Umat Bertanya Gus Dur Menjawab: Aplikasi konsep “Penyucian”
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Bab Kedua: Aplikasi konsep “Penyucian”
1. Zakat
(مسألة: ش): قال التِّرْمِذِيُّ الْحَكِيمُ وَغَيْرُهُ مِنَ الصُّوْفِيَّةِ: لَا زَكَاةَ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِم الصَّلَاةُ وَالسَّلامُ، إِذْ لَا مِلْكَ لَهُمْ مَعَ اللهِ تَعَالَى، لَكِنَّ الَّذِي نَقَلَهُ الجَهَابِدَةُ عَنِ النَّصِّ أَنَّهُمْ يَمْلِكُونَ كَغَيْرِهِمْ، بَلِ الظَّاهِرُ أَنَّ مِلْكَهُمْ أَتَمُّ وَأَعْظَمُ لِتَمَامِ كَمَالَاتِهِمْ فِي سَائِرِ الْأَحْوَالِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَلْزَمُ الْمَالِكَ الْمُضْطَرَّ بَذْلُ مَالِهِ لَهُ صلّى الله عليه وسلم ، وَأَنَّهُ يُفْدِي مُهْجَتَهُ بِمُهْجَتِهِ، فَإِذَا كَانَ أَوْلَى بِمِلْكِ كُلِّ مَالِكٍ مِنْ مَالِكِهِ إِذْ هُوَ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَكَيْفَ لَا يَمْلِكُ مَالَا مِلْكَ لِغَيْرِهِ عَلَيْهِ، إِذَا تَقَرَّرَ ذَلِكَ فَحُكْمُ الْأَنْبِيَاءِ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ حُكْمُ غَيْرِهِمْ، وَاسْتِنْبَاطُ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلامُ كَمَا حَكَاهُ اللهُ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ تعالى: {وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا}
Al-Tirmidzi dan tokoh-tokoh sufi lamnya menyatakan bahwa tiada kewajiban zakat bagi para Nabi karena tiada kepemilikan yang diwajibkan zakatnya oleh Allah. Sementara itu, para cendekiawan yang lain berkomentar berbeda, para nabi memiliki hak milik sebagaimana yang lain, bahkan kenyataannya kepemilikan mereka lebih sempurna dan agung karena kesempurnaan mereka pada aspek-aspek yang lain, bukankah seseorang, meski dalam keadaan darurat sekalipun, berkewajiban mengeluarkan harta yang dimilikinya demi Nabi SAW? Tidakkah ia juga berkewajiban mengorbankan nyawanya demi keselamatan nyawa Nabi SAW? Jika Nabi SAW lebih berhak atas sesuatu, bahkan melebihi hak pemiliknya sekalipun, sebab Nabi SAW lebih berhak atas orang-orang yang beriman melebihi hak mereka atas dirinya sendiri, maka jelas bahwa Nabi mempunyai hak kepemilikan atas sesuatu yang tidak ada dalam kepemilikan yang lain. Jika demikian, maka Nabi pun wajib mengeluarkan zakat sebagaimana yang lain. Penggalian hukum ini didasarkan pada firman Allah tentang cerita Nabi Isa AS.” Wa aushani bi al-shalati wa al-zakati ma dumtu hayya”
Yang jelas pendapat ini adalah berdasarkan kenyataan hidup yang panjang dan mencoba berdasarkan akal, jadi kalau para anbiyya saja wajib zakat apalagi kita.
