Tuntasnya Tugas: Usahakan Demokratisasi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa waktu yang lalu KH. A. Mustofa Bisri (selanjutnya penulis singkat menjadi “Ambis”), mengirimkan surat terbuka yang dimuat oleh harian ini. Isinya adalah pernyataan, bahwa penulis telah berubah, tidak lagi seperti dahulu. Karena itu saudaraku Ambis merindukan “Mas Dur” yang dulu, yang sering datang ke rumahnya di Rembang dan menginap di sana. Implikasi tulisan itu adalah bahwa kekuasaan telah menjadikan penulis seperti sekarang, menjauh dari kawan-kawan dan saudara-saudaranya. Benarkah kesimpulan ini? Marilah kita uji dengan kenyataan-kenyataan yang ada di dalam kehidupan, bukannya dengan klaim dan sebagainya. Dengan cara demikian akan diperoleh gambaran yang obyektif, yang dapat dijadikan pegangan selanjutnya.
Mengapakah jawaban ini penulis kemukakan dalam sebuah kolom, bukannya dalam sebuah surat yang tidak perlu diketahui orang lain? Jawabannya adalah sebagai berikut: Pertama, karena Ambis memuat “Surat Terbuka” tersebut ke harian ini sehingga “terlanjur” dibaca orang. Kalau mereka tidak dapat jawaban, tentu mereka akan sangat terusik oleh hal itu.
Kedua, karena masalahnya menyangkut sesuatu yang fundamental bagi kehidupan kita sebagai warga NU (Nahdlatul Ulama) dengan sendirinya masalah yang dibicarakan tidak lagi boleh lagi ditutup-tutupi. Karena itulah penulis membuat kolom ini sebagai jawaban atas pemuatan surat di atas dalam harian ini.
Kitab suci Al-Qur’an menyatakan: “Jangan kalian campur-adukkan antara yang benar dan yang bathil, serta jangan kalian tutup-tutupi suatu persoalan, jika kalian tahu adanya masalah tersebut (Wala tal risu Al-Haqqa bi-al-bathil wala taktumu al-haq in kuntum ta’lamun)”. Atas dasar itu, penulis mengirimkan kolom ini untuk dimuat. Kalau dikatakan, bahwa penulis tidak pernah menelpon lagi Ambis, datang mengunjungi/menginap di rumahnya serta tidak pernah berkomunikasi langsung dengannya, itu adalah langkah-langkah yang memang penulis lakukan.
*****
Mengapakah demikian? Karena penulis takut mengusik “ketenangan” Ambis, yang selalu memandang politik itu kotor dan bidang cultural atau budaya lebih penting daripada bidang politik. Bahwa politik telah disalahgunakan di negeri kita selama ini (dan juga di negeri-negeri lain), memang benar. Tetapi tidaklah harus dihindari, ketika lalu politik menjadi “sapi perahan” untuk ambisi-ambisi pribadi para pemimpin. Justru dunia politik memerlukan orang-orang yang relatif bersih dan tidak mengejar kepentingan pribadi. Inilah esensi yang ditangkap oleh fiqh/hukum Islam dengan istilah Al-Maslahah Al-Ammah (kepentingan umum), yang justru menjadi tanggung jawab seorang pemimpin.
Itulah maka sang pemimpin harus memiliki keikhlasan yang tinggi, untuk tidak mementingkan diri sendiri. Untuk itu, ia harus memiliki elemen-elemen budaya yang kuat dan luhur dalam dirinya, di samping memiliki orientasi ekonomi yang benar. Orientasi seperti itu hanya mungkin dikembangkan oleh mereka yang tidak mementingkan diri sendiri, dalam artian bekerja mengarahkan perekonomian bagi kepentingan rakyat kecil yang banyak. Karena itu, seorang pemimpin politik yang mengenal dirinya, haruslah berbudaya yang luhur dan memiliki wawasan budaya yang luhur dan orientasi ekonomi kerakyatan yang kuat. Akan menjadi malapetaka bagi bangsa dan negara yang dipimpinnya jika ia tidak memiliki hal itu.
Contoh yang baik dalam hal ini adalah mendiang Gamal Abdul Nasser yang memimpin Mesir tahun 50 hingga 60-an. Orang yang sederhana, tidak pernah mendorong anak-anaknya untuk “mencapai sukses” dalam usaha masing-masing, dan berani melawan tatanan internasional yang merugikan bangsa dan negaranya. Namun, dia juga tidak mencapai hasil yang diharapkan karena percaturan internasional yang dihadapinya sangatlah ruwet dan sikapnya yang terlalu bersandar kepada birokrasi, akhirnya membuat Mesir menjadi negara yang hanya mementingkan bidang politik saja, dan mengabaikan faktor-faktor budaya dan ekonomi dalam perkembangan sosial yang dijalaninya.
*****
Dengan demikian, sikap saudaraku Ambis yang merendahkan politik hanya akan membuat bidang tersebut dikuasai oleh pemimpin-pemimpin “gadungan”, yang atas nama politik berbuat seenaknya saja. Ambis tidak menyadari, bahwa menjadi pemimpin politik haruslah berani menegakkan kejujuran dan obyektivitas, kalau perlu kepada kerabat sendiri. Ukuran-ukuran yang diberlakukan, haruslah diterapkan secara konsekuen termasuk kalau melibatkan sanak saudara sendiri.
Karena inilah, penulis sering dimarahi orang, dianggap terlalu berani “mendobrak” pihak-pihak keluarga ataupun orang lain yang ingin menguasai bidang apa pun tanpa pandang bulu. Kepentingan umumlah yang menjadi ukuran satu-satunya dalam pandangan penulis, dan inilah yang tidak atau belum dipahami oleh saudaraku Ambis.
Apakah karena hal itu, kemudian penulis harus menjadi “orang baik” yang lari dari kenyataan politik yang pahit dan lebih mementingkan bidang kultural. Seolah-olah saudaraku Ambis menuding penulis sebagai orang yang melawan arus dan tidak akan mungkin berhasil. Sikap melarikan diri dari kenyataan pahit inilah yang justru dijauhi oleh penulis, sebab penulis sudah berjanji kepada diri sendiri, untuk berusaha sekuat mungkin menegakkan obyektivitas politik di tengah-tengah kemelut yang demikian besar menghimpit bangsa kita saat ini.
Kalau saudaraku Ambis berupaya mendidik orang menjadi pemimpin politik yang baik di kemudian hari, mengapakah penulis tidak boleh merintis jalan ke arah itu sekarang juga, walaupun ia mungkin tidak berhasil mencapai tujuan demikian itu di bidang politik?
Karena itu gerak penulis di bidang politik saat ini, adalah berupaya menegakkan ukuran-ukuran obyektif di bidang tersebut. Mungkin ini berarti, penulis harus bertabrakan secara fisik dan non-fisik dengan teman-teman dekat dan sanak saudaranya sendiri. Harus berhadapan dengan kawan-kawan sendiri atau mungkin harus putus hubungan dengan orang-orang dekat yang tidak mengenalnya dalam tataran pemikiran ini. Dan ini berarti ia harus dijauhi orang-orang yang tidak mengerti sikapnya ini. Salah satu manifestasinya adalah sikap menutup diri terhadap teman-teman dan sanak keluarga yang tadinya dekat dengan diri penulis. Inilah resiko yang harus penulis tempuh. Gampang dikatakan tapi sulit dilaksanakan, bukan?