Umat Islam, di Manakah Alamatmu?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa tahun yang lalu, Sydney Jones menulis sebuah artikel dalam jurnal ilmiah Indonesia, terbitan Univeritas Cornell, di New York. Dalam tulisan itu ia menyebutkan beberapa kali istilah “umat Islam”, yang sebenarnya telah diartikan berbeda-beda oleh para ahli yang berlainan lebih dari 100 tahun lamanya. Penulis juga senantiasa menyatakan, paling tidak kata itu memiliki dua buah arti penting. Di satu pihak maksud dari kata itu adalah semua orang yang beragama Islam, jadi istilah umat Islam sama dengan istilah kaum Muslimin. Setiap orang yang memberikan kesaksian dan berkeyakinan bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah dan Nabi Muhammad adalah pesuruh-Nya” ini sudah termasuk kaum Muslimin. Dalam pengertian umum itu umat Islam berarti setiap orang Muslim dalam sebuah negara. Arti kedua, adalah orang yang mendukung sebuah gerakan keagamaan Islam, seperti umat Muhammadiyah, NU, dan Persis.
Berdasar maksud dua pengertian ini, maka ketika ada klaim misalnya bahwa umat Islam menolak perjudian. Maka sejak hal itu akan dijadikan sebuah ketentuan formal, Rancangan Undang-Undang (RUU)nya dibawa ke DPR dan kemudian diundangkan atas dukungan semua anggotanya, termasuk kaum non-Muslim. Memang undang-undang tersebut dibuat atas inisiatif kaum Muslimin -paling tidak para pemimpin mereka. Namun dengan demikian telah terjadi perpindahan dan UU tersebut menjadi “milik bersama” dengan mereka yang tidak menjadi warga berbagai gerakan Islam dan juga non-Muslim. Banyak produk-produk hukum formal seperti ini, yang telah dihasilkan di negeri kita.
Dengan mengerti keadaan sebenarnya yang timbul dari kenyataan historis seperti itu, kita dapat melihat bagaimana pentingnya memahami aspirasi sebuah kaum, dan dapat menghindari kerugian yang mungkin ditimbulkan dalam kehidupan kaum Muslimin bangsa kita. Karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk membedakan arti kata umat Islam yang dimaksud berdasarkan penggunaannya.
Ketika ada klaim bahwa mayoritas “umat Islam” menginginkan negara agama, kita serta-merta dapat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah itu adalah para warga berbagai gerakan Islam yang ada di negeri ini. Namun hal itu pun belum tentu benar demikian adanya, karena seluruh bukti-bukti historis justru menunjukkan keadaan sebaliknya yaitu bahwa gagasan tersebut hanyalah pendapat minoritas.
*****
Klaim partai-partai politik yang menamakan diri “Partai Islam” yang dalam kenyataan tidak mewakili pendapat mayoritas bangsa ini, terjadi dalam sidang-sidang Dewan Konstituante tahun 1956-1959 dan dalam sidang-sidang MPR beberapa tahun terakhir ini . Usulan agar supaya konstitusi kita mencantumkan Piagam Jakarta ternyata ditolak. Penolakan ini menunjukkan bahwa pihak-pihak yang mengambil inisiatif untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam konstitusi kita, hanyalah kelompok minoritas. Namun masalahnya adalah walaupun mereka adalah golongan minoritas, namun berjumlah cukup signifikan yaitu antara 25 hingga 45% suara dalam Dewan Konstituante dan MPR. Walaupun kedua lembaga itu telah dan akan dibubarkan, namun hal ini masih juga menjadi sesuatu yang dapat berbuntut panjang.
Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas, hanyalah melalui pemilihan umum. Jika partai politik yang mengklaim pembawa aspirasi umat Islam ini menang, dengan sendirinya masalah lama ini akan muncul kembali dalam perdebatan politik kita di masa yang akan datang. Tapi kalau partai-partai politik yang “bukan” partai politik Islam yang memenangkan lebih dari 70% suara, maka dapat diharapkan untuk selanjutnya masalah ini selesai dengan sendirinya. Lagi-lagi masalahnya berkisar pada istilah “umat Islam”. Karena itu untuk sementara waktu kita masih harus bersabar menunggu datangnya sang waktu bagi penyelenggaraan pemilu tersebut.
