Palestina, Setelah Arafat Wafat
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BARU-baru ini penulis terlibat percakapan dengan seseorang yang mengenal betul bangsa Palestina. Ia katakan, kematian Arafat akan membawa bangsa Palestina kepada era baru, terutama dengan rencana Marwan Barghouti menjadi calon presiden Palestina dalam pemilihan 9 Januari mendatang.
Rencana itu disampaikan istri Marwan, seusai menjenguk suaminya yang dipenjara seumur hidup oleh pengadilan Israel karena dituduh melakukan tindakan teroristik terhadap sebuah komunitas Yahudi. Maka bisa dibayangkan, jika Marwan menang, akan terjadi perubahan besar di Palestina.
***
PERTANYAANNYA kini, mungkinkah itu terjadi? Mengapa tidak. Menurut orang itu, tidak ada larangan bagi seseorang dalam penjara Israel dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan atas tindakan teroristik. Kemungkinan Marwan menang dalam pemilihan itu juga amat besar, karena ia adalah seorang “pejuang” Palestina yang amat populer, terutama di kalangan kaum muda Palestina.
Bagaimana dengan hukumannya? Bila ia memperoleh kemenangan dan terpilih menjadi Presiden Palestina, kawan bicara penulis itu yakin, Marwan akan dibebaskan oleh Pemerintah Israel. Demikian kuat penghargaan bangsa Israel atas keputusan politik yang dicapai melalui sebuah pemilihan, sehingga kawan penulis itu yakin atas keputusan Pemerintah Israel. Penulis tidak membantah karena ia juga tahu sikap dasar bangsa Israel.
Mengingat percakapan berlangsung di sebuah ruang tunggu kelas utama lapangan terbang Changi, Singapura, dan karena ia harus segera keluar, penulis tidak dapat bertanya lebih jauh tentang hal itu. Penulis hanya memperkirakan keadaan menurut apa yang diketahuinya, sebagai bahan ramuan yang membentuk pandangan penulis tentang berbagai hal setelah bangsa Palestina ditinggalkan Yasser Arafat untuk selama-lamanya.
Banyak yang penulis ketahui, tetapi tidak dapat dikatakan dalam tulisan karena akan “merugikan” perjuangan bangsa Palestina mendirikan negara sendiri yang independen dan berdaulat. Namun, apa yang akan dikemukakan dalam tulisan ini, menunjang perjuangan itu.
Di antara hal-hal yang jarang diketahui di negeri kita adalah kenyataan bahwa kepemimpinan Yasser Arafat dalam kehidupan bangsa Palestina juga berarti kepemimpinan “kelompok Tunisia” di lingkungan gerakan Al-Fatah, yang menjadi tulang punggung Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO). Karena pimpinan formal bangsa Palestina umumnya datang dari gerakan Al-Fatah, dengan sendirinya pimpinan PLO juga “amat diwarnai” kelompok itu, yang biasanya dijuluki “kelompok pengasingan dari Tunisia”.
Yasser Arafat sendiri, Mahmud Abbas (Abu Mazen), dan Ahmad Qorei (Abu ‘Ala) adalah tokoh-tokoh utama kelompok itu. Mereka tidak memiliki pengalaman pahit yang diperlukan untuk perjuangan yang harus dilakukan.
Karena itu, jika nanti bangsa Palestina memilih Marwan Barghouti sebagai presiden dan Pemerintah Israel melepaskannya dari penjara, dengan sendirinya akan muncul kepemimpinan baru di kalangan bangsa Palestina yang mengalami sendiri pahit getirnya perjuangan bersenjata melawan Israel, yang sering melakukan tindak kekerasan terhadap mereka.
