Kata Pengantar Buku: Benih Perdamaian – Visi Buddhis Atas Pembaharuan Masyarakat
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam menanggapi pembangunan sebuah negeri, minimal ada dua pendapat yang berkembang. Di satu sisi, ada yang menganggap hal itu sebagai proses alami dari suatu yang tidak ada menjadi ada, karena manusia dengan teknologi dan pengetahuan yang dimilikinya mampu untuk mewujudkannya. Dengan demikian, unsur sumber daya manusia merupakan penentu yang akan mengolah sumber-sumber alam yang ada, bahkan ada kalanya tanpa sumber — sumber-sumber alam itu pun dapat dikembangkan sesuatu dari yang tadinya tak ada menjadi produk yang tersedia di pasar. Di sini, faktor modal menjadi sesuatu yang amat penting, karena ia menjadi bagian dari proses terwujudnya sebuah barang di pasar. Karena itu, modal menjadi sesuatu yang inheren dalam proses pembuatan barang yang menjadi sangat penting dan ditundukkan pada kebutuhan pasar.
Di sisi lain, ada yang beranggapan proses pembuatan barang melalui penggunaan modal dan pemakaian sumber daya manusia, tergantung seluruhnya pada struktur masyarakat yang dibangun. Karenanya, pemilik modal atau sang kapitalis sangat berkuasa, karena dengan modalnya itu ia mampu membuat struktur masyarakat sesuai kehendaknya. Unsur teknologi, prosedur penjualan barang, maupun hal-hal lain yang bersifat teknis, sangat ditentukan oleh susunan masyarakat yang dikehendaki sang pemilik modal. Dialah si maha kuasa dalam membangun struktur masyarakat, dan dengan demikian membentuknya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakannya. Teknologi, ilmu pengetahuan, dan bahkan agama, semuanya ditentukan kepemilikan modal tersebut. Karena itu, struktur masyarakat harus direbut dengan kekerasan, karena tidak memiliki modal. Diktum Mao Zedong bahwa kekuasaan lahir dari laras senapan, adalah bentuk lain dari pendapat agar struktur masyarakat dibentuk oleh pemegang kekuasaan.
Pendapat ini, adalah hasil dari analisa sosialisme yang melihat struktur masyarakat, dan dengan sendirinya susunan kekuasaan sebagai syarat terpenting dalam mewujudkan pembangunan. Pendapat ini, sebagai bagian terpenting dari analisa Marx dan Engel atas proses produksi barang dan hubungannya dengan struktur masyarakat, adalah penerusan dari pendapat Vladimir Ilyich Lenin yang memandang perlu adanya sebuah kelompok yang sadar akan pentingnya kekuasaan negara dalam menetapkan proses produksi barang, dan dengan demikian perlu adanya sebuah kelompok yang memegang kekuasaan dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat banyak, dan bukannya melayani kaum kapitalis yang mencari keuntungan bagi diri mereka belaka. Pendapat Lenin ini, yakni akan perlunya kaum komunis sebagai kelompok sadar akan artinya kekuasaan, ditentang halus oleh Milovan Djilas yang menganggap justru kaum komunis sebagai “kelas baru” (new class) yang menggantikan para kapitalis dan menggunakan sumber-sumber negara untuk kepentingan mereka saja, yang dibuktikan dengan adanya kaum Aparachik di kalangan partai Komunis di Uni Sovyet dan tempat-tempat lain.
***
Pendapat pertama adalah pendapat kapitalisme klasik, yang tidak menghubungkan proses pembuatan barang dengan struktur masyarakat yang ada. Dengan segala ketulusan hati, mereka melihat proses pembuatan barang dan penyalurannya melalui pasar, tidak ada hubungannya dan terlepas dari struktur masyarakat yang ada. Pendapat kapitalisme klasik ini, dipengaruhi pula oleh paham kapitalisme rakyat (Volks Capitalismus), yang antara lain diikuti oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Jackson dan Kanselir Jerman Barat Ludwig Erhard. Jackson berpendapat bahwa bank sentral AS (American Federal System) tidak hanya berfungsi melayani pemilik modal saja, melainkan juga melayani rakyat kebanyakan. Karenanya, bank sentral itu harus diangkat oleh Presiden atas usul Kongres, yang mewakili kepentingan warga negara secara umum. Pandangan ini secara sepintas lalu tampaknya menganggap entitas negara terlepas dari proses pembuatan barang, dengan demikian seolah-olah menjadi teori ketiga di samping Kapitalisme dan Marxisme.
