Perhelatan Akbar ataukah Perubahan Sosial
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Nahdlatul Ulama (NU) membuka muktamarnya yang ke-31 di kota Solo. Sesuatu yang sangat penting terjadi dalam ‘forum’ tersebut, walau tampak di permukaan hanya mengenai perebutan kepemimpinan yang biasa terjadi dalam sebuah muktamar/kongres/munas sebuah organisasi. Muktamar itu dibuka SBY (Susilo Bambang Yudoyono), sebelum ia melanjutkan perjalanan ke Laos untuk menghadiri KTT ASEAN.
Nah, di balik rutinitas yang disimbulkan oleh forum itu, sebenarnya terjadi sebuah perkembangan sangat dramatis dalam tubuh NU. Hal itu mempunyai pengaruh sangat besar atas perkembangan yang terjadi di lingkungan bangsa kita. Di balik rutinitas acara pembukaan muktamar terjadi perkembangan yang sangat menarik untuk diikuti, yang menjadi tugas para sejarawan, juga para pengamat mengkajinya secara obyektif di masa depan.
Media massa kita sudah memberikan komentar atas apa yang terjadi di lingkungan NU itu. Ada yang memuat pertanyaan-pertanyaan para petinggi NU yang lebih dikenal dengan nama pengurus strukturalnya, dan ada pula pertanyaan-pertanyaan lingkungan lain dalam NU seperti generasi mudanya yang mempunyai pendapat dan penilaian mereka sediri. Ini adalah sesuatu yang sangat menarik untuk diikuti dan karenanya merupakan ‘bumbu-bumbu peristiwa’ yang tentu akan direkam secara umum oleh para pengamat.
Namun, hal itu mungkin saja tidak dipaparkan secara lengkap oleh media massa kita yang mungkin saja menetapkan ‘ambang atas’ tertentu dalam pemberitaan tentang NU. Hal yang mungkin luput dari perhatian media massa adalah sangat dramatisnya perkembangan yang terjadi dalam lingkungan organisasi Islam terbesar di dunia itu.
Apa yang terjadi di lingkungan NU itu bisa saja terhenti dan lepas dari perkembangan yang tidak tampak di mata kita, dan dalam hal ini berarti Muktamar ke-31 NU tersebut hanya akan menjadi perhelatan akbar, menjadi sebuah rutinitas biasa dan akan menunjukkan ketidakmampuan kolektif kita untuk mulai menerapkan demokrasi dalam artian yang sesungguhnya. Yang masih menjadi pertanyaan: Adakah kemungkinan bagi NU untuk melakukannya di masa depan? Bukankah ada para mahasiswa, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (ISM) dan sejumlah intelektual yang ‘menggeliat’, di bawah sistem politik yang tidak demokratis pada saat ini dan ‘reformasi gagal’ yang diklaim oleh sementara pihak, telah terjadi dalam kenyataan selama beberapa tahun terakhir? Dalam hal ini, citra bahwa NU ‘ditelan kekolotannya’ sendiri, tetap berlaku.
Namun, jika terjadi perubahan kepemimpinan yang tidak semata mata menekankan diri pada capaian-capaian pragmatis (seperti kedudukan, kekuasaan dan penggunaan uang) yang sebenarnya jauh dari cita-cita kolektif NU sendiri, maka hal itu akan diikuti oleh perubahan-perubahan sosial cukup besar untuk memungkinkan tumbuhnya masyarakat demokratis di masa depan. Jadi, sebenarnya kehidupan kita sebagai bangsa akan turut ditentukan oleh forum tersebut, yang perkembangannya tidak tampak di mata. Penulis ikut merasa bangga atas terjadinya hal ini. Sebagai orang yang dilahirkan dalam lingkungan para pendiri NU, tentu saja penulis masih melihat perubahan sosial seperti itu. Dalam arti adanya peranan NU dalam demokratisasi kehidupan bangsa. Bahwa penulis kemudian melihat terjadinya pelanggaran hukum, tentu menjadi sesuatu yang menyakitkan.
