Arah Dua Pola Kehidupan (1)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Penulis memulai pembahasan mengenai orientasi berlawanan dari masyarakat kita di pulau Jawa masa lampau, antara kerajaan Mataram dan kerajaan Majapahit. Bahwa banyak yang bersifat spekulatif dan tidak seluruhnya didukung oleh sumber-sumber tertulis (seperti riwayat hidup dan catatan-catatan) maupun ada bukti-buktinya berupa kronika keraton atau prasasti itu tidak berarti. Rekaan yang dibuat penulis di dasarkan pada kecenderungan-kecenderungan dan arus-arus sejarah, jadi mungkin ada benarnya walaupun tidak bersumber pada data-data otentik. Memang tidak “dapat dibuktikan” dengan data-data sejarah otentik, tetapi ke depan ia memiliki kegunaan tersendiri untuk menyusun orientasi langkah-langkah bagi kita di masa depan. Dalam hal ini, buku ini adalah sebuah “pengingat” bagi kita, untuk memahami masa lampau dengan sungguh-sungguh dan hati-hati, agar tidak mengulang kesalahan demi kesalahan masa lampau.
*****
Uraian ini dimulai dengan kenyataan, bahwa perkembangan masyarakat di pulau Jawa berangkat dari pola hidup agraris/ bertani. Ciri utamanya adalah lapangan hidup utama para penduduk adalah bercocok tanam, pemerintahannya sangat ‘tradisional’, masih banyak digunakan tahayul (superstisi) dan pertimbangan agama sangat dominan di dalamnya. Oleh Prof. Jan Romein, dalam bukunya berjudul “Aera Eropa” diberi nama Pola Kemanusiaan Umum I (Eerste Elgemeene Menselijk Patron) yang menjadi ciri seluruh masyarakat agraris yang ada pada masa itu, berumur lebih dari 1000 tahun. Pada abad VII SM, timbul krisis besar-besaran dalam pola ini, ditandai oleh munculnya sejumlah moralitas di beberapa negeri. Konghucu dan Lao Tse di daratan Tiongkok, Sidharta Gautama di India, Zarathustra di Persia dan Akhraton di Mesir muncul sebagai pembawa moralitas/ akhlak baru. Sidharta Gautama membawakannya dalam bentuk agama baru, yaitu agama Budha. Dalam moralitas baru itu, pengertian ketuhanan menjadi monotheistic (faham Tuhan yang satu) yang kelak “dikembangkan” dalam agama-agama yang baru, namun sering juga berwajah penghormatan kepada tradisi nenek moyang. Di pulau Jawa lahir kerajaan-kerajaan agraris seperti Kalingga (agama Hindu), Medang Kamulan (beragama Hindu di Jawa Timur), Baka (beragama Hindu di Jawa Tengah) dan sebagainya. Tetapi ada juga beberapa kerajaan pantai yang memiliki niaga atau hubungan perdagangan dengan kawasan-kawasan lain melalui sungai-sungai besar maupun laut, seperti Kutai (beragama Hindu di Kalimantan Timur) dan Sriwijaya (bergaama Budha di Sumatera Selatan).
*****
Pola tradisional yang digunakan, yaitu berdasarkan pada keyakinan adanya Tuhan disertai ketundukan kepada seorang Raja. Sistem birokrasi/ kepegawaian yang dijalankan mempunyai corak yang sama, walaupun kerajaan tersebut mendasarkan diri pada pertanian maupun pada niaga laut. Terjadi dua perkembangan yang berbeda dari dua titik yang berbeda pula, masyarakat agraris dan masyarakat niaga-laut. Perbedaan ini menjadi sangat penting, namun tidak pada masa itu dan baru pada tahap berikutnya, yaitu bermula pada abad XI Masehi. Sampai pada abad itu, kerajaan-kerajaan yang bertumpu pada niaga laut (sea trading nations) memperoleh hasil-hasil pertanian dari tempat-tempat lain atau dari daerah hutan di sekitarnya. Penduduk membuka ladang untuk menanam padi dalam ukuran kecil dengan cara membakar hutan seperlunya dan berpindah-pindah setelah panen.