Namun, dalam analisa lebih dalam tampak bahwa negara juga ditentukan oleh pemasukan pajak yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang ada, dan ini berarti peranan pemilik modal dalam menentukan jalannya proses produksi barang. Apalagi kalau diingat para birokrat tidak pernah mengindahkan struktur masyarakat, dan dengan demikian hanya menjalankan keinginan para pemilik modal. Karena ia tidak Marxistis, dalam pandangan ini ia berwatak kapitalistik. Di sinilah terletak keragu-raguan penulis akan pendapat ketiga ini, apakah ia hanya salah satu varian kapitalisme saja, atau ia merupakan pendapat yang independen dari Marxisme.
Pendapat Jackson yang dikemukakan oleh Arthur Schlesinger Junior dalam disertasinya pada Universitas Harvard dan kemudian diterbitkan hingga membuat dirinya diangkat menjadi intelek-istana (resident intelectual) oleh Presiden John F. Kennedy dalam tahun 60-an, serta pendapatpendapat Erhard dalam doktrinnya “sozial und marktwissen schaft” (asas kecukupan dan pilihan pasar) di tahun-tahun 50-an dan 60-an, jelas tidak lepas dari pandangan kapitalistik di atas. Kedua-duanya hanya melakukan modifikasi sampingan tanpa menyinggung pokok permasalahan yang ditanggapi Karl Marx dan Frederich Engels, yakni tentang hubungan antara struktur masyarakat dan proses pembuatan barang.
***
Dalam tahun-tahun terakhir ini, muncul pendapat lain. Menurut pendapat ini, struktur masyarakat juga ditentukan oleh keyakinan yang dimiliki masyarakat itu sendiri, karena itu tidak akan pernah ada masyarakat yang sepenuhnya kapitalistik maupun sosialistik. Dengan susunan masyarakat yang demikian itu maka ada faktor lain yang harus diperhitungkan dalam terbentuknya struktur masyarakat tersebut. Hal itu adalah sistem keyakinan yang dianut masyarakat tersebut, termasuk keyakinan agama. Adakah pandangan keempat ini merupakan paham di luar kapitalisme dan sosialisme, terus terang saja penulis tidak dapat menjawabnya.
Mengapa pendapat keempat ini meragukan penulis, adakah ia terlepas dari kapitalisme dan sosialisme? Keraguan ini datang dari kenyataan bahwa ia pun tidak mempersoalkan hubungan antara struktur masyarakat dan proses pembuatan barang. Pandangan ini tidak menunjukkan hubungan langsung antara keyakinan masyarakat dan kepemilikan modal, karenanya tidak dianggap independen. Tapi ia menunjukkan hubungan lain di luar kaitan antara struktur masyarakat dan proses pembuatan barang, yakni adanya ajaran-ajaran agama maupun keyakinan yang berdiri sendiri di luar kapitalisme dan sosialisme. Adakah pandangan ini memiliki eksistensi sendiri maupun liputan yang lain dari apa yang dikemukakan kapitalisme dan sosialisme?
Sulak Sivaraksa dapat dimasukkan dalam kategori keempat ini, karena ia mengambil langsung dari ajaran Buddha, tetapi ia juga menggunakan paradigma sosialistik. Adakah upayanya itu merupakan dimensi tersendiri, lepas dari materialisme yang dibawakan oleh kedua paham di atas? Jika ya, berarti paham keempat ini merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Bila tidak, ia hanya merupakan variasi belaka dari kedua paham yang saling bertentangan di atas. Hal inilah yang harus disadari sepenuhnya ketika membaca dan mengikuti pandangannya itu. Namun, hasil pertimbangan kita itu tidak mempengaruhi kita akan kenyataan bahwa Acharn (Guru) Sulak dengan gigih telah memperjuangkan demokratisasi masyarakat Thailand dan ingin membebaskannya dari sistem kekuasaan yang ada. Di sinilah ia menjadi Guru penulis, di samping kenyataan bahwa ia menolak penggunaan kekerasan oleh sistem kekuasaan yang ada. Kedua hal ini saja sudah mengekalkan namanya dalam sejarah Thailand, dan dalam kenyataan historis bahwa ia adalah pejuang Asia yang gigih dan tak kenal putus asa. Dengan menyatakan rasa hormat ini pada Acharn Sulak, penulis mengantarkan buku ini ke haribaan pembaca, dengan harapan mudah-mudahan dengan cara ini kegigihan perjuangannya dapat diwariskan kepada generasi mendatang.