Sudah tentu sah-sah saja penulis mempunyai harapan agar NU yang didirikan para sesepuhnya, dapat turut serta dalam perjuangan menegakkan demokrasi di kalangan bangsa kita. Dan akan sangat menarik untuk melihat ‘organisasi tradisional’ seperti NU mampu melakukan perubahan sosial guna menegakkan demokrasi. Kedaulatan hukum, pelakuan sama kepada semua warga negara terlepas dari asal usul mereka, kemerdekaan pers dan pengembangan etika sosial yang baru akan menentukan arah kehidupan bangsa ini di masa depan. Jika perubahan-perubahan sosial itu pada akhirnya akan menghasilkan sebuah sistem politik yang baru di masa depan, tentu saja merupakan proses yang patut dibanggakan oleh bangsa ini, dan penulis akan bangga dengan peranan’ NU seperti itu.
Perubahan sosial menuju masyarakat demokratis memang tidak bisa dilepaskan dari sudut pengembangan sebuah kesadaran berbangsa yang kita perlukan, pengembangan bangsa yang kuat dan besar di kemudian hari. Jika selama ini kita hanya meributkan hal-hal dengan tidak memikirkan kebutuhan untuk menjadi bangsa dan negara yang kuat dan besar, maka hal itu harus dirubah bagi kepentingan menciptakan wadah kenegaraan yang demikian tadi. Kedudukan dan letak geografis yang strategis, kekayaan alam yang berlimpah-limpah dan jumlah penduduk yang sangat besar (pada saat ini berjumlah di atas 200 juta jiwa), mau tidak mau mengharuskan kita mendirikan atau mengembangkan sebuah negara yang besar dan kuat. Hal ini harus disertai kesadaran menjauhi xenophobia (faham bahwa bangsa kita adalah yang terbesar dan terkuat).
Nah, Muktamar NU harus merefleksikan hal-hal di atas untuk turut menciptakan bangsa yang kuat dan besar di masa depan, yang juga didasarkan pada keadilan dan kemakmuran bersama. Konstitusi kita tidak pernah lepas dari ‘tanggung jawab moral’ seperti itu, karena asumsi-asumsi besar ada di balik rumusan-rumusannya. Perdamaian dunia, kemerdekaan bagi segala bangsa dan kecerdasan yang tinggi adalah ungkapan-ungkapan yang ada dalam kesadaran konstitusional kita, sejak berdirinya Republik Indonesia. Kita berani menahan segala macam cobaan (seperti perang gerilya) dan memberikan pengorbanan (seperti ideologi sektoral masing-masing guna kepentingan bersama), sehingga terciptalah bangsa dan negara yang besar, kuat dan berkehidupan pluralistik.
Jelaslah dari uraian di atas, Muktamar NU kali ini yang terlihat tidak memiliki greget yang besar sebagai sebuah even nasional, tetapi sangat penting bagi masa depan Indonesia sendiri. Ini sesuai dengan ‘keterlibatan’ NU dalam kehidupan bangsa kita di masa lampau, sehingga mengetahui sejarah NU secara mendalam sama saja dengan mengenal sejarah-bangsa dari dekat. Suka dan duka NU menjadi penjernihan sejarah bangsa kita juga. Karenanya untuk menggembangkan ‘orientasi baru’ yang tidak terkait dengan perkembangan kehidupan bangsa kita, tampaknya merupakan hal yang hampir-hampir mustahil.
Karena itu, jika NU dalam muktamar kali ini memutuskan untuk memulai pengembangan sebuah sistem politik yang baru, melalui demokratisasi segala macam aspek kehidupan bangsa, maka hal itu merupakan keputusan yang tepat. Namun, jika NU belum siap untuk itu dan karenanya lalu menjadi tidak berperan lagi dalam upaya demokratisasi, hal itu dapat dimengerti karena memang tradisionalisme yang penuh dngan rutinitas peribadatan, tetap dianggap sebagai wahana utama bagi ‘kehidupan beragama’ kita.
Dengan demikian NU secara sadar melepaskan peluang untuk menjadi pelopor yang berperan besar dalam upaya demokratisasi kehidupan berbangsa. Kalau ternyata NU lebih mementingkan kebangkitan peranan demokratisasi kehidupan berbangsa itu, maka hal tersebut tentu sesuai dengan kehidupan NU di masa lampau. Namun, hal itu harus diserahkan kepada muktamar, sebagai sebuah proses mengambil dan membuang yang lumrah terjadi dalam sejarah umat manusia, bukan?