Tembok Besar, Lambang Penderitaan?

Sumber Foto: https://bafageh.com/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KETIKA penulis dan rombongan mengunjungi Tembok Besar (Great Wall) sekitar 90 menit naik mobil dari Beijing, udara sedang dingin, ada salju turun, dan Tembok Besar itu sendiri licin karena es. Karenanya, penulis dibawa ke ruang tamu sedangkan yang lain tetap naik ke sana. Ditakutkan, karena Tembok Besar sedang licin nantinya penulis akan terjatuh dan luka. Penulis menurut saja, dan di ruang tunggu penulis mendapatkan cerita tentang bagaimana Tembok Besar itu dibangun. Yang bercerita adalah seorang wanita yang kebetulan menjadi Kepala Pengurus Tembok Besar di daerah itu, yaitu daerah yang menjadi silang jalan antara berbagai rute perdagangan. Dengan minum teh hangat yang disediakan tuan rumah, penulis mendengarkan cerita tentang berdirinya Tembok Besar itu. Cerita yang disajikan datar-datar saja, tanpa emosi dan sebagainya, padahal yang diceritakan adalah kisah sangat memilukan.

Tembok Besar itu sendiri dibangun selama hampir 1700 tahun, oleh tiga dinasti yang berkuasa. Ia memanjang dari timur ke barat dan di beberapa tempat dari selatan ke utara, mengitari gunung sepanjang 10.000 km lebih, melintasi 11 provinsi Tiongkok dari Shanghai di Timur hingga Sinjiang di barat. Terletak di Utara Beijing, Tembok Besar yang ‘melindungi” tanah Tiongkok itu setinggi 7 meter. Di banyak tempat ada menara yang cukup tinggi, ruangan atas untuk mengintai dan memanah, dan ruangan bawah untuk istirahat para prajurit. Di beberapa buah gunung didirikan bangunan untuk menyalakan api dan mengeluarkan asap, setiap kali asap atau api menyala, berarti 100 orang kaum nomaden/serdadu pengembara dari suku-suku minoritas, sedang menyerang/mengurung pasukan yang berjaga. Dari jauh, Kaisar melihat asap itu, dan mengirimkan pasukan dua kali lipat dengan demikian para penyerang dapat dihadapi oleh kekuatan militer yang ada.

Menurut orang yang bercerita, ‘cukup banyak orang yang menjadi korban dalam mendirikan Tembok Besar itu. Sebenarnya jutaan jiwa melayang sebagai korban, namun kita sudah tidak tahu lagi berapa banyak korban berjatuhan. Ia justru bercerita, tentang beberapa kisah menarik, di antaranya adalah kisah sepasang suami istri yang terpisah. Setelah bertahun-tahun berpisah, sang istri menuju ke Tembok Besar dan menangis ketika sang suami tak kunjung ditemui. Saat itu ada hampir 10 meter Tembok Besar hancur dengan sendirinya dan tampak di bawah bekas tembok itu tulang belulang sang suami.

Kemudian penulis menanyakan, bagaimanakah ‘penjatahan’ orang-orang yang harus membangun Tembok Besar itu, adakah dengan cara distrik tertentu ‘menyumbangkan’ tenaga dalam jumlah tertentu, si wanita itu tidak dapat menjawab karena ia tidak tahu. Dengan demikian penulis tetap tidak tahu apakah sistem yang digunakan dalam kerja rodi dalam pembangunan sangat besar dan berlangsung sangat lama itu. Juga tidak diceritakan tentang bagaimana para pekerja dan para prajurit yang mempertahankannya mempersiapkan suplai barang-barang yang mereka butuhkan untuk tetap bertahan hidup. Cerita yang hampir satu jam lamanya itu hanya menyebutkan ‘kehebatan’ Tembok Besar, tetapi tidak membahas mereka yang mendirikan dan mempertahankannya.

Ternyata, Tembok Besar yang memerlukan waktu seribu tahun untuk berdiri, hanya berguna untuk 1.500 tahun lamanya. Dalam abad ke-19 Masehi, serangan militer dari pihak Barat’, datangnya melalui Sungai Yangtze Kiang dan Sungai Mutiara di kawasan Guangzhou saat ini. Demikian pula, suku-suku minoritas di sebelah utara Tembok Besar, hampir seluruhnya sudah mengikuti cara hidup suku bangsa Han, dan menjadi bangsa Tionghoa. Apalagi ketika Partai Komunis Tiongkok (PKT) mulai berkuasa di tahun 1949, Pengadilan Rakyat yang diperintahkan bekerja oleh Mao Ze-Dong, menjatuhkan keputusan menembak mati sebanyak 12 juta jiwa ‘orang kaya’ di seluruh Tiongkok. Tidak ada lagi kekuatan militer yang akan berani mengangkat senjata terhadap pemerintah pusat di Beijing. Yang tinggal hanyalah sejumlah sangat kecil kaum fundamentalis Budha, yang akhirnya berhasil ditumpas juga oleh pemerintah. Dengan demikian, sistem politik yang bertahan terhadap serangan-serangan kaum minoritas dengan mendirikan Tembok Besar, akhirnya berganti menjadi ‘pertahanan non-fisik’, berupa sistem politik baru yang selalu berbicara tentang ‘kesatuan bangsa dan slogan-slogan lain yang sejenis. Kita boleh tidak setuju akan hal ini, tetapi itulah kenyataannya.

