Hanya Mengambil Hikmah
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pada subuh pagi hari itu, saya terkejut mendengar telepon berdering. Kira-kira pukul 5.30 WIB, Putri Ketua Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) Timor dengan suara penuh penderitaan menyatakan tentang apa yang mereka alami sehari sebelumnya. Ayahnya sedang pergi ke Jakarta, ibu dan adik-adiknya mengungsi ke rumah tetangga. Sedangkan, dia sendiri menelepon dari toko milik tetangga yang sudah hancur berantakan oleh para perusuh. Dengan suara pilu, dia menceritakan semua peristiwa itu dan, pada saat itu juga, dia telah menghubungi aparat keamanan setempat untuk minta perlindungan, namun sia-sia belaka. Pihak aparat ternyata tidak datang. Jangankan menolong, untuk sekadar menengok pun tidak. Mereka hanya menyatakan tidak mampu berbuat apa-apa. Sekali lagi, dengan suara menangis dia memaparkan itu semua. Dan bertanya, pada siapa dia harus melaporkan semua peristiwa itu?
Saya tidak bisa menjawab atas semua pertanyaan itu, kecuali menyatakan aparat negara tidak mungkin lagi berfungsi dalam keadaan demikian. Bahwa, yang mereka hadapi bukanlah fenomena lokal, melainkan proyek dari Jakarta. Ada orang di tingkat elit yang menginginkan sesuatu dan ditempuhnya dengan mengacaukan keadaan. Orang-orang semacam ini yang sebenarnya melaksanakan perusakan tersebut. Sudah untung tidak ada penjarahan atau korban jiwa. Jadi, dia harus berdiri sendiri, membangun rukonya kembali tanpa mengharap pertolongan siapa-siapa. sedangkan keluarganya ditampung oleh tetangganya yang beragama Kristen.
Akhirnya saya dan si penelepon itu, yang dulunya pernah memasakkan makanan buat saya saat berkunjung ke sana, hanya bisa saling bertangisan di telepon. Karena ada orang yang bisa menjelaskan situasi sebenarnya, lalu dia mengerti apa yang terjadi dan tidak lagi mengharapkan pertolongan aparat keamanan. Dia akan mulai dari nol untuk membangun tokonya yang mudah-mudahan akan bisa membesar kelak di kemudian hari. Saya sendiri, hanya bisa menangisi nasib umat yang menjadi minoritas dan harus menerima nasib tanpa dapat memberikan pertolongan apa pun. Telepon ditutup dengan suara tangisan itu, dan sebelum harapan jadi hancur, tumbuh harapan lain akan masa depan yang lebih baik.
Lalu, apa pelajaran yang dapat dipetik dari semua peristiwa itu? Mula-mula adalah daya tahan pemilik toko dan anak-anaknya, yang notabene ketua Pengurus NU Timor di Kupang. Sebagai pemilik toko dan sekaligus orang organisasi, tentu memiliki daya tahan yang kuat. Tanpa pertolongan aparat pun mereka sekeluarga akan membangun kembali toko yang dimilikinya. Mereka akan berusaha kembali dan berdiri di atas kaki sendiri karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan.
Pelajaran berikutnya adalah kenyataan bahwa keluarga itu (minus sang ayah yang sedang berada di Jakarta) justru ditolong oleh tetangga belakang rumah yang beragama Kristen. Ini merupakan bukti yang kuat dari kenyataan eratnya hubungan antar-agama pada bangsa kita. Dan itu berarti, akibat dari perbuatan para perusuh yang merusak toko tersebut, ternyata malah menimbulkan hubungan yang baik antara pemilik toko yang beragama Islam dan tetangga sebelah yang beragama Kristen semakin kuat.
Hal yang sama juga terjadi di daerah lain yang jauh dari sana (Timor), yakni di Jakarta. Dua hari sebelum terjadi kerusuhan Kupang, tepatnya di daerah Jeruk Purut, Cilandak, ada tiga orang ninja yang masuk ke rumah K.H. Manarul Hidayat yang sedang bepergian ke luar kota, ke Kudus, Kejadian ini, sebenarnya juga berlatar belakang yang sama seperti halnya di Kupang, meskipun berbentuk lain. Namun, yang paling penting dalam kejadian ini, adalah kunjungan Romo Kardinal Darma Atmadja, S.J., ke rumah saya pada saat peristiwa itu terjadi. Pada tingkatan kami, yaitu level nasional, bukan tindakan saling mengumpat antara Islam dan Kristen. Kami justru hubungan kami semakin erat dan mengharap umat kedua belah pihak untuk tidak saling mengumpat, melainkan saling membantu.
Dengan demikian, bukankah ini berarti yang terjadi justru sebaliknya dari apa yang cita-citakan sang perusuh? Tegasnya, hubungan kedua belah pihak bukannya semakin renggang tapi justru semakin erat, baik pada sisi nasional maupun lokal.