Kata Pengantar: Pondok Pesantren Membangun Kehidupan Etik dan Membangun Kembali Tradisi Keilmuan Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Pondok pesantren selalu punya jurus baru, bukan karena tuntutan globalisasi atau karena modernitas. Karena pada hakekatnya pondok pesantren lahir untuk menjadi pembaru dari suatu yang kurang menentu bagi tumbuhkembangnya upaya membangun kehidupan yang etik dan bermoral. Tugas pondok pesantren mempersiapkan sumber daya manusia, menciptakan kader yang memiliki visi ke depan. Keseimbangan antara intuisi dan rasio yang memungkinkan sumber daya manusia kita itu tetap berpegang pada asas moral yang tinggi, tetapi juga mampu mengembangkan sikap hidup pragmatik yang bisa dipakai untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi. Pada giliran nanti, sumber daya manusia itu diharapkan memiliki skil dan keterampilan tehnis yang tinggi tetapi tidak kehilangan akar-akar budayanya.
Oleh karena itu pondok pesantren tidak boleh menyempitkan diri, pondok pesantren harus mampu melakukan lompatan-lompatan melalui peningkatkan kualitas sumber daya manusia. Memang ada beberapa hal yang menjadi constraint pondok pesantren itu melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti pelembagaan pondok pesantren itu belum selesai. Namun demikian, sesungguhnya perubahan-perubahan ke arah itu sudah mulai nampak. Dulu pondok pesantren itu sangat perorangan, belakangan ini dikelola melalui yayasan-yayasan. Harapan kita nantinya pondok pesantren mampu memasuki profesionalitas organisatoris. Profesionalisasi manajemen pondok pesantren ini yang mutlak perlu. Dan persoalan ini tentu menjadi tugas bersama semua kekuatan-kekuatan masyarakat, sebab jika hanya bergantung pada NU, maka ini akan menjdi “kurus”. Tugas Nahdlatul Ulama dalam konteks ini adalah mensuplai gagasan dan jaringan seperti melalui RMI (Robithoh Ma’ahid Islamiyyah), oleh karena itu pondok pesantren juga harus mampu membuat pola-pola lain yang mampu mengakomodir setiap kebutuhan yang lahir sebagai sebuah tuntutan, baik dengan pemerintah maupun dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang lain.
Peningkatan sumber daya manusia itu dimulai dari menciptakan wawasan, hal itu bisa langsung dilakukan oleh pondok pesantren. Nahdlatul Ulama sangat memiliki kaidah untuk melakukan hal tersebut, seperti: Qoidah Fiqh, Ushul Fiqh, Akhlaq. Lalu setelah itu aspek lainnya adalah pengembangan disiplin ilmunya. Hal itu penting agar para santrinya dapat berpikir rasional dan tidak terjebak dengan sesuatu yang bersifat takhayul belaka.
Bahwa Islam memiliki tradisi yang kuat dalam berpikir rasional dan dalam bidang ilmu pengetahuan di masa lampau, bukanlah pernyataan yang terdengar aneh. Kesaksian sejarah telah diberikan untuk itu, dengan munculnya begitu banyak ilmuan dan penemu yang berasal dari peradaban Islam. Bahkan cukup banyak sejarawan ilmu (science historians) yang menyebut peradaban Islam di zaman keemasannya sebagai “peradaban ilmu”. Tidak ada bidang ilmu pengetahuan dikenal di waktu itu yang tidak memiliki pemuka-pemuka dari kalangan kaum muslimin. Bahkan banyak cabang dan bidang baru dalam ilmu pengetahuan, yang dirintis dan diciptakan oleh sarjana muslim, seperti Aljabar. Demikian pula, beberapa cabang yang dikemudian hari dinamai ilmu pengetahuan modern, sebenarnya telah dirintis oleh para ilmuan muslim. seperti Sosiologi dan Filsafat Sejarah (Philosophy of History) yang dirintis oleh Ibnu Khaldun.
Walaupun demikian, kenyataan menunjukan bahwa peranan Islam dalam ilmu pengetahuan terus menerus menurun secara drastis sejak berakhirnya masa kejayaan dan keemasan peradaban Islam. Kaum muslimin bukan hanya kehilangan posisi memimpin yang dipegang selama berabad-abad di bidang ilmu pengetahuan, tetapi mereka justru dihina martabat mereka oleh bangsa-bangsa penjajah dan merekalah yang melanjutkan tradisi keilmuan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan mengalami kemandegan ditangan mereka, dan diambil oleh bangsa-bangsa penjajah.
Tradisi keilmuan dalam Islam bermula dari kedua sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah. Kedua sumber itu merupakan sekaligus batasan bagi ruang gerak para ilmuan Islam dan obyek penalaran mereka. Ruang gerak mereka dibatasi oleh ketentuan, bahwa mereka tidak diperkenankan untuk memikirkan Zat Tuhan dan hakikat-Nya, serta tidak dibolehkan mengembangkan “pengetahuan” yang dapat merusak alam dan umat manusia. Pembatasan tersebut berarti orientasi ilmiah para ilmuan Islam haruslah bersifat manusiawi dalam arti yang luas, dan memiliki dimensi moral yang kuat dalam dirinya.
Karena tradisi orientasi ilmiah mengalami kemandegan. akhirnya kaum muslimin banyak yang tidak berpikir rasional. Mereka hanya bisa berpikir romantisme tentang zaman keemasan peradaban Islam tanpa mau berpikir untuk kembali menguasai ilmu pengetahuan yang telah dicapai tersebut.
Kaum muslimin justru mempersempit tafsir bahwa Islam telah mengajarkan untuk tidak memikirkan Zat Allah dan hakekat-Nya, tidak boleh mengembangkan ilmu pengetahuan yang dapat menghancurkan atau merusak alam dan umat manusia, menjadi larangan bahwa ilmu pengetahuan Barat adalah pengetahuan yang merusak tanpa melihat kemajuan dan manfaatnya. Dengan legitimasi Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah kaum muslimin terus menerus menyatakan bahwa ajaran para ulama Islam dahulu masih sangat relevan, padahal jaman telah berubah dan menuntut rasionalisme dan pembaharuan dalam berpikir.
Dari paparan di atas, diharapkan pondok pesantren menjadi pioner bagi kemajuan ilmu pengetahuan, pembaru bagi pemikiran-pemikiran yang kolot, dan mulai berpiir rasional guna mencapai masa keemasan yang pernah dialami umat Islam dahulu.
Mungkin apa yang dikemukakan sebagai sumbangan pikiran di atas terasa agak sumir dan penuh dengan over simplikasi, namun dirasakan dengan mengemukakannya kita dapat memulai dialog yang dewasa dalam meneropong kemungkinan-kemungkinan bagi dinamisasi tradisi keilmuan dalam Islam, setelah sekian abad mengalami kebekuan.