Tuhannya Cak Nur dan Naguib Alatas
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dr. Nurcholish Madjid pernah bikin heboh dengan konsepnya tentang Tuhan. La illaha Illallah. Menurut Cak Nur, harus dibaca sebagai ‘tiada tuhan selain Tuhan’. Tuhan dengan huruf t kecil adalah semua tuhan yang dikenal manusia, huruf T besar hanya diperuntukkan bagi Tuhannya kaum tauhid.
Menarik sekali. Ketika pandangan tersebut diperdebatkan dengan Prof. Naguib Alatas dari Malaysia. Sarjana orang Arab kelahiran Indonesia ini adalah salah satu dedengkot kajian Melayu di negeri berbangsa serumpun itu. Kajian Melayu di sana mau tidak mau menyangkut kajian Islam. Karya-karyanya mengenai para Sufi kita di masa lampau, seperti Raniri, Hamzah Fansuri, dan Abdur Ra’uf Singkel, jelas menunjukkan latar belakang pandangannya yang serba kesufian.
Cak Nur mendasarkan pandangannya pada kajian bahasa. Kata Allah berasal dari kata al-ilah. Menyebutkan Allah dengan Ilah tidak salah, karena Al-Quran sendiri menyebutkan ilahuna wa ilahukum wahid (Tuhan kami dan tuhan kalian adalah satu). Nah, kata ilah berarti tuhan. Karenanya, menggunakan Allah boleh dan menggunakan ilah (sebagai akar kata) juga boleh. Dengan demikian, la ilaha illallah bisa dibaca ‘tiada tuhan selain Allah’, boleh juga ‘tiada Tuhan selain Tuhan’. Secara semantik dua-duanya benar.
Prof. Alatas lain lagi pendapatnya. Walaupun secara semantik benar, namun penyebutan Allah memiliki nilai lebih yang tidak dimiliki kata al-ilah. Kata Allah bernilai lebih dari Tuhan.
Sebabnya, sederhana Allah adalah Tuhan yang hanya satu. Tidak mungkin ada tuhan lain dinamai, Allah. Ia adalah Tuhannya orang Islam semata-mata. Sedangkan al-ilah atau Tuhan bisa saja digunakan orang lain. Allah adalah Tuhan dalam keunikan-Nya, sedangkan Tuhan adalah tuhan dalam keumumannya.
Mengagumkan, kedua dedengkot bisa berbeda pendapat, namun sama-sama benar. Karena Prof. Alatas berbicara kepada ummat Islam tentang Tuhan mereka yang unik, yang harus diagungkan dan dibesarkan. Sedangkan Cak Nur berbicara kepada umat manusia, bahwa ada keumuman dalam pandangan ketuhanan agama Islam, yang dapat mereka dalami.
Kalau demikian, benarlah kata ungkapan ‘perbedaan pendapat para Imam adalah karunia bagi umat (ikhtilaful a-immah rahmatul ummah).