Penulis terpana mendengar cerita itu, tergambar di mata hal-hal yang tidak diceritakan ketika jutaan orang yang menjadi korban jiwa dari gagasan ‘kedaulatan nasional’ yang terasa cengeng. Tetapi, bukankah ini terkait dengan nasib dan harapan berjuta-juta rakyat petani dan pengrajin yang dilindungi oleh Tembok Besar itu? Bukankah upaya mendirikan Tembok Besar itu adalah bagian dari kerja sangat besar untuk bangsa Tionghoa? Itu memang benar, tetapi adilkah rasanya kalau berjuta-juta rakyat menjadi korban, sedangkan para elit politik di berbagai kerajaan yang silih berganti itu, dengan tenang menjalani kehidupan serba nikmat? Hotel-hotel dan restoran-restoran di Beijing, serta rumah-rumah mewah dari masa lampau, menjadi saksi akan hal ini, tidak dapat dibantah oleh siapapun.

Bahwa Mao dan kawan-kawan paling tidak harus turut mengikuti ‘perjalanan panjang’ (long march) dari provinsi Yenan sejauh 10.000 km lebih, menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus selalu dekat dan mengikuti ‘nasib kehidupan’ rakyat banyak. Hal ini tidak dilakukan oleh para penguasa yang memerintahkan didirikannya Tembok Besar. Orang boleh saja tidak sependapat dengan Mao, tetapi dalam hal ini tokoh tersebut telah menunjukkan kepemimpinan ‘yang merakyat’. Juga saat ini, pimpinan RRT dimulai oleh Deng Xiaoping telah menunjukkan orientasi pembangunan yang memikirkan kepentingan orang banyak. Bukankah ini berarti adanya ‘hak’ untuk meminta pengorbanan dari rakyat banyak? Inilah pertanyaan abadi yang belum ada jawabannya hingga saat ini. Sejarahlah yang akan menajwab, karena perkembangan keadaan belum selesai berlangsung dalam kenyataan.

Penulis mendapat cerita dari Pak Muhammad, salah seorang pendiri BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia) yang kemudian hari menjadi BAKIN dan sekarang BIN. Ia diperintahkan oleh kolonel (pada waktu itu, dan terakhir Jenderal Besar) A.H Nasution, melalui H Zulkifli Lubis, agar menghadapkan moncong meriam-meriam ke arah Istana Merdeka tanggal 17 Oktober 1952. Kemudian ia masuk ke dalam Istana Merdeka, meminta Bung Karno menyerah dan keluar dengan mengangkat tangan. Bung Karno menjawab, ia dipilih oleh rakyat dan tidak akan meninggalkan Istana Merdeka jika perlu, agar Muhammad menembakkan meriam-meriam itu ke Istana, dan biarlah Bung Karno mati bersama puing-puing Istana Merdeka akibat tembakan berbagai meriam itu. Karena Muhammad tidak berani, ia meninggalkan tempat tersebut dan melaporkan hal itu kepada Nasution. Oleh Muhammad meriam-meriam itu di balik moncongnya, sehingga menjadi meriam-meriam yang mempertahankan Istana.

Dari contoh di atas tampak bahwa saat ini para pemimpin negara kita tidak ada yang melakukan hal itu. Mengapa? Karena mereka hanya memperjuangkan kepentingan sendiri, paling tinggi kepentingan golongan. Mereka pun lalu menjadi sama dengan para kaisar yang memerintahkan didirikannya Tembok Besar lebih dari 2000 tahun yang lampau. Inilah rahasia dari perjuangan para pemimpin dalam sejarah manusia. Ada yang membela kepentingan rakyat ada yang tidak. “Monumen-monumen” peninggalan mereka akhirnya hanyalah menjadi lambang penderitaan umat manusia saja. Tentu saja, banyak yang menjadi peninggalan-peninggalan seperti itu, seperti Piramid di Mesir dan ‘Taman Bergantung’ dari Babilonia di Iraq, seperti juga halnya Candi Borobudur di negeri kita memang mengagumkan, tapi hal itu tidak lain hanyalah lambang penderitaan belaka. Hal ini termasuk proses melestarikan dan membuang yang umum terjadi dalam sejarah manusia, bukan?