Yang Muda Yang Bercinta
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Saya sangat terpengaruh oleh novel Andre Gide, itu pemenang hadiah Nobel untuk sastra dari Perancis. Judulnya adalah La Porte Etroite, Gerbang Yang Sempit. Diambilkan dari potongan salah satu ayat dalam Bijbel. Begitu terpengaruh saya oleh novel tersebut, sampai-sampai anak saya yang pertama saya beri nama pelaku utama novel tersebut, Alissa.
Kisahnya sederhana saja. Seorang pemudi dari zaman kuda gigit besi mencintai saudara sepupunya sendiri. Tetapi pemudi Alissa lebih tua dua tahun dari umur sang pacar, Jerome. Kemelut kejiwaan lalu tidak terhindarkan lagi: apakah akan diteruskan, dengan Alissa memaksakan sesuatu yang merugikan atas sang kekasih, yang saat ini sudah rela? Bagaimana nanti kalau lalu menyesal, bukankah rasa berdosa akan menghantui diri Alissa seterusnya?
Ujung cerita, Alissa menyelesaikan persoalan dengan pemecahan keagamaan: la menjadi biarawati, meninggalkan Jerome dan bersumpah tidak akan kawin seumur hidup, Jerome sendiri lalu menjadi tentara alias serdadu. Nah, keputusan Alissa untuk memasuki “gerbang ketuhanan” itulah yang oleh Gide disebutnya gerbang yang sempit seperti tertera dalam judul novelnya itu.
Dari liku-liku perjalanan kejiwaan Alissa, yang berahir pada penyerahan dirinya kepada Tuhan dalam arti duniawi, tampak kompleksitas masalah duduknya Tuhan dalam kehidupan manusia. Haruskah ia menjadi tempat pelarian manusia, jika mereka terjepit dalam kehidupan seperti itu? Apa bedanya Tuhan dengan rentenir, kalau begitu? Rentenir akan menunggu sampai orang kelabakan tidak mampu menyelesaikan masalah, lalu “ditolongnya” dengan kredit yang mencekik leher. Apa bedanya dengan Tuhan yang menerima “penyerahan diri” manusia yang sudah buntu jalan hidupnya? Bukankah pengabdian kepada Tuhan dengan demikian lalu dimanipulasikan oleh Tuhan sendiri, bagi kepentingan-Nya pula? Bukankan ia yang beruntung, bukannya Alissa (sebagai misal) yang harus mengorbankan kenikmatan hidup?
Deretan pertanyaan di atas memang tidak mudah untuk dijawab, juga tidak ada perlunya untuk dijawab. Karena duduk masalahnya berbeda. Rentenir memang melakukan kerja manipulatif, karena ia mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain. Tuhan tidak memanipulasikan apa-apa, karena la tidak memberikan apa-apa sama sekali. Yang diberikan-Nya hanyalah kehidupan itu sendiri. Terserah mau diapakan oleh manusia, dijadikan ajang pengrusakan, atau lahan penyejahteraan hidup.
Kalau manusia lari kepada-Nya, itu hanyalah karena karunia yang diberikan-Nya: kemampuan mendekatkan diri kepada Tuhan itu sendiri. Manusia tidak diperbudak oleh Tuhan untuk kepentingan-Nya, melainkan diberi-Nya jalur pemahaman diri yang lebih baik akan hakekat dirinya, dan hakekat hubungannya dengan Tuhan. Bukankan pengenalan hakekat diri sendiri adalah hal yang mutlak baik? Bukankah sejarah menunjukkan, bahwa justru ketidakmampuan mengenal hakekat dirinya sendiri, telah membuat manusia melakukan peperangan dan tindak-tindak pengrusakan yang lain?