Kata Pengantar Buku: Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
SEORANG awam mendatangi Nabi Muhammad, dan bertanya di manakah Tuhan berada. Nabi menjawab dengan pertanyaan, di manakah Tuhan menurut orang itu? Penanya tersebut lalu menjawab bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Nabi lalu membenarkan ucapannya itu. Para sahabat Nabi lalu mempersoalkan hal itu, sepeninggal orang tersebut. Mengapakah Nabi mengatakan Tuhan berada di langit, nun jauh di atas, padahal bukankah Ia berada di mana saja, karena la tidak terikat ruang dan waktu, serta tak mengenal bentuk? Dijawab oleh Nabi, bahwa bagi orang tersebut, Tuhan berada di atas, dan itu sudah cukup baginya.
Riwayat tersebut menggambarkan betapa sulitnya menerangkan hakikat agama kepada manusia. Keserba agungan Tuhan dan kemaha-mahaan lainnya yang dimiliki-Nya, tak dapat dijelaskan secara tepat kepada manusia. Sebabnya mudah saja: keterbatasan kemampuan manusia untuk menangkap kebesaran Tuhan. Kebesaran-Nya yang demikian mutlak, meniadakan kemampuan untuk hanya menetapkan satu cara saja untuk memahami-Nya. Dengan kata lain, pemahaman akan hakikat Tuhan mau tidak mau lalu mengambil bentuk berbeda-beda. Dan dengan sendirinya pemahaman itu sendiri lalu berderajat. Tidak sama tingkat pemahaman Tuhan dari manusia ke manusia lainnya. Ada yang memahami-Nya demikian sederhana, seolah-olah Tuhan adalah sesuatu yang tidak kompleks sama sekali. Tuhan yang demikian adalah Tuhan yang dipahami secara sesisi: Maha Pemarah, Maha Penghukum, Maha Pembalas, dan seterusnya. Kepada manusia Ia adalah wajah kekuasaan yang mengerikan dan menakutkan, selalu siap dengan hukuman dan siksaan-Nya. Ia langsung menghukum setiap kesalahan, kelalaian, dan kealpaan, bahkan sering kali hukuman-Nya sudah dijatuhkan sebelum kematian manusia dan ketika dunia belum kiamat. Penyakit menular dari sampar sampai cacar, bencana alam dari gempa bumi sampai banjir dan gunung meletus dan penindasan oleh bangsa-bangsa lain dijadikan contoh dari hukuman Tuhan itu.
Tuhan yang sesisi itulah yang paling banyak mencengkam benak manusia, dari masa ke masa dan dari agama ke agama. Hubungan Tuhan dan manusia dalam pemahaman seperti itu sangat bersifat mekanistik. Kau berjasa kepada Tuhan, kau akan diganjar dengan pahala. Sesuai dengan bagianmu, akan kau peroleh salah satu dari deretan sekian banyak imbalan, mulai dari kolam susu sampai bidadari ayu. Sebaliknya, kalau kau bersalah, hukuman akan jatuh dengan sendirinya. Boleh pilih, menurut tingkat dosamu, dari potong lidah hingga masuk penggorengan raksasa atau dipanggang menjadi manusia guling (ekuivalen kambing guling dari kehidupan dunia). Hubungan Tuhan dan manusia adalah hubungan hitam-putih, dengan spektrum sangat sempit dan tidak ada kemungkinan derajat pilihan cukup besar untuk mewadahi begitu banyak keragaman antarmanusia. Kalau ini yang dijadikan pola kehidupan beragama, masing-masing lalu berada pada kesempitannya sendiri. Jangankan dengan pemeluk agama lain, dengan sesama pemeluk satu agama pun akan terjadi perbedaan tajam. Pemahamanku adalah satu-satunya pemahaman yang benar, dan kau kafir karena kau berbeda dari pandanganku, dus kau bersalah. Neraka adalah bagianmu, dan surga adalah bagianku.
Tak dapat diingkari lagi, pendekatan seperti itu terhadap agama tentu akan dipenuhi oleh keruwetan hubungan antarmanusia, yang sebenarnya justru jauh dari hakikat agama. Salah satu ciri utama agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas-batas perbedaan antarmanusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan umat manusia dari kungkungan kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Manusia yang tidak mampu membebaskan diri dari kungkungan itu sudah tentu tidak dapat mengangkat diri menuju pengembangan sifat-sifat keilahian yang hakiki dalam dirinya, padahal itulah yang justru diminta oleh agama dari manusia. Jadilah bayangan Tuhanmu, agar kau mampu mencintai-Nya, adalah inti dari imbauan agama kepada manusia. Bagaimana mungkin kau mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan dalam ukuran paling tepat, kalau kau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai mereka?
