Dimensi Kehalusan Budi dan Rasa
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Di tengah kecenderungan memanasnya suhu politik, terutama menjelang dilaksanakannya Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998 ada baiknya kita menengok salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting namun sering kali diabaikan, yakni unsur kehalusan budi dan rasa. Kalau kita hanya terlalu banyak memberikan perhatian kepada dimensi keyakinan dan kebenaran, maka kehidupan kita akan terasa kering. Kehidupan akan menjadi sangat ideologis, sangat formal, dan sangat sarat dilingkupi oleh aturan-aturan. Padahal tidak tertutup kemungkinan aturan-aturan itu justru akan menjerat manusia dalam pola kehidupan menghadapkan satu dengan yang lain. Apabila manusia terlalu banyak memberikan tempat kepada rasio, kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kepada sikap memperhitungkan segala sesuatu an sich, maka dengan sendirinya manusia juga akan mengalami kekeringan batin. Manusia akan mengalami kegalauan perasaan. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi pada analisis para pakar terakhir temyata tidak mampu memecahkan segala masalah yang ada. Bahkan kemungkinan ia menjadi tambahan masalah yang baru.
Setiap kali kita menemukan penemuan ilmiah yang baru, muncul pula dampak negatifnya bagi kehidupan manusia. Penemuan plastik, misalnya, semula sangat menggembirakan, karena mampu memberi fungsi yang lebih efektif, ringan, dan murah. Tetapi temyata ujung-ujungnya mendatangkan malapetaka. Antara lain dapat menjadi penyebab tersumbatnya saluran-saluran air dan pada akhimya menjadi penyebab banjir di kota-kota. Terakhir, teknologi kloning, dari segi iptek merupakan penemuan luar biasa, tapi temyata sekarang mendatangkan kecemasan jika diterapkan pada manusia. Maka jika kita hanya berbangga-bangga dengan iptek semata, kita akan kehilangan dimensi kehidupan yang paling berharga,yakni adanya pengertian dalam keseimbangan hidup.
Kehidupan akan timpang manakala kita mengabaikan kehalusan budi dan rasa, jika kita mengabaikan apresiasi yang benar terhadap kehidupan. Sekalipun terkadang apresiasi itu tidak sejalan dengan ideologi dan keyakinan rohani. Sebagai contoh, seorang sahabat saya, K.H. Mustofa Bisri memberi nama mushalla di belakang rumahnya dengan Pasujudan. Nama itu diprotes dan diributkan orang. Gus Mus dianggap terlalu kejawen dan abangan.
Padahal yang dilakukannya adalah dengan kehalusan rasa ingin mencari makna kata lain yang lebih halus dan mushalla, yakni pasujudan, yang berarti bersujud kepada Allah SWT, meletakkan muka di lantai dengan menelungkupkan badan, dan merasakan diri sebagai makhluk yang paling hina di hadapan kemahakuasaan Allah SWT. Mereka yang memprotes sebenamya dilatarbelakangi oleh minimnya rasa halus yang mereka miliki. Mereka hanya berpegang pada aturan-aturan dan kelaziman-kelaziman. Di sinilah arti penting rasa halus.
Jika kita tidak memiliki kehalusan rasa terlalu gampang terlanda kesalahpahaman. Satu contoh lagi, sekitar sepuluh tahun lalu saya merasakan kehalusan, getaran yang sangat dalam dan luar biasa, yaitu saat Muslimat NU mengadakan rapat kerja nasional di Tegal, Jawa Tengah. Pada pembukaan rakemas itu tampil ibu-ibu Muslimat dengan pakaian hijau-hijau muda, tampak asri dan anggun. Bayangan saya seperti biasanya mereka akan mengalunkan Shalawat Badr. Tetapi yang terjadi ibu-ibu itu melantunkan tembang Jawa Ilir-ilir. Apa yang dilakukan Muslimat itu di luar tradisi NU, namun memberikan kesejukan yang luar biasa. Bukan hanya pada saya, tetapi pada ibu Menteri Urusan Peranan Wanita dan Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Di sinilah kita mendapati hal-hal yang halus merupakan sesuatu yang esensial dari kehidupan kita. Ternyata kehidupan itu memerlukan dimensi-dimensi yang lain.
Kehidupan kita juga tidak hanya diarahkan oleh kepastian-kepastian kebenaran ideologis, kebenaran yang formal. Kita ternyata juga memerlukan ketidakpastian, kebimbangan, kegalauan, dan kesenduan. Dalam sebuah novel berbahasa Prancis—dalam bahasa Indonesia berjudul Gerbang yang Tertutup— dikisahkan seorang gadis bernama Allisa. Dia mencintai sepupunya. Kegalauan gadis Allisa terombang-ambing oleh rasa cinta, rasa takut, dan rasa bimbang, yang akhimya justru menghaluskan perasaannya. Membawa diri kepada kesadaran bahwa di balik semua itu yang mengacaukan, membingungkan, dan menggalaukan, tampak yang abadi, yaitu Tuhan. Karena itulah hanya orang-orang yang mendapati kebesaran Tuhan dalam konteks ini, maka bagi merekalah jalan untuk membuka gerbang yang tertutup itu menjadi sangat luas. Sedemikian besar pengaruh ketokohan dan sosok Allisa dalam diri saya, sehingga nama itu saya berikan untuk putri pertama saya. Dari sini kita dapat memahami seni dan budaya berfungsi agar hidup kita tidak terlalu serba pasti dan tidak serba benar.