Rekonsiliasi
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ketika gagasan Dialog Nasional dilontarkan, kontan saja ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) A.A. Baramuli menjawab tidak perlu. Bukankah sudah ada lembaga pemerintah yang bertugas di tingkat nasional? Apa tugas DPR kalau ada pihak yang masih menginginkan dialog nasional?
Ajakan nasional itu, di mata Baramuli sama dengan ajakan rekonsiliasi nasional. Mengapakah kita masih memerlukan hal itu, kalau tiap-tiap produk DPR harus diterima dan dijalankan? Bukankah itu berarti tiap orang harus menerima undang-undang, yang berarti tidak perlu lagi rekonsiliasi?
Maklumlah, Baramuli adalah ketua DPA, sehingga dalam melihat segala sesuatunya dari sudut formal saja. Kepadanya dapatlah dikatakan, bahwa yang dimaksud Letjen TNI Agum Gumelar adalah kesepakatan pada tingkat tersebut yang secara formalnya akan diundangkan. Dengan kata lain, dialog nasional yang dimaksudkan olehnya adalah pertemuan, tempat saling bertukar pikiran dengan hasil akhirnya akan diundangkan. Ini adalah proses politik, yang tidak dimengerti oleh Baramuli, karena mereka memang bukan politikus dalam arti luas, melainkan dalam arti sempit, kemampuan mengakali orang.
Keinginan mencapai kata sepakat sebelum hasil akhir dicapai adalah sesuatu yang mulia. Bahkan bila kesepakatan tunggal tidak bisa dicapai, karena orang masih berbeda paham juga, paling tidak membawa proses yang dimengerti semua pihak. Ini adalah kemenangan sistem bermusyawarah yang lebih luas daripada hanya melihat hal ini sebagai proses formal. Dengan kata lain, musyawarah tidak hanya bergantung pada resmi atau tidaknya, melainkan juga banyak atau sedikitnya peserta yang terlibat.
Pemikiran model Baramuli hanya didasarkan pada keinginan menang-menangan belaka, bukannya pencarian kesepakatan seluas mungkin di antara sesama komponen bangsa. Kalau pejabat sudah bermental seperti ini, bukankah keadaannya akan sangat mengkhawatirkan? Hal inilah yang harus menjadi pikiran kita begitu mengetahui pendapat seperti itu. Bila sikap ini adalah sikap umum pemerintahan di bawah Presiden Habibie, niscaya kesulitan akan kita hadapi di masa-masa mendatang.
Karenanya, pengertian kita akan dialog dan rekonsiliasi haruslah diperiksa kembali. Bahkan, kalau perlu ditata kembali, karena ternyata kesalahpahaman semacam itu terjadi pada tingkat setinggi itu. Mengapa perlu ditinjau dan diluruskan kembali? Karena kalau dibiarkan, maka akan terjadi kemacetan komunikasi, yang memerintah tidak paham apa yang diinginkan oleh yang diperintah. Bukankah tragis akibatnya, jika terjadi demikian?