Tidak heranlah jika kaum mistik lalu mendambakan keintiman langsung antara manusia dan Tuhannya. Dari para pertapa Hindu dan Budha hingga pendiri ordo Katolik dan para Sufi Muslim, mereka semua mendambakan kecintaan timbal-balik yang tulus antara Tuhan dan makhluk-Nya. Tuhan dilihat sebagai totalitas kebaikan dan kasih-sayang, dan manusia dilihat sebagai penerima kebaikan dan kasih-sayang itu. Karenanya, ia menerima Tuhan dengan kecintaan mutlak dan penghargaan setulus-tulusnya. Terasa benar kedua hal itu dalam ungkapan Sufi wanita Rabi’ah Al-‘Adawiyah: Ya Allah, tiadalah kusembah Engkau karena takut neraka-Mu atau tamak surga-Mu, melainkan kusembah Engkau karena Kau-lah zat tunggal yang patut kusembah. Luluhlah semua perintang di hadapan kecintaan seperti itu, hancurlah semua penghalang di muka ketulusan begitu mutlak.
Memang tidak semua manusia dapat sampai ke tingkat pemahaman Ketuhanan seperti itu, karena memang ia adalah tingkatan khusus untuk sejumlah orang suci saja. Namun, ia sepenuhnya benar sebagai tolok ukur ideal bagi pemahaman yang seharusnya dimiliki manusia akan Tuhan-Nya. Nabi Muhammad menggambarkan bahwa Tuhan adalah sebagaimana dibayangkan oleh kawula-Nya, dalam arti la mampu mengisi segala rongga yang ada di benak manusia, dan semua sudut yang ada dalam hatinya. Al-Qur’an mengajarkan bahwa “Tuhan lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya sendiri”, namun pada saat yang sama la “duduk tegak di tahta-Nya”. Ini berarti la lebih besar dari apa pun rumusan manusia akan hakikat-Nya yang Maha Sempurna. Sia-sialah upaya menjaring Tuhan hanya ke dalam sebuah pengertian saja. Seperti dikatakan para ulama Muslimin, boleh kalian rumuskan apa saja tentang Tuhan, tetapi jangan tentukan mekanisme kerja-Nya dalam menciptakan alam dan mengaturnya sekali. Boleh kalian sifati Tuhan dengan seberapa pun sifat yang dapat kalian kumpulkan, namun jangan tanyakan bagaimana sifat-sifat Tuhan itu menyatu dengan Zat-Nya. Jangan sebutkan bagaimana, kata Imam Hambali, bila kaifa dalam bahasa Arabnya.
Gambaran keluasan wawasan Ketuhanan yang seharusnya dimiliki manusia, seperti dicoba untuk digambarkan di atas, rasanya merupakan “pintu masuk” yang tepat bagi buku Romo Y.B. Mangunwijaya ini. Penulisnya melihat hubungan manusia dan Tuhan dalam ketakterhinggaan ufuk Ketuhanan itu, yang melampaui semua perbedaan antarmanusia dan menjembatani semua kesenjangan dalam kehidupan dunia. Manusia pertama-tama tidak dilihat sebagai obyek “garapan Tuhan saja, melainkan sebagai pelaku aktif yang dituntut untuk mewujudkan pandangan keagamaannya dalam kehidupan nyata. Kalau boleh dirumuskan secara global, penghayatan iman seperti itu adalah penghadapan dan pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Keimanan bukanlah sesuatu yang abstrak dan berdiri sendiri lepas dari kehidupan, melainkan ia merupakan bagian utama dari kehidupan, karena ia harus mengarahkan kehidupan itu kepada suatu keadaan yang dikehendaki Tuhan.
Karena Tuhan adalah Tuhan yang Baik, Pemaaf, Pemurah, dan Pengasih, maka manusia tidak dapat lepas dari keharusan mewujudkan dalam dirinya sifat-sifat tersebut. Upaya mewujudkan sifat-sifat Tuhan itu dalam diri manusia tidak dapat berarti lain dari keharusan berbuat baik kepada sesama manusia, bersikap murah hati kepada mereka, mudah memaafkan kesalahan mereka, dan senantiasa berusaha mengasihi mereka. Sudah tentu tuntutan itu berujung pada keharusan manusia untuk senantiasa memikirkan kesejahteraan bersama seluruh umat manusia, bahkan kesejahteraan seluruh isi alam dan jagad raya ini. Tuntutan keagamaan seperti itu mengharuskan tumbuhnya pandangan tersendiri dalam diri manusia, dan itu akan diperoleh manakala religiositas ditanamkan dalam dirinya sejak masa anak. Bahwa “pendidikan agama” yang konvensional selama ini hanya menekankan penguasaan rumusan-rumusan abstrak tentang Tuhan dan penumbuhan sikap formal yang menyempitkan wawasan anak tentang Tuhan, akhirnya mendorong penulis buku ini untuk mencoba memetakan secara sederhana bagaimana seharusnya religiositas anak dikembangkan dan dibina.