(مسألة) تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي جَمِيعِ مَا يَمْلِكُهُ الْمُسْلِمُ الْحُرُّ مِمَّا وَجَبَتْ زَكَاتُهُ وَلَوْ مَدِيناً، وَحَتَّى فِي الدَّيْنِ الَّذِي عَلَى غَيْرِهِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ إِنْ كَانَ نَقْداً أَوْ ذَهَباً أَوْ فِضَّةً لا نَحْوَ مَاشِيَةٍ وَحَبٍّ، نَعَمْ لَوْ كَانَ لَهُ مَنَائِحُ عِندَ غَيْرِهِ عَارِيَةٌ وَجَبَتْ زَكَاتُها بِشَرْطِهَا، لِأَنَّهَا لَمْ تَخْرُجْ عَنْ مِلْكِهِ، بِخِلَافِ مَا لَوْ أَقَرَضَهُ إِيَّاهَا، ثُمَّ إِنْ تَمَكَّنَ مِنَ الْإِخْرَاجِ فِي الدَّيْنِ بِأَنْ كَانَ عَلَى مَلِيءٍ مُقِرٍّ أَوْ لَهُ عَلَيْهِ حُجَّةٌ أَخْرَجَ حَالاً، وَإِلَّا فَحَتَّى يَقْبِضَهُ فَيُخْرِجُ زَكَاةَ مَا مَضَى
Semua harta wajib zakat yang dimiliki oleh orang Islam merdeka harus dikeluarkan zakatnya, meskipun ia mempunyai hutang. Demikian pula, menurut pendapat yang dapat dijadikan sandaran, zakat wajib dikeluarkan dari harta yang sedang dihutang orang lain, bila la berupa uang, emas atau perak, bukan binatang ternak dan hasil bumi. Akan tetapi jika ia memiliki aset yang dipinjamkan kepada orang lain maka ia tetap harus mengeluarkan zakat, dengan persyaratan yang telah ditentukan, karena aset itu tetap miliknya. Berbeda apabila ja menjadikan asset tersebut sebagai pinjaman modal.
Dalam masalah piutang, jika dimungkinkan mengeluarkan zakat, dengan harapan akan dikembalikan secara penuh, meskipun dengan perjanjian baru, maka bagi si pemilik harta tetap dikenai kewajiban zakat pada masa jatuh tempo zakat. Namun apabila harta ternyata tidak dapat kembali pada masa jatuh tempo hutang maka kewajiban zakat dibayar ketika harta telah kembali.
Bab ini menjelaskan mengenai waktu pembayaran zakat, bab ini menunjukkan kepada kita betapa para Ulama’ sangat berhati-hati dalam masalah zakat karena persoalan zakat ini bukan hanya demi kepentigan muzakky tetapi juga orang lain, zakat merupakan kepentingan umum yaitu mulai mustahiqnya (yang menerima zakat) yang semuanya itu saling kait mengkait dan ini semua di cover oleh para Ulama melalui pendapat-pendapat mereka.
Ada satu hal yang tidak di bicarakan yaitu mengenai pungutan-pungutan diluar zakat. Bahwa Allah swt telah berfirman: maa afa a llahi ‘ala rosulihi min ahlil quro. Intinya harta yang dipungut dari orang-orang Yahudi di Madinah dan lainnya itu milik Allah serta untuk membiayai masjid, pengajian dan sebagainya, kepentingan Rasul untuk tabligh, untuk anak-anak yatim, ibnu sabil, sanak keluarga yang memerlukan dan orang yang berjalan dijalan Allah Semua ini terkandung maksud agar harta benda yang terkumpul itu jangan beredar dikalangan orang-orang kaya saja.
Inti ini di dalam Islam jarang sekali diberlakukan pada umat, justru yang di khususkan adalah orang-orang non-muslim padahal di dalam al-Qur’an tadi tidak ada pengkhususan. Jadi, umat Islam pun tetap kena khitob, supaya harta bisa dinikmati oleh orang-orang miskin. Inilah yang disebut dengan harta fai’.
[فَائِدَةُ] : قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ: لَوْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ مُسْتَغْرِقُ مَالَهُ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ غَنِياً إِذْ الغِنَى مَا يَفْضُلُ عَنِ الْحَاجَةِ.
Imam al-Ghazali berkata dalam Ihya “apabila seseorang memiliki hutang yang menghabiskan hartanya maka tidak kewajiban zakat baginya karena ia bukan termasuk orang yang kaya. Karena yang namanya kekayaan itu adalah apa yang telah lebih dari kebutuhan.
Bahwa BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang melibatkan pemerintah Indonesia sehingga meminjam uang sampai ratusan milyar sampai trilyunan ini banyak dilakukan oleh orang non-muslim tapi orang Islam juga ada. Maka ini juga harus kita bicarakan, sayangnya kita jarang ada kesadaran usaha seperti ini.
