karena ‘baju Tuhan’ yang saya gunakan adalah rumusan Islam tentang tauhid. Saya yakin akan kebenaran rumusan tersebut. Tetapi sudah tentu akan salah sekali jika dengan modal bertauhid itu lalu saya ejek dan saya rendahkan keyakinan orang lain akan hakikat Tuhan. Hak mereka untuk memperoleh kebenaran sama dengan hak saya. Dan terserah nantinya Tuhan sendiri yang menimbang, apakah saya yang akan dibenarkan atau bukan di hari akhirat kelak.
Saya serahkan sepenuhnya kepada Tuhan, karena la-lah tempat menyerahkan diri. Sungguh bijaksana Al-Hallaj dalam sikapnya yang membedakan antara Tuhan dan ‘baju Tuhan’ itu. Sayang ia tidak dimengerti oleh kaumnya, dan mati dibakar karena pembangkangannya terhadap ‘baju-baju Tuhan’ di jamannya. Tetapi saya yakin, ia sendiri tidak berkeberatan diperlakukan seperti itu. Bukankah dengan demikian menjadi terbukti kebenaran anggapannya bahwa baju lebih rendah nilainya dari sang Pemakainya? Bahwa ia akhirnya kembali kepada sang Pemakai baju dan menyatu dengan-Nya, lebih tinggi nilainya dari sekedar mencarikan pembenaran atas baju-baju yang ada, di situlah terletak kemenangan Al-Hallaj.