***
DIBANDINGKAN dengan perjuangan bersenjata yang dilakukan Marwan dan kawan-kawan, perjuangan “kelompok Tunisia” di bawah Arafat, terlihat hanya bersifat perjuangan diplomatik yang tidak begitu dirasakan warga awam bangsa Palestina. Itu pun sering dilakukan dengan keragu-raguan, seperti saat Arafat menolak penandatanganan sebuah naskah perdamaian di hadapan mendiang Yitzhak Rabin (saat itu Perdana Menteri Israel) dan Presiden Hosni Mubarak dari Mesir.
Keengganan Arafat itu membuat Presiden Mesir Mubarak marah dan membuatnya membubuhkan tanda tangan. Tetapi karena ia “terpaksa” membubuhkan tanda tangan, maka ia tidak melaksanakan isi kesepakatan yang ditandatanganinya. Cara kerja dan sikap main-main dalam mengambil keputusan seperti itu, akhirnya membuat para pemimpin muda Palestina yang tidak termasuk dalam “kelompok Tunisia” itu tidak begitu percaya kepada kepemimpinan Arafat. Inilah yang sebenarnya membuat para pemimpin muda Palestina mengambil sikap teroristik, seperti dalam kasus Brigade Al Aqsa dan Intifadah.
Karena itu, kunci untuk menghilangkan tindakan-tindakan teoristik, seperti serangan bom bunuh diri (suicidal bombing), terletak pada pergantian kepemimpinan kelompok lebih muda yang lahir dan dibesarkan di tanah Palestina (kawasan Gaza, tepian barat Sungai Jordan).
***
DARI uraian itu tampak situasi di Palestina amat kompleks, selain bangsa Palestina mengalami pertentangan strategi perjuangan di antara para pemimpinnya, juga ada perpecahan berkepanjangan di kalangan bangsa Israel. Hal ini terlihat dalam perbedaan sikap yang diambil para pemimpin Israel. Misalnya, Perdana Menteri Ariel Sharon dari Partai Likud yang memerintah, menjalankan langkah-langkah yang oleh sebagian besar dunia dianggap penuh kekerasan.
Sebaliknya, strategi yang diambil Partai Buruh pimpinan Simon Perez mendasarkan diri pada upaya mencari perdamaian dengan bangsa Palestina. Situasi yang sudah kompleks itu bertambah rumit oleh perbedaan sikap Amerika Serikat dari kebijakan Uni Eropa di satu sisi, dan para pemimpin bangsa Arab di sisi lain.
Sementara itu, orang-orang awam Paletina mengalami diskriminasi lebih besar. Mereka yang memiliki kebolehan atau kelebihan profesional dielu-elukan oleh bangsa-bangsa Arab maupun masyarakat Israel. Jika kita ada di kawasan negara Israel, kita akan lihat betapa besar kebutuhan mereka akan kecakapan profesional itu. Tetapi mereka yang tidak memiliki kecakapan atau keahlian profesional akan berada dalam kamp pengungsian yang terletak di kawasan Gaza maupun Tepi Barat Sungai Jordan.
Sebagai bangsa yang terbilang paling pandai dan berkecakapan profesional di kalangan bangsa-bangsa Arab, tentu saja kalangan pejuang bangsa Palestina sendiri (terutama kaum muda), timbul pertanyaan: sudahkah strategi dasar perjuangan bangsa Palestina untuk mendirikan negara yang berdaulat secara politis dan maju secara ekonomis, tercapai?
Hal-hal seperti itulah yang merupakan kebutuhan utama untuk dijawab para pemimpin bangsa Palestina. Nah, jika Abu Mazen atau Abu Ala yang memenangi pemilihan presiden sebagai pengganti Arafat, maka situasi muram yang dihadapi bangsa Palestina tidak banyak berubah. Tetapi, jika orang-orang muda menggantikan Arafat dalam pemilihan nanti, maka akan terjadi perubahan amat besar, penuh berbagai kemungkinan yang diharapkan oleh bangsa itu. Ini adalah proses lumrah tentang pelestarian atau perubahan yang dilakukan atas strategi dasar bagi kemerdekaan bangsa Palestina. Proses yang biasa terjadi dalam sejarah umat manusia.