Ulama dan Demokratisasi di Indonesia

Sumber foto: https://www.nu.or.id/fragmen/pancasila-dan-kontribusi-nu-dalam-perumusannya-pS5vK

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kata “Ulama” memiliki arti bermacam-macam pada zaman yang berbeda-beda, juga oleh pihak yang berlain-lainan. Dalam bahasa Arab modern, kata “Ulama” digunakan untuk menunjuk kepada para ahli, seperti ulama ath-thib (ahli kedokteran, seorang dokter) dan Ulama an-nawawi (ahli nuklir). Di negara kita, hingga saat ini, kata tersebut digunakan untuk menunjukkan pada seorang ahli agama, dan di kalangan NU kata tersebut berarti seorang ahli agama yang memiliki atau memimpin pondok pesantren. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kata tersebut di lingkungan NU juga berarti para pemimpin pondok pesantren, baik yang menguasai ilmu-ilmu keagamaan maupun tidak.

Tulisan ini, menunjukkan pada dua hal terakhir, yaitu ahli ilmu-ilmu agama Islam maupun para pemimpin pondok pesantren. Kata itu, dalam kedua pengertian tersebut, juga dicakup oleh penggunaannya sebagai pengertian tentang para pemimpin organisasi. Secara keseluruhan, kata “Ulama” digunakan bagi para pemimpin NU dalam berbagai tingkatan, baik yang memiliki pengetahuan kegamaan yang mendalam maupun tidak. Terkadang, kata “Ulama” tidak disebutkan, tetapi mereka dimaksudkan ada dalam penggunaan istilah lain–seperti kata Forum Langitan.

Dengan demikian, kata “Ulama” yang dimaksudkan di sini adalah para pemimpin NU dari berbagai tingkatan pengetahuan agama, menjadi pengurus NU atau tidak, dari berbagai tingkatan kepemimpinan (pusat, daerah propinsi, dan daerah tingkat II).

Karena PKB didirikan oleh NU, para pemimpin partai tersebut juga dapat disebut sebagai Ulama. Dengan demikian, Ulama yang memperjuangkan demokratisasi adalah pengurus PKB atau NU dari berbagai tingkatan, juga dari tingkat kepengurusan yang berbeda-beda, dan juga termasuk yang tidak memiliki pondok pesantren, namun tunduk pada kemauan mereka. Hal ini perlu dikemukakan terlebih dahulu, untuk menjaga kesimpangsiuran dalam peristilahan. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Sidney John dalam artikel panjangnya, yang dimuat oleh majalah Indonesia dari Cornell University di Amerika Serikat, tentang istilah Umat Islam.

***

Dalam muktamar NU tahun 1935, di Banjarmasin, diajukan sebuah pertanyaan; wajibkah bagi kaum muslimin di kerajaan Hindia-Belanda (kita, saat itu dikenal dengan nama tersebut) mempertahankan negara itu, yang diperintah oleh orang-orang Belanda yang non-muslim? Jawab muktamar adalah wajib, karena kaum muslimin di negeri ini masih bebas melaksanakan ajaran agama mereka, dan juga karena di sini dulu terdapat kerajaan-kerajaan Islam. Jawaban ini dapat dilihat dalam tesis S-2 yang ditulis oleh Einar Sitompul dan menunjukkan pendapat mayoritas Ulama yang tidak menginginkan negara Islam.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, para pemimpin berbagai gerakan Islam memutuskan untuk menghapuskan Piagam Djakarta dari pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Abikusno Tjokrosuyoso (SI), Ki Bagus Hadikusumo dan KH A. Kahar Muzakir (Muhammadiyah), Ahmad Subardjo (Masyumi), KHA. Wahid Hasyim (NU), A.R. Baswedan (PAI) dan H. Agus Salim dari berbagai gerakan Islam mengambil keputusan itu bersama-sama dengan Soekarno dan Hatta. Dasar dari keputusan itu adalah apa yang dilaksanakan Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang–sehari sebelumnya, atas permintaan para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tidak beragama Islam. Mereka tidak bersedia menerima Piagam ini karena secara efektif akan menempatkan diri mereka dan para warga masyarakat lainnya yang tidak bergama Islam dalam kedudukan sebagai warga negara kelas dua. Dan, keputusan itu tidak pernah dibantah oleh para ulama fiqh (hukum fiqh), dengan demikian memperoleh pengesahan tidak langsung dan berlaku efektif.

Pada akhir tahun 1984, muktamar NU di Asembagus (Situbondo) telah memutuskan untuk menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi, menggantikan Islam. Dengan demikian, NU menggantikan asas Islam dengan asas Pancasila, padahal sebelumnya organisasi tersebut adalah organisasi yang secara resmi ditetapkan sebagi perkumpulan Islam. Dengan rumusan begitu, NU secara tidak resmi dapat dinyatakan sebagai; bukan sebagai organisasi Islam, dan secara resmi menjadi perkumpulan agama saja.

***

Hal yang sama juga menjadi tanda pernyataan diri (identitas) PKB. Sebagai sayap politik NU, PKB ditetapkan oleh Mukernas (2001) di Jakarata dan Muktamar Luar Biasa (MLB) dipercepat di Yogyakarta (2002) sebagai partai terbuka. Ia menjadi terbuka bagi kaum non-muslimin maupun bagi wanita– yang oleh penulis disebut PKB = NU plus.

Dengan terhentinya pengikisan KKN secara efektif oleh para pimpinan partai politik yang ada maka terhenti pula upaya demokratisasi di Indonesia. Tinggal PKB saja yang melaksanakan hal itu secara efektif, itu pun karena pimpinan PKB berani melaksanakannya, walaupun sering disebut berwatak otoriter–oleh mereka yang tidak setuju oleh tindakan tersebut.

Karena penulis sebagai pimpinan DPP PKB berani melakukan hal itu, dengan dukungan para Ulama NU terkemuka di berbagai tingkatan, dengan sendirinya PKB dan NU langsung menjadi kekuatan efektif untuk melakukan upaya demokratisasi di negara ini. Sudah tentu hal itu dilakukan bersama-sama dengan para aktivis lainnya di negeri kita, tetapi jelas sekali keikutsertaan Ulama–yang sering dianggap kolot dan tradisional. Perjuangan masih panjang, dan banyak sekali kemungkinan hal-hal yang akan terjadi di negeri ini, namun amanat menegakkan demokrasi di negeri kita jelas didukung para Ulama.

Kita ucapkan selamat kepada mereka, dan kepada proses demokratisasi di negeri ini. Dirgahayu !!!