Lambat laun cara bercocok tanam padi dan sebagainya atas tanah, sawah membentuk masyarakat-masyarakat agraris yang menetap (sedenter), dengan sistem kepegawaian di bidang pertanian dengan Raja pada hirarki teratas serta istana-istana / perang bala tentara yang dimilikinya. Lambat laun para perangkat abdi dalem itu memiliki tanah mereka sendiri dengan para pekerja yang bekerja untuk kehidupan mereka menjadi hamba sahaya. Perlahan berkembanglah masyarakat agraris dengan para pemilik tanah dan para penggarap yang semua bekerja untuk mempertahankan negara di masa perang dan menggarap tanah di masa damai.
Di pulau Jawa, kerajaan-kerajaan agraris itu memiliki tanah-tanah persawahan dalam kawasan terpisah, nantinya dari persawahan ‘kerajaan besar’ itu muncul negara-negara kecil (small states) di berbagai kawasan. Secara berkala kawasan itu terlibat dalam serangkaian peperangan yang dalam waktu beberapa abad memunculkan beberapa kerajaan. Sistem pemerintahan pun mengalami perubahan-perubahan. “Raja besar” menguasai sejumlah negara kecil dengan sejumlah raja-raja fatsal melalui sistem upeti. Karena itu, berdirilah sistem kepegawaian agraris permanen pula dan bala tentara permanen yang dapat bergerak-gerak kian-kemari dengan cepat, untuk melakukan tindakan kepada mereka yang dianggap “melawan”.
*****
Dalam percaturan politik dan militer antar negara-negara agraris, itu luas kawasan sebuah negara dibatasi hanya oleh sungai-sungai besar yang tidak dapat mereka kuasai, karena belum ada kemampuan membangun jembatan penghubung. Demikianlah sungai-sungai besar seperti Citarum, Ciliwung, Cisadane, Serayu, Bengawan Solo dan Bengawan Brantas merupakan batas-batas alami yang menentukan besar kecilnya negara itu. Dengan demikian timbul kerajaan-kerajaan agraris di berbagai tempat, seperti Pakuan di sekitar Bogor sekarang, Siliwangi di kawasan Ciamis hingga Kuningan, juga di sekitar Jogyakarta, dan Medang Kamulan di sekitar Magelang selatan.
Pada umumnya negara-negara pertanian itu memeluk agama Hindu, walaupun manifestasinya berbeda-beda dari satu tempat. Mereka tidak membentuk aliansi politik-militer, mungkin karena tidak melihat keperluan akan kerjasama longgar seperti itu. Terjadinya penyerbuan militer dari kerajaan laut Sriwijaya dari pulau Sumatera atas Kerajaan Kalingga yang beragama Hindu di Gunung Dieng -melalui daerah yang sekarang bernama Pekalongan- juga tidak mewujudkan terbentuknya aliansi-aliansi seperti itu. Karena komunikasi sangat sulit antara berbagai kerajaan agraris itu tidak memungkinkan pembentukan aliansi apapun antara mereka.
Pendudukan Sriwijaya -wangsa Syailendra- atas keluarga kerajaan Kalingga diikuti oleh pembuatan Candi Borobudur yang yang sangat megah dan menjadi salah satu keajaiban dunia. Ini memaksa sejumlah penduduk, dipimpin oleh para bangsawan akhirnya memunculkan “percampuran” menjadi para pemeluk agama baru (Hindu-Budha) dan manifestasi Candi Prambanan di Timur Yogyakarta, pada abad ke-X masehi. Segera saja ententitas baru itu terwujud, yang secara lambat-laun ditentang para pemeluk agama Budha yang berpusat disekitar Borobudur, dan akhirnya menimbulkan tekanan politik militer dan mungkin juga agama, atas diri para pemeluk agama Hindu-Budha di sekitar Prambanan itu. Mungkin mereka telah berhasil membangun kerajaan agraris kecil mungkin juga tidak. Memang mudah mengatakan beberapa agama dapat hidup berdampingan, tetapi sulit membuktikan dalam kenyataan bukan?.