Orang Besar
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Penulis berkenalan dengan Jenderal Benny Moerdani sejak tahun 1975, dalam suatu upacara. Waktu itu penulis mewakili KH. M. Bisri Sansuri, Ra’is ‘Am atau orang pertama di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sehabis upacara, Pak Benny tidak segera meninggalkan tempat, melainkan melakukan ramah tamah dengan para hadirin. Di saat itulah penulis berkenalan dengan Pak Benny. Walaupun sebelum itu penulis diberi tahu bahwa ia adalah orang yang “angker” dan tidak pernah tersenyum, dalam kenyataan justru sebaliknyalah yang terjadi, dengan ramah ia berbicara tentang berbagai hal, termasuk tentang pondok pesantren. Penulis agak terkejut, karena ia mengenal lika-liku pondok pesantren, dan menganggapnya sebagai institusi yang perlu tetap dipertahankan wujudnya di negeri kita.
Rupanya ada tautan hati antara Pak Benny dan penulis. Seminggu kemudian, melalui ajudannya, ia minta agar penulis datang ke gedung Badan Intelijen Strategis (Bais) di Jalan Saharjo, untuk menemuinya secara langsung. Segera penulis lakukan hal itu dan pertemuan itu merupakan permulaan dari rangkaian pertemuan yang berlangsung puluhan tahun berikutnya, sampai saat kematiannya. Memang rangkaian pertemuan itu tidak dapat dijadikan ukuran bagi kedekatan penulis dengan almarhum tetapi setidak-tidaknya justru penulis sendiri yang memperoleh kesan mendalam dari rangkaian pertemuan itu. Penulis jadi tahu Benny Moerdani yang berwajah seram itu sebenarnya adalah orang yang pandai menyimpan perasaan dan menyembunyikan sikap hidup yang sebenarnya. Penulis berkeyakinan Pak Benny adalah seorang besar di tengah-tengah kehidupan serba kompleks dan tidak mudah dimasukkan kategori macam apa.
Meja Pangab
Setelah kunjungan yang pertama itu, bisa dibilang sebulan sekali penulis bertemu dengannya di Jalan Sahardjo. Penulis jadi tahu bahwa ia dibantu oleh lima orang perwira dari lingkungan intelijen seperti Pak Nugroho, Soekarno, Teddy Rusdi, dan dua orang lagi yang penulis lupa namanya. Suatu saat Benny bercerita tentang Jenderal TNI-AD M. Yusuf, selaku Pangab meminta Pak Benny untuk duduk di meja kerjanya. Dari depan Pak Yusuf memperhatikannya, dan kemudian menyatakannya:
“Kau pantas jadi panglima…,” Benny Moerdani menceritakan ini dengan wajah yang datar, tanpa emosi sama sekali.
Penulis sangat terkesan dengan cerita ini, dua orang besar dengan pandangan hidup dan misi yang berlawanan, mengungkapkan dengan tepat apa yang membuat mereka menjadi besar. Kalau saja tentara kita memiliki sikap hidup yang seperti ini, tentu akan terhindarlah negeri ini dari sikap macam-macam, seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia, sikap arogansi dalam berbagai hal, dan terutama campur tangan terlalu banyak dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita. Para pemimpin TNI lalu tidak akan mengorbankan kepentingan umum untuk mencapai kenikmatan hidup seperti diperlihatkan oleh sementara “pemimpin”, seperti terlihat dewasa ini.
Di sinilah sebenarnya terletak kesederhanaan hidup yang diwariskan oleh Jenderal Besar Sudirman. Dan ini pula yang memisahkan TNI dan rakyat kebanyakan. Persoalan utamanya adalah, bagaimanakah mengembalikan pola kehidupan para perwira tinggi TNI kepada kesederhanaan hidup seperti terlihat pada kehidupan Jenderal Yusuf dan Benny Moerdani. Pada mulanya para perwira tinggi TNI adalah berada dekat dengan kehidupan rakyat tetapi sekarang keadaannya menjadi lain.
Agama dan Negara
Pada suatu ketika, penulis diajak Pak Benny untuk pergi ke Jawa Timur dengan pesawat terbang Panglima ABRI. Penulis tidak banyak bertanya, mengikuti saja ke mana akan dibawa. Ternyata mendarat di Bandara Panasan, Solo, dan dari sana menuju Stasiun Ceper dekat Klaten. Di depan stasiun sudah ditunggu oleh kakaknya yang menjadi Kepala Stasiun Kereta Api. Dari sana kami bertiga berangkat ke Cepu, melalui jalan yang rusak dan berlubang-lubang, melalui Ngawi. Di tengah jalan, Pak Benny bercerita bahwa ia adalah anak ketiga dari Ibu Jeanne Roech yang beragama Katolik. Ibu Jeanne ini dinikahi oleh Pak Moerdani setelah ditinggal ke rahmatullah oleh istri pertamanya yang beragama Islam.
Ia mengatakan, bahwa oleh keadaan akhirnya oleh sang Ayah, Benny “dititipkan” selama tiga tahun di tempat mertuanya di Cepu, bernama Kiai Usman. Itulah masa yang paling berbahagia dalam hidupnya karena ia tinggal di sebuah pondok pesantren. Setelah cukup lama di pondok pesantren, ia “kembali” di tempat ibunya dan selanjutnya kembali kepada kehidupan seorang Katolik. Ini diceritakan Benny di hadapan kakaknya yang beragama Islam.