Berkaitan dengan itu ada lagi masalahnya, yaitu keragu-raguan cukup besar di kalangan warga masyarakat kita: Benarkah pemilu akan terselenggara tepat pada waktunya? Karena kasus kematian Marimutu Manimaren yang diliputi kerahasiaan dan peledakan bom yang berkekuatan sangat besar di Hotel Marriott telah menimbulkan keragu-raguan, apakah itu tidak disengaja untuk menggagalkan pemilu?
Karenanya, pemerintah (dan ini berarti juga aparat-aparatnya yang penting seperti Polri, BIN, dan sebagainya) harus segera berbicara tentang hal ini. Sikap untuk menganggap hal ini tidak penting justru akan memperpanjang kekhawatiran masyarakat. Hanya dengan kejelasan persoalan, bukan dengan langkah sangat cepat yang hanya untuk “mendinginkan keadaan”, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dapat dijaga.
Banyaknya kejadian yang ditimbulkan oleh para teroris, kasus yang tidak dapat diterangkan asal-usulnya dan jawaban yang tidak bertanggung jawab dari aparat pemerintah akhir-akhir ini, bagaimanapun juga akan membuat kepercayaan masyarakat berkurang. Kalau kepercayaan ini habis sama sekali, maka tentulah para penguasa pemerintahan akan dihadapkan kepada sesuatu yang lebih besar: revolusi sosial atau sering juga dinamakan konflik horizontal. Tanda-tanda pertamanya sudah terjadi secara meluas di negeri kita saat ini, dalam bentuk penjarahan-penjarahan oleh rakyat.
Karena itulah pemerintah saat ini sangat menjaga kepercayaan masyarakat, namun sangat disayangkan semakin menjadi-jadinya KKN di segala bidang, -betapa kecilnya sekalipun- telah mengurangi kepercayaan itu. Salah satu bentuknya adalah meluasnya anggapan keadaan di era Soeharto jauh lebih baik dari era sekarang ini.
Kalau masyarakat sampai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dengan sendirinya pendekatan politis kepada umat Islam semakin efektif, hal ini dapat dilihat dari semakin suburnya “partai politik Islam”; hal yang tentu tidak diharapkan oleh para pemimpin negara kita saat ini. Jadi, tidak jalan lain bagi kita selain memfungsikan Islam secara kultural/budaya, untuk menjamin agar supaya “Islam politik” tidak tumbuh lagi dan merusak pohon konstitusi kita.
*****
Dari apa yang digambarkan di atas, dengan sendirinya memunculkan kebutuhan untuk mengetahui definisi “umat Islam” yang sebenarnya dan mengetahui juga secara tepat konfigurasi keadaan di luar anggapan yang telah ada sering sangat ditentukan oleh perkembangan politik.
Baru-baru ini, penulis diwawancarai oleh radio Inggris, BBC World Service penulis ditanya apakah lagu yang disukai. Ketika penulis menyatakan lagu Me and Bobby McGee, pewawancara pertelpon itu sangat terkejut. Tahukah Anda siapa penyanyinya? jawab penulis, tahu ia Janis Joplin mati karena overdosis narkoba pada usia 24 tahun. Lagu Me and Bobby Mc Gee menceritakan seorang perempuan hippy yang mengikuti seorang masinis lokomotif di sel selama 3 hari sepanjang anak benua A.S dan tidur dengannya di kota-kota persinggahan tanpa perkawinan. Ini jelas melanggar ajaran agama, tetapi bagi saya yang penting nadanya enak.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa kita memerlukan kejelasan mengenai subyektivitas kaum Muslimin dan gerakan-gerakan Islam di negeri ini. Tanpa kejelasan itu, kita hanya akan berputar-putar belaka mengenai berbagai aspek dari kehidupan kita sebagai bangsa. Inilah hal yang menimbulkan keprihatinan kita, karena kita justru menghargai ke-bhineka-an. Tentu saja, dengan hanya bermodalkan kesimpangsiuran mengenai apa yang dimaksudkan dengan istilah “umat Islam” tersebut, kita akan tetap berada dalam kegelapan. Pemilu akan datanglah yang dapat memberikan jawaban yang pasti, apa sebenarnya aspirasi “umat Islam”? Sebelum itu tidak bijaksana kiranya kita mengambil langkah strategis dalam kaitan “membungkam” gerakan Islam dan gerakan Islam lain di dunia ini. Sangat sulit memahaminya dewasa ini, apalagi dengan penerapan dalam kenyataannya, bukan?