Tumbangnya Raksasa dan Munculnya Penantang
Ulasan Piala Dunia 1994
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kejutan terbesar dalam putaran perempat final Piala Dunia 1994 adalah tumbangnya raksasa sepakbola tim Jerman di tangan tim Bulgaria. Tim yang dipandang masuk ke putaran perempat final karena “kebetulan” menang dengan adu penalti atas Meksiko, ternyata memang benar-benar mampu menjadi “pembunuh raksasa”. Hal itu terbukti dari penampilannya dalam babak penyisihan Pra Piala Dunia 1994 untuk membunuh “raksasa sakit” Prancis. Tetapi tidak kurang pula indikator dari fungsinya itu adalah bagaimana pihak Jerman mempersiapkan pertandingannya melawan Bulgaria itu.
Posisi pertahanan diberi enam pemain sehingga formasinya menjadi 6-2-2 dengan menyisakan hanya ujung tombak Rudi Voeller dan Juergen Klinsmann di depan. Sedangkan di belakang, pelatih Berti Vogts meletakkan barisan pertahanan yang tangguh dalam diri Guido Brehme. Bahkan tipe gelandang menyerang seperti kapten kesebelasan Lothar Matthaeus dipasang untuk menjadi salah seorang “enam samurai” yang berjajar didepan penjaga gawang Bodo Illgner.
Pola 6-2-2 itu adalah “reaksi wajar” dari pelatih yang semula adalah seorang Libero, apabila merasakan adanya sesuatu yang mencemaskan dari pihak tim lawan. Tetapi reaksi itu justru merupakan “ramalan yang akan sungguh terjadi” (self fulfilling prophecy), karena sikap terlalu bertahan itu justru mengundang gelombang serangan yang ditakutkan dari tim lawan itu.
Hal itu terbukti ketika Bulgaria yang seharusnya bertahan terhadap “panzer” Jerman, malah terbalik menjadi penyerang yang secara rajin mencoba mengalirkan bola dari belakang ke depan. Tzanko Tzvetanov dan Zlatko Yankov tidak henti-hentinya mensuplai bola ke depan, begitu dapat mereka rebut dan tangan para penyerang-penyerang Jerman. Sedangkan Trifon Ivanov secara ketat tetap bertahan tanpa mengenal kompromi terhadap serangan-serangan lawan. Ditambah pula kenyataan, bahwa para pemain depan seperti Emil Kostadinov dan Yordan Letchkov selalu rajin naik turun dari depan ke belakang dan sebaliknya. Justru dengan formasi 3-4-3 Bulgaria mampu membangun pertahanan yang kokoh karena kerajinan para pemainnya itu, yang juga menjadi batang tubuh serangan yang dahsyat kalau sudah bergerak naik ke depan.
Kukuhnya pertahanan Bulgaria itu terbukti dari kegagalan tim Jerman untuk memperoleh gol. Selain penalti hasil akal-akalan di kotak penalti yang dilakukan oleh Juergen Klinsmann. Voeller tampak mandul dan beberapa kali menjadi sangat berbahaya hanya sudah berada pada posisi off–side. Kemandulan kedua ujung tombak kembar Jerman itu diakibatkan oleh sifat terlalu bertahannya tim raksasa itu. Dengan meletakkan enam pemain di belakang daya jelajah mereka tetap mampu menjangkau ujung terakhir pertahanan lawan. Tetapi dengan kehilangan tempo dan momentum karena harus merentangi jarak depan-belakang yang sangat lebar itu. Thomas Haesler yang dimanfaatkan secara penuh sebagai gelandang penyerang seringkali kehilangan dukungan dari kawan selini, seperti yang biasa diperolehnya. Ini mau tidak mau membuat umpan-umpannya menjadi agak terlambat disodorkan ke depan.
Kemampuan pelatih Dimitar Penev untuk merancang strategi bertahan total, yang dikombinasikan dengan serangan balik yang sangat cepat, menunjukkan kepiawaiannya dalam melihat potensi para pemain penyerang kelas dunia seperti Hristo Stoichkov dan Emil Kostadinov. Tidak tertinggal pula Yordan Letchkov, walaupun yang berbadan rapuh tetapi selalu mampu menembus pertahanan lawan. Juga tidak lupa pemanfaatan Stoichkov sebagai spesialis tendangan bebas dengan “tendangan pisangnya” yang menghasilkan gol pertama bagi Bulgaria.
