Mengapa Mereka Marah?
Oleh K.H. Abdurrahman Wahid
Seorang kawan menanyakan, mengapa banyak pemuka masyarakat Islam marah kalau mendengar sebutan “kaum fundamentalis”, atau tersinggung kalau ada orang membicarakan “issue negara Islam”. Pertanyaan yang patut direnungkan, karena ia menunjuk pada perkembangan sangat kompleks dalam kehidupan bermasyarakat kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, tidak hanya di negeri kita.
Pertanyaan kompleks sudah tentu tidak dapat dijawab sederhana. Membutuhkan renungan yang dalam, juga tidak kurang keberanian moral untuk melihat masalahnya dengan jernih. Dengan tidak hanyut oleh luapan marah, atau ketakutan yang disembunyikan rapat-rapat di balik kebanggaan akan peranan kesejarahan diri sendiri, atau kegairahan menudingkan jari terhadap kesalahan “pihak lain” dalam percaturan politik, kultural dan keagamaan yang dihadapi.
Juga memerlukan kesanggupan untuk menelusuri mana wilayah kehidupan yang hakekatnya menjadi “agenda pemikiran” kaum muslimin, dan membedakannya dari agenda semu yang kini dijajakan sebagai pertanda kebangunan kembali Islam.
Pengagungan Diri
Kaum muslimin di mana-mana terbagi dalam dua kelompok utama: mereka yang mengidealisir Islam sebagai alternatif satu-satunya terhadap segala macam isme dan ideologi, dan mereka menerima yang menerima dunia ini “secara apa adanya”.
Pihak pertama menganggap Islam telah memiliki kelengkapan cukup untuk menjawab masalah-masalah utama umat manusia. Tinggal dilaksanakan ajarannya dengan tuntas, tak perlu lagi menimba dari yang lain. Karenanya, kalau dianggap perlu ada dialog dengan keyakinan, isme atau ideologi lain, haruslah ia diselenggarakan dalam kerangka menunjukan kelebihan Islam.
Seonggok “pembuktian” diajukan – umumnya dengan mengemukakan jawaban idealistis yang pernah dirumuskan Islam. Sudah tentu jawaban itu dilandaskan pada sejumlah pengandaian serba idealis pula: kalau saja umat manusia mau mengikuti ajaran Islam (padahal kenyatannya tidak), jika para pemimpin menggunakan moralitas Islam (padahal hanya satu dua orang saja yang mampu), dan seterusnya.
Postulat-postulat formal Islam diajukan sebagai jawaban terhadap kemelut kehidupan masa modern: ayat-ayat Qu’ran dan hadits Nabi sebagai tolok ukur lahiriah satu-satunya bagi “kadar keislaman” segala sesuatu yang dikerjakan.
Tidak heran kalau sikap kritis terhadap keadaan sendiri tidak dapat dikembangkan sepenuhnya – terhalang oleh “sudah sempurnanya” Islam sendiri. Lalu menjadi wajar juga kecenderungan untuk hanya mampu mengagungkan diri sendiri, yang memandang remeh perkembangan. Perkembangan apa pun di luar keasyikan kita dengan kehebatan Islam lalu tidak memiliki nilai yang tinggi.
Kalau perkembangan di luar tidak dapat diabaikan dicarikanlah alasan untuk menghindarkan pemikiran mendalam atasnya: ini buah pikiran komunistis, itu ide sekuler, dan seterusnya. Semakin besar kenyataan di luar menghadang ufuk pandangan kita, semakin hebat upaya melarikan diri dari perwujudan kongkritnya.
Kalau diajukan pemikiran untuk mencari jawaban kongkrit (bukan hanya idealistis) dengan jalan menghadapkan ajaran Islam pada kerangka berfikir baru yang bersumber pada isme, keyakinan dan ideologi lain, maka cap kemurtadan, kekafiran dan (lagi-lagi) sekuler dipakaikan pada usul itu sendiri.
Mental Benteng
Timbullah apa yang kemudian dinamai sejumlah pengamat sebagai ‘mental-benteng’: Islam harus dipagari rapat-rapat dari kemungkinan penyusupan gagasan yang akan merusak kemurniannya. Tanpa disadari, mental seperti itu justru pengakuan terselubung akan kelemahan Islam. Bukankah ketertutupan hanya membuktikan ketidakmampuan melestarikan keberadaan diri dalam keterbukaan? Bukankah isolasi justru menjadi petunjuk kelemahan dalam pergaulan?
Kalau kepada sikap jiwa seperti itu diajukan tuduhan oleh pihak luar akan adanya fundamentalisme, atau tentang masih adanya pemikiran mendirikan “negara Islam”, jelas rasa marah yang muncul sebagai reaksi. Bukankah karena ketakutannya terhadap “pengaruh negatif” luar, ia lalu curiga terhadap semua pendapat “orang luar” tentang dirinya? Bukankah kepekaan adalah hasil dari sikap mengunci pintu seperti itu?
Padahal penamaan sebagai kaum fundamentalis tidak ditunjukkan kepada semua kaum muslimin yang mengidealisir Islam dan menempatkannya sebagai alternatif tunggal bagi semua Isme, keyakinan dan ideologi yang ada. Cukup besar jumlah idealis muslimin yang mampu menerima isme-isme lain, dan melihat peranan agama mereka dalam fungsi mengarahkan isme-isme itu bagi kebutuhan hakiki umat manusia, entah nasionalisme, sosialisme dan seterusnya.
Banyak sekali idealis muslimin yang melihat ideologi formal negara sebagai pengatur pergaulan politik, sedang Islam difungsikan terutama dalam pergaulan sosio-kultural. Jelas tidak semua kaum idealis muslimin fundamentalis. Kalau demikian mengapa hampir semua “idealis muslim” marah terhadap istilah diatas, atau terhadap anggapan masih adanya aspirasi mendirikan “negara Islam” dan sebangsanya?
Karena mereka mengurung diri dalam benteng mental yang mereka dirikan. Semua penamaan “dari luar” lalu dianggap mengenai semua warga benteng, sebagai tuduhan serampangan dan prasangka buruk terhadap semua muslimin idealis yang berada dalam benteng. Simplifikasi permasalahan adalah metode pemikiran mereka, sehingga pemberian nama apapun yang dirasakan tidak simpatik dianggap ancaman.
Memang jauh implikasinya bagi masa depan perkembangan Islam. Tapi sebenarnya kita tidak usah pesimistis dengan sikap jiwa seperti itu. Mengapa? Karena itu akan berkurang dengan sendirinya, kalau proses pendewasaan telah mempengaruhi cara berfikir.
Ini hukum alam. Berlaku baik untuk muslimin maupun yang bukan.