Dalam kitab Al-Hikam, penulisnya merumuskan sebuah sikap yang sangat fundamental dalam mendidik religiositas: jangan temani orang yang perilakunya tidak membangkitkan semangatmu kepada Allah dan ucapan-ucapannya tidak menunjukkan kamu ke jalan menuju Allah. Kesadaran dan pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan percontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan. Keteladanan adalah kata kunci dari kerja mengembangkan religiositas dalam diri anak. Keimanan anak adalah sesuatu yang tumbuh dari pelaksanaan nyata, walaupun dalam bentuk dan cakupan sederhana, dari apa yang diajarkan. Karenanya, Tuhan yang abstrak tidak akan menciptakan religiositas, karena la tidak tergambar dalam keteladanan yang kongkret. Berikan kepada anak sosok Tuhan yang sangat abstrak, dan ia hanya akan menjadi beo peniru rumusan tanpa mampu memiliki religiositas sedikit pun. Letakkan pemahaman anak itu akan Tuhan dalam bentuk yang kongkret, yang dapat diwujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan ia akan mengembangkan dalam dirinya religiositas penuh. Religiositas yang merasa prihatin oleh gugahan keprihatinan orang lain yang tidak seberuntung dirinya. Religiositas yang dalam lingkupnya sendiri mampu membuat anak itu di kemudian harinya mempertanggungjawabkan keimanannya sendiri kepada kehidupan.
Sebuah kisah menarik dari khazanah kaum Sufi dapat dikemukakan di sini. Seorang wanita saleh tidak mau memberi minum kepada kucing yang dikurungnya, hingga kucing itu mati. Sedangkan seorang wanita pelacur suatu ketika menolong anjing yang tersesat di padang pasir dari kematian karena kehausan, dengan jalan memberikan kepada anjing itu persediaan terakhir air minumnya. Dilakukannya hal itu dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri. Di hari kiamat, sang wanita saleh dimasukkan neraka, karena kekejamannya jauh melampaui kesalehannya, sedangkan sang pelacur masuk surga karena kasih-sayangnya menyelamatkan makhluk lain, dan itu melebihi semua kesalahan dan kebobrokan moralnya. Mungkin dalam cerita inilah dapat ditemui gambaran kongkret akan religiositas, jika dimaksudkan dengan itu pertanggungjawaban keimanan kepada kehidupan. Religiositas dalam arti pemahaman bahwa ajaran formal agama belaka tidak akan mampu membentuk keimanan yang mampu meneropong kehidupan dalam segala keluasan dan kelapangannya. Ajaran formal itu masih harus dikongkretkan dalam sikap-sikap yang menghargai kehidupan dan memuliakan kedudukan manusia. Religiositas yang tidak terpaku pada pembenaran diri sendiri atau ajaran sendiri saja, melainkan yang sanggup membuat manusia menghargai sesamanya, betapa jauhnya sekalipun perbedaan antara mereka dalam keyakinan agama.
Tuhan yang ditanamkan pada diri anak, kalau diikuti garis pemahaman tersebut, adalah Tuhan yang mewujudkan diri dalam bentuk kongkret bagi anak. Tuhan milik anak, bukan hanya Tuhan milik kaum agamawan, apalagi Tuhan yang dimonopoli para teolog. Kalau Romo Mangunwijaya dalam buku ini meminta pengembangan anak yang menjadi milik Tuhan, dengan segala keindahan yang ada pada diri anak seperti itu, maka di akhir kata pengantar ini patutlah disambut ajakan itu dengan mengimbau agar hal itu dicapai melalui pengembangan wawasan yang akan menampilkan Tuhan yang menjadi milik anak. Menjadikan Tuhan milik anak, agar anak menjadi milik Tuhan, kalau meminjam peristilahan masa kini (seperti menyadarkan masyarakat dan memasyarakatkan kesadaran).
Mampukah kita semua, dengan melupakan semua perbedaan agama dan keyakinan masing-masing, melakukan kerja itu?