ASTRA ketika meminjam uang di APBN pada waktu itu dinyatakan punya uang lagi bukan punya harta, uang tadi untuk mendirikan perusahaan di Amerika. Perusahaan inilah yang akhirnya membeli ASTRA di Indonesia, ini adalah semacam akal-akalan dan ini tetap dibiarkan oleh sistem kita.
(مَسْأَلَة ي): يَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي إِخْرَاجِ الْفِطْرَةِ لَهُ وَلِمَمُوْنِهِ بَعْدَ دُخُولِ رَمَضَانَ وَكَذَا قَبْلَهُ إِن نَجَزَ الْوَكَالَةُ، كَوَكَّلْتُكَ فِي إِخْرَاجِهَا، وَلَا تُخْرِجُهَا إِلَّا فِي رَمَضَانَ لَا إِنْ عَلَّقَهَا كَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَقَدْ وَكَّلْتُكَ قَالَهُ ابْنُ حَجَرٍ وَأَبُوْ مُخْرِمَةٌ.
Diperkenankan mewakilkan pengeluaran zakat fitrah, baik yang wajib atas diri kita sendiri maupun atas orang yang nafkahnya ditanggung oleh kita, sebelum maupun setelah datangnya ramadhan, jika akad perwakilannya mutlak, seperti dalam ucapan ” aku wakilkan padamu untuk mengeluarkan zakat fitrahku, dan jangan kau keluarkan kecuali pada bulan ramadlan” Jika perjanjian perwakilan itu bersyarat seperti dalam ucapan ” jika bulan ramadlan telah tiba, ku jadikan kau wakilku (untuk mengeluarkan zakat)”, maka tidak diperkenankan mengeluarkannya selain pada bulan ramadhan.
Adalagi satu hal yang tidak dimuat yaitu soal penerima yaitu mustahiq zakat, nah sulitnya adalah mengenai status amil. Padahal amil itu tidak boleh menerima zakat.
(مَسْأَلَة : ب ج ك ): يَجُوزُ دَفْعُ الزَّكَاةُ لِلسُّلْطَانِ وَإِنْ كَانَ جَائِراً، أَوْ يَصْرِفُهَا فِي غَيْرِ مَصَارِفِهَا إِذَا أَخَذَهَا بِنِيَّةِ الزَّكَاةِ، وَقَدْ صَحَّتْ وِلَايَتُهُ، وَقَوِيَتْ شَوْكَتُهُ، وَانْعَقَدَتْ إِمَامَتُهُ بِاسْتِخْلَافٍ أَوْ بَيْعَةٍ أَوْ تَغَلُّبٍ، لَكِنِ التَّفْرِيقُ بِنَفْسِهِ أَوْ بِوَكِيْلِهِ أَوْلَى، مَا لَمْ يَطْلُبْهَا الْإِمَامُ مِنَ الْأَمْوَالِ الظَّاهِرَةِ وَهِيَ النَّعَمُ وَالْمُعْشَرَاتُ وَالْمَعْدِنُ وَإِلَّا وَجَبَ الدَّفْعُ إِلَيْهِ فَضْلاً عَنِ الْجَوَازِ وَإِنْ صَرَّحَ بِصَرْفِهَا فِي الْفِسْقِ
Boleh menyerahkan zakat pada pemerintah meskipun pemerintah itu dhalim dan menyeleweng, atau menasharrufkan zakat itu bukan pada tempatnya, jika ia mengambil zakat itu dengan niat mengambil zakat, dan ia sendiri adalah pemerintah yang berdaulat dan sah, baik karena dipilih oleh pemerintah sebelumnya, atau karena dibay’at, atau karena berhasil menggulingkan pemerintahan sebelumnya. Tetapi untuk menyerahkan zakat atas harta-harta ternak dan hasil bumi dengan tangannya sendiri atau di wakili orang lain lebih utama daripada menyerahkannya kepada lembaga pemerintahan atau yang berwenang selama tidak dituntut oleh pemerintah. Jika di tuntut, maka wajib menyerahkannya kepada pemerintah walaupun kenyataannya pemerintah dengan terang-terangan menggunakannya dalam kefasikan.