Keberhasilan Penev memadukan serangan dan pertahanan dalam alur yang tidak terputus itulah yang menjadi rahasia kebolehan Bulgaria, sehingga mampu menjadi “pembantai raksasa” itu. Memang tidak mudah mula-mula, tetapi dengan banyaknya para pemain Eropa Tengah dan Eropa Timur berkiprah di klub-klub Eropa Selatan dan Eropa Barat, paling tidak Penev lalu memiliki materi pemain yang sudah matang. Ini pula yang menjadi gejala umum dari kesebelasan-kesebelasan Eropa timur dan lainnya, seperti Rumania, Rusia dan Yugoslavia.
Namun, tersedianya para pemain kelas satu yang dimatangkan oleh klub-klub tangguh di Eropa Barat dan Selatan, tidak berarti kerja pelatih seperti Penev itu menjadi mudah. Sebuah tim nasional bukanlah sekadar tempat berkumpulnya para pemain klub-klub terkemuka. Contohnya justru adalah Jerman Barat sendiri, dengan pemain sekian banyak klub besar yang tidak mudah dibangun menjadi sebuah ketajaman serangan oleh Berti Vogts. Kematangan bertanding di klub masing-masing justru membuat para pemain sulit dijaga kekompakan mereka sebagai tim. Kalaupun mereka bisa bermain serasi satu sama lain, biasanya diiringi dengan permainan yang tidak sepenuh hati.
Kesulitan yang dialami Jerman adalah mencari bibit-bibit unggul baru untuk menggantikan pemain-pemain top mereka. Dengan usia rata-rata di atas 25 tahun, Tim Panzer itu sudah tidak mampu lagi mengembangkan daya antisipasi yang tepat terhadap para penantang-penantangnya yang baru muncul di percaturan bola dunia, seperti terbukti dari hasil menyakitkan lawan Bulgaria itu.
Berjayanya para pemain Jerman di klub-klub kelas satu Eropa ternyata tidak menciptakan peluang cukup bagi para pengganti. Hal ini disebabkan begitu banyaknya para pemain calon muda dari Afrika, Amerika Latin dan Eropa Tengah-Timur yang bermain di klub-klub Jerman. Kendala itu ditambah pula dengan kembalinya para pemain senior ke klub-klub mereka semula, setelah usai bermain di luar negeri. Seperti halnya yang dijalani Lothar Matthaeus.
“Kematangan bertanding di klub masing-masing justru membuat para pemain sulit dijaga kekompakan mereka sebagai tim. Kalaupun mereka bisa bermain serasi satu sama lain, biasanya diiringi dengan permainan yang tidak sepenuh hati.”
Dilihat dari apa yang diuraikan di atas tampak nyata bahwa terbantainya raksasa Jerman oleh Bulgaria bukanlah sesuatu yang sederhana, dan juga bukannya hal yang terjadi secara kebetulan. Formasi 6-2-2 yang diandalkan menjadi reaksi mantan pemain bertahan seperti pelatih Berti Vogts, sebenarnya adalah sebuah pengakuan akan langkanya bintang-bintang baru yang muda, yang memiliki kematangan dan ketrampilan melangit. Bahwa Belanda punya Dennis Bergkamp. Brasil memiliki Bebeto dan Romario (bahkan sayap kanan Ricardo yang baru berusia 18 tahun) dan Afrika punya segudang pemain kelas dunia di bawah usia 25 tahun. Ini merupakan gambaran dari beratnya tantangan yang dihadapi Jerman dalam tahun-tahun mendatang. Tumbangnya raksasa Jerman itu, sesuai dengan hukum alam tentang ruang kosong yang selalu memerlukan pengisian, wajar saja kalau dibarengi oleh munculnya para pendatang baru yang sekaligus menjadi penantang, seperti Bulgaria dan Rumania dalam Piala Dunia 1994 ini.