Yang Tegar dan Kontroversi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Mengenali sosok kepribadian dan jalan pikiran seseorang terkadang perlu kecermatan tersendiri. Lebih-lebih orang yang baru dikenalnya itu memiliki sifat dan karakter tertentu. Namun sebaliknya pula, jika dilakukan secara kekeluargaan dan terbuka hakikatnya sederhana saja dan ada kalanya tidak membutuhkan waktu yang lama.
Sebagai contoh, perkenalan saya dengan Muhammad Alzier Dianis Thabranie atau biasa dipanggil Bang Alzier yang sebenarnya belum cukup lama. Seingat saya pada saat dirinya ditahan di Mabes Polri sekitar tahun 2003, saya berkesempatan menjenguknya dan bersama seratus tokoh masyarakat Lampung dari berbagai profesi menyatakan siap sebagai penjamin penangguhan penahanan Alzier Dianis Thabranie, Gubernur Lampung terpilih waktu itu.
Itulah kali pertama perjumpaan saya dengan Alzier. Meski selanjutnya juga jarang bertemu namun rasanya sudah seperti kerabat dekat, kerap saling komunikasi, dan sering kabar mengabari. Keakraban yang terjaga erat itu terus berlanjut hingga saat ini.
Kesan pertama saya waktu itu terutama setelah sempat bertukar pikiran dan berolah pendapat bahwa orang ini sangat tegar dan kokoh meski sedang menghadapi berbagai persoalan berat. Sifat kejuangannya dan jiwa pendobraknya tampak masih sangat menonjol. Bayangkan saja dalam kondisi tersulit yang tengah dihadapi, Alzier masih berupaya memikirkan persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang rumit itu, khususnya masalah daerahnya, yakni Provinsi Lampung.
Saya pikir masyarakat Lampung memang perlu berbangga. Boleh jadi politisi yang dijuluki pemberani dan rada “nekat” itu sepertinya tak pernah sepi dari gonjang-ganjing politik. Bagaimana pun penilaian orang tampak jelas bahwa lelaki yang satu ini selalu menyebarkan pesona aksi yang dimilikinya.
Terlahir dari keluarga nahdiyin, putra ketiga pasangan Muhammad Thabranie Daud dengan Nur Almah ini sudah pasti tidak diragukan lagi ke-NU-annya. Sebab sang ayah yang Walikota Tanjungkarang-Telukbetung (1969-1976) dikenal sebagai ketua PWNU Lampung yang tentunya sangat ketat menanamkan pendidikan umum dan agama Islam bagi anak-anaknya. Namun karena sifat kemandirian lelaki ini sangat kuat, maka tak heran jika kemudian muncul perpaduan antara karakter santri (NU), priyayi (birokrat), dan petualang (preman).
Sebelum kenal dekat saya memang sempat sedikit geram mendengar dari berbagai media dengan beberapa ulahnya yang bisa dibilang sedikit “sableng” itu. Pembawaanya yang kerap kali berkesan terlalu nekat senantiasa menempel pada diri seorang politisi ini. Berbagai insiatif dan manuver politis yang diambilnya tak jarang mengundang decak kagum sekaligus hujatan dari golongan dan lapisan masyarakat tertentu.
Menilik dari sekian banyak kontroversi yang dibuatnya, saya pikir ada seonggok kebajikan yang patut diteladani. Yaitu sikapnya terbuka, menghargai perbedaan, kebersahajaan pemikiran dan konsep-konsep yang dimilikinya. Sebab pemeliharaan perbedaan itu sangat penting artinya. Sudah lama sekali bangsa Indonesia selalu diseragamkan dalam segala hal. Keseragaman ini sudah berjalan begitu rupa dalam berbagai bentuk. Makin berbeda kita dengan yang lain, semakin jelas kesatuan di antara kita. Orang berbeda dalam cara hidupnya, tetapi bersatu dalam pikiran dan pandangan mengenai nasib bangsa. Kita harus mengembangkan perbedaan, bukan menutup perbedaan. Jika sudah begitu, perbedaan itu rahmat.
Menghadapi perbedaan seyogianya tidak dengan jalan kekerasan, kita tidak boleh berhenti menekankan bahwa Islam itu agama damai. Dalam Alquran, ajaran tentang itu sudah penuh. Jadi, kita tidak usah mengulang-ulang (pernyataan) lagi bahwa Islam itu damai dan rasional. Hanya saja, memang ada sisi-sisi lain dari Islam yang kurang rasional. Tapi kalau dipikir-pikir lagi secara mendalam, jangan-jangan itu rasional juga. Jadi dengan begitu, kita tidak boleh serta-merta memberikan judgement, pertimbangan, penilaian. Kita harus benar-benar tahu latar belakang mengapa seseorang melakukan kekerasan. Tapi biasanya, yang pura-pura (Islam) itulah yang paling keras.
Membaca buku ini kita sejenak diingatkan akan pentingnya sikap mandiri ditanamkan sejak dini. Dicontohkan seorang Alzier yang sejak masa sekolah sudah belajar mandiri sehingga pada masa kuliah sudah bergelar pengusaha. Dunia bisnis tampaknya menjadi pilihan hidupnya hingga lelaki romantis ini malang-melintang dalam urusan usaha, bahkan berbagai organisasi pengusaha pernah dipimpinnya. Lalu-lalangnya di karir profesional membawanya berkelana di banyak organisasi profesi. Salah satunya yang paling menonjol adalah pada Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi), Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Lampung, Gapensi, dan Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Lampung.
Tak puas bergelut di satu profesi, setelah merasa sukses menjalankan roda bisnisnya, Alzier pun lantas memilih untuk terjun di dunia politik. Pada mulanya bergabung dengan DPD Golkar Lampung, kemudian menumpang perahu PDI Perjuangan ikut maju pada Pilkada Lampung Selatan, meskipun gagal menjadi bupati. Pada tahun 2002 digelar Pilkada untuk Gubernur Lampung, kali ini Alzier kembali bertarung dan ternyata unggul, sehingga memenangkan Pilgub tersebut. Namun kemenangan itu tidak diakui Presiden Megawati sehingga tidak pernah dilantik, sampai akhirnya harus menerima keputusan yang diambil alih oleh pemerintah pusat.
Berkat cita-cita dan keinginannya yang kuat untuk membangun Lampung ke arah lebih baik, rasanya Alzier tak pernah patah arang untuk tetap berjibaku turut memikirkan, memberdayakan, dan mengembangkan masyarakat daerah Lampung. Apalagi provinsi ini dikenal memilikı sumberdaya alam yang berlimpah, namun sayang hingga kini belum tergarap secara maksimal.
Akhir kata dengan diterbitkannya buku ini saya harap dapat menjadi inspirasi bagi yang membacanya. Biarlah sosok politisi ini asyik dengan dunianya yang penuh kontroversi.
Hanya nurani dan kejujuran Alzier sendirilah yang dapat menjawabnya?