Masalah ini terkait dengan masalah yang lain, yaitu bagaimana hubungan warga negara dengan pemerintah dan hal ini penting sekali dan semestinya ada pembahasan khusus.
Para wali dahulu yaitu antara Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang membuat kendang dan membuat lagu Lir-ilir. Ini sebetulnya adalah masalah doktriner yang rumit sekali mengenai bagaimana hubungan warga negara dengan penguasa agar bias berjalan selaras.
Kita memang di perintah untuk taat pada Ulil Amri, tapi apakah ini berlaku juga untuk penguasa yang dzalim? Dan inilah yang menimbulkan masalah, serta mualif disini sangat condong pada pendapat yang umum.
Ada sebuah pendapat yang sangat populer yaitu: ‘Imamun faajirun sittuuna ‘aman khoirun min foudho sa’atan’ (imam yang dzalim 60 tahun masih lebih baik dengan anarki sesaat). Tetapi kita tidak pernah membicarakan apa itu foudho sa’atin dan imam fajir. Semestinya ini yang menjadi pembicaraan dan kalau saja ini tidak bisa menjadi pembicaraan terbuka, semestinya menggunakan pendekatan seperti yang dijalankan oleh Syeh Ahmad Mutamakkın. Bicarakan saja sebagai alternatif dan ini disebut strategi budaya yaitu tanpa menyebut penguasanya mana, tapi penguasa yang baik itu seharusnya adalah seperti kriteria-kriteria ini dan sebagainya. Mengenal mampu atau tidaknya kita melihat hal ini, saya tidak akan membahas lebih jauh.
Banyak orang yang membicarakan ini diluar struktur atau sistem yang ada, seperti di Timur Tengah yang dimunculkan oleh Ihwanul Muslimin yang jauh dalam tanah lalu Ihwanul Musliminnya tidak cukup kuat untuk menuding pemerintah. Mereka kemudian menganggap bahwa semua pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat mereka dituding sebagai buatan imperialis, dan inilah contoh orang yang melepaskan diri dari tanggung jawab dan ada yang lebih buruk lagi seperti FPI dan sejenisnya yang selalu mengambil tindakan sendiri.
وَأَمَّا الَّذِي يَلْزَمُهُ التَّجَّارُ كُلُّ سَنَةٍ مِنَ الْخَرْسِ، فَإِنْ أَعْطَوْهُ إِيَّاهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ لَا نَحْوِ خَوْفٍ جَازَ لَهُ أَخْذُهُ، وَإِلَّا فَلَا يَمْلِكُهُ وَلَا التَّصَرُّفَ فِيْهِ وَلَا تَبْرَأُ بِهِ ذِمَّتُهُمْ عَنِ الزَّكَاةِ وَإِنْ نَوَوْهَا بِهِ.
Adapun biaya yang wajib dikeluarkan oleh para pedagang dengan rela maka pemerintah boleh mengambilnya. Tetapi jika bukan karena kerelaan maka pemerintah tidak boleh memiliki dan mendistribusikannya. Kendati atas kerelaan dan bahkan sekalipun di niatkan untuk zakat, tetap saja tidak bisa dihukumi sebagai zakat.
Di sini kita memang kesulitan karena ada hal yang kelihatannya zakat tetapi ternyata tidak, artinya penghasilan-penghasilan dari usaha kita yang tidak mencapai nishob ini hukumnnya sama seperti zakat tetapi tidak zakat dan hal semacam ini kita sama sekali tidak membicarakannya, jadi kalau penghasilannya kurang dari ukuran zakat itu hanya sekedar dianggap pembayaran begitu saja.
Mengenai pembayaran apa tidak di hiraukan, ini adalah akibat dari keengganan kita untuk berbicara dengan baik. Dan masalah tersebut berkembang dari tradisi masa lampau sementara kiai-kiai kita cuma di akalin saja oleh para pedagang dengan cara harta mereka di pecah-pecah menjadi kecil supaya tidak mengeluarkan zakat, dan hal semacam ini adalah cara-cara mereka untuk melarikan diri dari kewajiban zakat.