Inilah salah satu keistimewaan Pak Benny Moerdani, yaitu tidak mempersoalkan perbedaan agama. Ia benar-benar seorang perwira TNI, dan tidak mempersoalkan aspek-aspek kehidupan yang lain seperti agama misalnya. Ini menunjukkan bahwa ia memperlihatkan hidup dalam bidang ketentaraan secara total. Tidak seperti para perwira tinggi lain saat ini yang hidupnya berpihak pada golongan atau keyakinan lain tertentu di luar doktrin ketentaraan.
Sebagai teman menyatakan kepada penulis, bahwa Benny Moerdani adalah musuh Islam yang sesungguhnya tetapi penulis melihat kesimpulan itu sebagai sesuatu yang salah. Justru Pak Benny adalah orang yang melaksanakan pola hubungan agama dan negara yang seharusnya. Di antaranya, dia memegang pendiriannya bahwa harus ada perbedaan yang tegas antara yang mana menjadi tanggungjawab negara dan mana milik negara itu sendiri. Inilah yang banyak dilupakan oleh sebagian perwira tinggi kita, sehingga kemudian mereka menggunakan jabatan dan persenjataan untuk mempromosikan keyakinan mereka itu, melalui pengaruh dan kekuasaan inilah yang sebenarnya yang merupakan kerancuan sikap dalam hidup bernegara di kawasan ini.
Tim-Tim Tidak
Pada suatu hari Pak Benny Moerdani mengajak penulis dengan menggunakan pesawat kepanglimaan, untuk bepergian ke Surabaya. Penulis ikut saja tanpa bertanya-tanya lagi, pesawat terbang menuju ke Surabaya, dan setibanya di lapangan terbang Surabaya kami berdua sudah ditunggu oleh sebuah sedan, yang membawa kami berdua melaju ke arah Kediri. Di Kediri, kendaraan berbelok menuju Desa Grogolan, beberapa kilometer ke arah Nganjuk, kami berhenti di sebuah rumah. Ketika masuk di bagian depan rumah itu, baru saya tahu bahwa kami bertemu dengan Haji Abdullah Sidiq.
Tanpa banyak bicara, ia segera mengeluarkan sejumlah botol air mineral berisi air putih. Kumpulan botol itu diikat satu sama lain sehingga cukup diangkat dengan sebelah tangan sudah terbawa semua. Ketika penulis ambil dan menyerahkan kepada ajudan, Pak Benny mengambilnya, dan mengatakan akan membawanya. Haji Abdullah Sidiq minta agar botol-botol itu dikirimkan ke semua ibukota propinsi untuk dituangkan isinya relatif di tengah-tengah kota. Demikianlah yang kami perbuat, dan segera kami berdua kembali ke Surabaya untuk naik pesawat terbang menuju Jakarta.
Beberapa hari kemudian datanglah “giliran” penulis untuk bertemu Pak Benny di Jalan Saharjo, ia berkata:
“Botol air itu hanya ada 26 buah. Sudah saya kirimkan semua ke tiap ibukota propinsi, kecuali ke Dilli, jangan-jangan Timor-Timur tidak terliput oleh airnya Pak Abdullah Sidiq.”
Penulis tidak tahu apa hubungan dari hal ini, dan kenyataan bahwa Timor-Timur akhirnya merdeka dan lepas dari tanah Indonesia. Tentu saja penulis mencermati sesuatu yang salah, dalam hal ini, tetapi penulis tidak ingin berspekulasi lebih jauh, cukuplah menganggapnya sebagai pengalaman yang tidak mungkin diterangkan oleh akal manusia. Bukankah banyak terjadi dalam hidup ini hal-hal yang tidak dapat diterangkan oleh akal sehat. Penulis sendiri tidak tahu melalui siapa Pak Benny berkenalan dengan H. Abdullah Sidiq.
Calon Presiden
Dalam tahun 1980-an penulis ditanya dalam sebuah seminar di Universitas Monash, Melbourne, bagaimana pandangan penulis jika L.B. Moerdani dicalonkan menjadi presiden. Penulis menjawab:
“Secara teoritis hal itu tidak menjadi soal, bukankah Undang-Undang Dasar Amerika Serikat membuka peluang bagi kaum wanita atau orang hitam untuk menjadi calon presiden? Namun dalam kenyataan di AS belum pernah ada calon presiden perempuan ataupun kulit hitam. Demokrasi tidak berarti keharusan menjadi calon atau berkenan untuk menjadi calon. Demokrasi berarti ada peluang untuk itu. Ini adalah sebuah titik yang menentukan bagi suatu masyarakat untuk disebut demokrasi atau tidak.”
Tentu saja pendapat ini kemudian dikemukakan secara salah dalam tulisan-tulisan dalam negeri, seolah-olah penulis yang mencalonkan Benny Moerdani untuk jabatan tersebut. Penulis merasa kasihan kepada mereka yang menuliskan hal itu. Demi mau menghancurkan penulis, mereka melakukan suatu hal yang bertentangan dengan hati nurani mereka sendiri yaitu berdusta pada umum. Kejadian ini menunjukkan kebesaran seorang tokoh nasional seperti Benny Moerdani. Penulis menjadi bertambah kagum, karena kebesaran pribadinya itu membuat mereka tidak dapat menghancurkan tokoh tersebut dalam persaingan terbuka dan sehat.