Hal ini kenyataanya terjadi maka kita harus berhati-hati, bahkan kita perlu mengambi serta mengembangkan istilah Scott (seorang sosiolog) yang menyatakan bahwa Asia Tenggara dulunya merupakan tempat untuk mengembangkan moralitas petani. Seperti di Vietnam, sampai pada sekitar tahun 1930-an kepemilikan tanah di Negara ini tidak ada dasar moralnya sama sekali, sehingga para petani pada akhirnya membuat aturan-aturan moral tersendiri karena mereka terkungkung oleh aturan-aturan yang tidak bermoral. Hal-hal yang seperti ini di kalangan kita belum ada yang membicarakan. Oleh karena itu kita masih perlu banyak mengadakan pembicaraan-pembiacaraan yang sifatnya lebih mendalam.
2. Pemberian Sukarela (shodaqoh at Tathawwu’)
[فائدة]: صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ سُنَةٌ مُؤَكَّدَةٌ لِلْأَحَادِيثِ الشَّهِيرَةِ وَقَدْ تَحْرُمُ، كَأَن ظَنَّ آخِذَهَا يَصْرِفُهُ فِي مَعْصِيَةٍ، وَقَدْ تَجِبُ كَأَنْ وَجَدَ مُضْطَرًّا وَمَعَهُ مَا يُطْعِمُهُ لَكِنْ بِبَدَلِهِ، قَالَ فِي التُّحْفَةِ : وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَجِبُ الْبَذْلُ هُنَا مَا لَمْ يَحْتَجُهُ حَالًا وَلَوْ عَلَى فَقِيْرٍ لَكِنْ بِالْبَذْلِ.
Sedekah sunnah sangat dianjurkan berdasarkan hadits yang sudah populer. Sedekah sunnah terkadang haram sebagimana jika bersedekah kepada orang yang dinilai akan melakukan maksiat dalam satu tempo. Sedekah sunnah bisa menjadi wajib seperti menjumpai seseorang dalam keadaan darurat dan dia mempunyai makanan yang bisa diberikan. Di sebutkan dalam kitab al-Tuhfah bahwa, “diwajibkan menyerahkan harta yang dimilikinya selagi tidak dibutuhkan pada masa itu.
Di sini lagi-lagi terdapat perbedaan pandangan fuqaha dan disini betapa beratnya shodaqoh itu, nah di mata agama itu ada prioritas kalau banyak uang itu harus di zakati walaupun dia itu pas-pasan. Disini kita bisa melihat bahwa masalah ini adalah masalah mengeluarakan harta benda, bahwa infaq al amwal itu merupakan hal besar di dalam Islam dan al-Qur’an pun mengatan: “wajaahiduu bi amwaalikum wa anfusikum” (berjihadlah kamu sekalian dengan harta dan jiwa).
[فائدة]: ذَكَرَ السُّيُوطِي فِي خُمَاسِيْهِ أَنَّ ثَوَابَ الصَّدَقَةِ خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ: وَاحِدَةٌ بِعَشْرَةٍ وَهِيَ عَلَى صَحِيحِ الْجِسْمِ، وَوَاحِدَةٌ بِتِسْعِينَ وَهِيَ عَلَى الْأَعْمَى وَالْمُبْتَلَى، وَوَاحِدَةٌ بِتِسْعِمِائَةٍ وَهِيَ عَلَى ذِي قَرَابَةٍ مُحْتَاجٍ، وَوَاحِدَةٌ بِمِائَةِ أَلْفٍ وَهِيَ عَلَى الْأَبَوَيْنِ، وَوَاحِدَةٌ بِتِسْعِمِائَةٍ أَلْفٍ وَهِيَ عَلَى عَالِمٍ أَوْ فَقِيْهٍ.
Al-Suyuti berkata dalam Khumasiyah-nya,”pahala sedekah ada lima macam pertama, satu digantikan sepuluh yakni sedekah pada orang sehat jasmani, kedua, satu digantikan sembilan puluh sembilan yakni sedekah kepada orang buta dan orang yang tertimpa musibah, ketiga, satu diganti ratus yakni sedekah kepada kerabat yang membutuhkon, keempat, satu diganti seratus ribu yakni sedekah kepada kedua orang tua, dan kelima, satu diganti sembilan ratus ribu yakni sedekah kepada orang alim yang fakih.
Sebagaimana yang telah saya katakan tadi bahwa zakat mempunyai arti yang sangat penting di dalam Islam. Oleh karena itu tidak boleh di buat main-main. Salah satu inti dari ajaran Islam adalah agar pemeluknya jangan sampai tidak mengeluarkan harta benda sama sekali.
Pada saat sekarang ini sepertinya zakat itu di nomor sekian-kan dan seolah-olah tidak mempunyai prioritas apa-apa. Tujuandalam pembahasan ini adalah agar zakat dapat di koordinir dengan baik. Sebab akhir-akhir ini ada pandangan baru untuk mengembangkan zakat dengan cara boleh diberikan dalam bentuk barang modal. Ini semua dengan tujuan supaya zakat dijadikan modal usaha dan tidak dihabiskan begitu saja.
[فائدة]: هَلِ الْأَفْضَلُ كَسْبُ الْمَالِ وَصَرْفُهُ لِلْمُسْتَحِقَّيْنَ أَوِ الْإِنْقِطَاعُ لِلْعِبَادَةِ؟ فِيْهِ خِلافٌ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَجْتَهِدَ وَيَزِنَ الْخَيْرَ بِالشَّرِّ، وَيَفْعَلُ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ نُورُ الْعِلْمِ، دُونَ طَبْعِهِ وَمَا يَجِدُهُ أَخَفُّ عَلَى نَفْسِهِ فَهُوَ فِي الْغَائِبِ أَضَرُّ عَلَيْهِ.
Manakah yang lebih utama antara mencari harta untuk disedekahkan kepada yang berhak, atau hanya semata-mata beribadah kepada Allah. Di sini terdapat perbedaan, hendaknya orang tersebut menimbang-nimbang dampak positif dan negative dan bertindak sesuai dengan kapasitas pengetahuannya, mengesampingkan tabiat dan wataknya yang selalu menginginkan lebih ringan, padahal dalam hakikatnya membahayakan dirinya.
Di sini adalah zakat dalam artı sosial artinya seseorang mempunyai porsi untuk merubah keadaan masyarakat di sekitarnya, Jadi zakat juga mempunyai tujuan untuk merubah keadaan masyarakat.
3. Puasa
[فائدة] : وَرَدَ عَنْهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ قَالَ: «رَجَبُ شَهْرُ اللهِ، وَشَعْبَانُ شَهْرِي، وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِي» وَمَعْنَاهُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَتَجَلَّى عَلَى عِبَادِهِ بِالْعَفْوِ وَالْغُفْرَانِ فِي رَجَبَ مِنْ غَيْرِ تَوَسُّطِ شَفَاعَةِ أَحَدٍ، وَفِي شَعْبَانَ بِتَوَسُّ هو لاطِ شَفَاعَتِهِ، وَفِي رَمَضَانَ بِوَاسِطَةِ شَفَاعَةِ الْأُمَّةِ
Diriwayatkan dari rasulallah SAW, beliau berkata, “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban merupakan bulanku, sedangkan Ramadhan bulan umatku” Ini artinya Allah menampakkan diri-Nya pada hamba-hamba-Nya dengan pengampunan pada bulan Rajab tanpa perantara. Dalam bulan Sya’ban dengan perantara Nabi Muhammad SAW dan pada bulan Ramadhan dengan perantara umatnya.
Mengenai keterangan ini, haditsnya tidak jelas entah shahih atau tidak. Ada hadits yang mengatakan (syahru romadhan awwaluhu rohmatun wa ausatuhu maghfirotun wa akhiruhu itqun min an-nar…). Sabda Nabi ini menjelaskan tentang keutamaan bulan Ramadhan bahwa awal bulan merupakan rahmat Allah, sementara pada pertengahan Ramadhan adalah ampunan dari-Nya, sedangkan akhir bulan merupakan pembebasan umat Islam dari api neraka.
(مسألة: ي): إِذَا ثَبَتَ الْهِلَالُ بِبَلَدٍ عَمَّ الْحُكْمُ جَمِيعَ الْبُلْدَانِ الَّتِي تَحْتَ حُكْمِ حَاكِمِ بَلَدِ الرُّؤْيَةِ وَإِنْ تَبَاعَدَتْ إِنِ اتَّحَدَتْ الْمَطَالِعُ، وَإِلَّا لَمْ يَجِبْ صَوْمٌ وَلَا فِطْرٌ مُطلَقاً وَإِنِ اتَّحَدَ الْحَاكِمُ. وَلَوْ اتَّفَقَ الْمَطْلَعُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْحَاكِمِ وِلَايَةٌ لَمْ يَجِبْ إِلَّا عَلَى مَنْ وَقَعَ فِي قَلْبِهِ صِدْقُ الْحَاكِمِ، وَيَجِبُ أَيْضاً بِبُلُوغِ الْخَبَرِ بِالرُّؤْيَةِ فِي حَقِّ مَنْ بَلَغَهُ مُتَوَاتِراً أَوْ مُسْتَفِيْضاً، وَالتَّوَاتُرُ مَا أَخْبَرَ بِهِ جَمْعٌ يَمْتَنِعُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ أَمْرٍ مَحْسُوسٍ، وَلَا يُشْتَرَطُ إِسْلَامُهُمْ ، وَالْمُسْتَفِيضُ مَا شَاعَ بَيْنَ النَّاسِ مُسْتَنِدًا لِأَصْلٍ.
Ketika hilal tampak pada satu tempat, maka hukumnya menyeluruh pada semua wilayah yang ada di bawah satu pemerintahan, selama masih dalam satu mathla’ (waktu terbit). Jika tidak dalam satu mathla’ lagi, maka tidak hukumnya tidak menyeluruh (khusus di wilayah terbitnya hilal saja). Apabila dalam satu kekuasaan pemerintah yang satu mathla, tetapi hakim daerah tidak memiliki otoritas, maka tidak wajib kecuali orang yang mempercayai kebenaran pemerintah.
Puasa juga wajib bagi masyarakat dengan adanya kabar tentang terlihatnya hilal, bila kabar itu mencapai batas mutawatir atau mustafiydi. Mutawatir artinya kabar tentang sesuatu yang indrawi yang dibawa oleh sekian banyak orang yang, karena banyaknya, tidak masuk akal bila mereka berbohong Dalam masalah ini tidak diisyaratkan keislaman dan keadilan pembawa kabar tersebut. Sedangkan mustafiydi maksudnya adalah kabar yang tersebar di masyarakat disertai dengan bukti.
Di sini kelihatan bahwa jauh sebelun ini kitab-kitab telah membahas tentang kemungkinan orang yang menyampaikan ru’yah adalah orang non-muslim. Terbukti pada masa sekarang ini yang tampak pada televisi, radio dan lain-lain. Tidak semua yang memiliki itu adalah orang-orang muslim.
4. Haji
(فَائِدَةً): قَالَ الْخَوَّاصُ رَحِمَهُ اللهُ مِنْ عَلَامَاتِ قَبُوْلِ حَجِّ الْعَبْدِ وَأَنَّهُ خَلَعَ عَلَيْهِ خَلْعَةَ الرِّضَا عَنْهُ أَنَّهُ يَرْجِعُ مِنَ الْحَجِّ وَهُوَ مُتَخَلِّقٌ بِالْأَخْلَاقِ الْمُحَمَّدِيَّةِ، لا يَكَادُ يَقَعُ فِي ذَنْبٍ، وَلَا يَرَى نَفْسَهُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِ اللهِ، وَلَا يُزَاحِمُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا حَتَّى يَمُوْتَ، وَعَلَامَةُ عَدَمِ قَبُوْلِ حَجِّهِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ قَبْلَ الْحَجِّ، كَمَا أَنَّ مِنْ عَلَامَاتِ مَقْتِهِ أَنْ يَرْجِعَ وَهُوَ يَرَى أَنَّ مِثْلَ حَجَّهِ أَوْلَى بِالْقَبُوْلِ مِنْ حَجِّ غَيْرِهِ ، لِمَا وَقَعَ فِيْهِ مِنَ الْكَمَالِ فِي تَأْدِيَةِ الْمَنَاسِكِ وَخُرُوجِهِ فِيْهَا مِنْ خِلَافِ الْعُلَمَاءِ، لَكِنْ لَا يُدْرِكُ هَذَا الْمَقْتَ إِلَّا أَهْلُ الْكَشْفِ
Ibrahim al-Khowash berkata, ciri-ciri mabrurnyo haji seseorang dan bahwa ia telah diridlai Tuhan adalah sekembalinya darı haji berprilaku seperti prilaku Nabi, bahkan hampir tidak jatuh ke lembah dosa. Tidak sombong dan tidak menganggap dirinya lebih baik dari yang lain, tidak mengagungkan keduniaan hingga akhir hayatnya Adapun ciri-ciri ditolaknya haji adalah kepulangannya dari haji tidak mengubah prilakunya seperti saat sebelum hajinya, sedangkan ciri-ciri kebencian Tuhan padanya adalah ia menganggap hajinya lebih pantas diterima ketimbang haji orang lain, karena merasa pelaksanaan hajinya lebih sempurna dan sama sekali tidak diperselisihkan oleh para ulama Namun, kebencian Tuhan ini hanya diketahui oleh ahli kasf.
Di sini membicarakan tentang haji yang ideal sedangkan kebanyakan haji-haji kita itu tidak ideal apalagi yang dipakai berangkat itu adalah uang korupsi. Makanya apa yang ada di kitab ini adalah ajaran ahlaqi tentang haji sedangkan haji sendiri bisa di lihat dari segi yang lain yaitu sudah menjalankan syarat rukunnya atau belum, jadi tidak semua haji itu mabrur.
[فائدة]: مِنْ شُرُوطِ الْاِسْتِطَاعَةِ كَوْنُ الْمَالِ فَاضِلاً عَنْ مُؤْنَةِ مَنْ عَلَيْهِ مُؤْنَتُهُمْ، وَشَمِلَ ذَلِكَ أَهْلَ الضَّرُورَاتِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَوْ مِنْ غَيْرِ أَقَارِبِهِ، لِمَا ذَكَرُوهُ فِي السَّيْرِ أَنْ دَفْعَ ضَرُورَاتِ الْمُسْلِمِينَ بِإِطْعَامِ جَائِعٍ وَكِسْوَةِ عَارٍ وَنَحْوِهِمَا فَرْضٌ عَلَى مَنْ مَلَكَ أَكْثَرَ مِنْ كِفَايَةِ سَنَةٍ، وَقَدْ أَهْمَلَ هَذَا غَالِبُ النَّاسِ حَتَّى مَنْ يَنْتَمِي إِلَى الصَّلاحِ، وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ السَّفَرُ حَتَّى يَتْرُكَ لِمَمُوْنِهِ قُوْتَهُ مُدَّةَ ذَهَابِهِ وإِيَابِهِ.
Di antara syarat mampu naik haji adalah harta yang akan dipakai naik haji adalah kelebihan harta dari biaya wajib yang harus dikeluarkan untuk memberi nafkah. Ini juga mencakup orang-orang yang sedang dalam keadaan darurat, meskipun bukan termasuk tanggungannya. Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa menghilangkan kesengsaraan sesama orang-orang Islam baik dengan memberi makanan terhadap orang yang kelaparan atau memberi pakaian kepada mereka yang tak punya pakaian adalah kewajiban orang-orang yang memiliki harta melebihi cadangan setahun. Kebanyakan manusia sekarang lalai dalam masalah ini, bahkan mereka yang tergolong orang-orang saleh Seseorang tidak boleh pergi haji sebelum ia meninggalkan biaya hidup bagi yang ditinggalkan semenjak dari keberangkatannya hingga kembali.
Ini menunjukkan aspek sosial darı pada ibadah haji artinya kapan seseorang wajib melaksanakan ibadah ini, bila ada orang yang tidak mampu memberi nafkah atau bekal atas keluarga yang ia tinggalkan maka ia tidak wajib haji. Sebaliknya jika sudah ada jatah untuk keluarga yang ditinggalkan baru kemudian ia wajib haji.
Secara psikologis mengenai kewajiban haji ini tentunya tidak sama antara satu individu dengan yang lainnya. Dalam pembahasan ini tidak dijelaskan secara terperinci mengenai masalah kewajiban haji.
Jakarta 05 Oktober 2005/1 Ramadhan 1926
Pesantren Ciganjur