Arah Dua Pola Kehidupan (5)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Sebelumnya penulis telah uraikan, lahirnya Kesultanan Demak merupakan kelanjutan dari proses Islamisasi yang secara politik dan militer “dihadapi” oleh anak Brawijaya V dari istri permaisuri Kencana Wungu. Sedangkan pihak Islam yang dikalahkan dalam pertempuran di Troloyo -lebih kurang sekilometer di sebelah timur Trowulan, terpaksa “berkorban” dengan gugurnya sejumlah tokoh-tokoh muslim, diantaranya Tan Kim Han/ Syeh Abdul Kadir Zaelani Al-Shini, Duta Besar Tiongkok untuk Majapahit. Masih terdapat sengketa mengenai Than Kim Han ini, karena sebenarnya ada yang menyatakan bahwa ia bukannya anak putri Campa istri selir Brawijaya V, melainkan menantunya. Sebuah versi menyatakan ia adalah saudara kembar dari Tan Eng Hwat, yang sebenarnya adalah anak putri Campa. Mana yang benar, kita tidak tahu tetapi yang jelas tokoh ini berhasil dilarikan oleh tokoh lain, yaitu Maulana Ishaq Al-Tabarqi
Than Eng Hwat dilarikan oleh seorang tokoh Arab, Maulana Ishaq Al-Tabarqi ke Gelagah Wangi. Di sanalah Maulana Ishaq atau Raden Fatah dengan didukung oleh wali sanga (sembilan), mendirikan Demak sebagai Kesultanan Islam pertama di pulau Jawa. Untuk menandai berdirinya Kesultanan tersebut ia minta para wali tersebut mendidirkan sebuah masjid yang sekarang di namai Masjid Agung Demak. Salah satu tiang yang ada, adalah tiang buatan Sunan Kalijaga, terbuat dari potongan-potongan bekas kayu gergaji dan dibungkus dengan papan dari kayu jati hingga dapat menjadi tiang masjid. “Tiang tatal” itu sampai sekarangpun masih berfungsi menyangga masjid, bersama-sama dengan tiga buah tiang lain yang juga berukuran besar. Atap masjid Agung Demak itu, oleh Presiden Soeharto waktu itu, dijadikan model bagi masjid-masjid Amal Bakti Muslim Pancasila (ABMP), yang kini berjumlah ratusan buah di seluruh Indonesia. Ketiga lapis atapnya, dalam sistim keyakinan Islam, mencerminkan Iman, Islam dan Ikhsan. Seseorang yang beriman, akan melaksanakan kelima rukun Islam, dan menambahi amalnya dengan kebajikan-kebajikan lain.
*****
Tradisi Majapahit yang berorientasi niaga-laut, diteruskan oleh Kesultanan Demak. Dengan demikian kita dapat melihat tokoh seperti Adipati Unus (nama sebenarnya Adipati Yunus), tercatat berperang melawan pihak Portugis di Selat Malaka. Dan para Sultan Demak memelihara kontak dengan pihak-pihak Kesultanan lain di kawasan Nusantara dan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Yang belum jelas bagi kita semua, bagaimanakah hubungan Kesultanan Demak dengan daerah-daerah agraris di wilayah selatan-nya. Bagaimanapun juga untuk suplai makanan utama berupa beras, Demak harus mengandalkan pada sejumlah daerah agraris, seperti Cepu. Di daerah itu dua -tiga abad sebelumnya sudah terdapat jaringan pengairan yang menghasilkan sawah-sawah yang subur, dan hasilnya berupa padi yang di ekspor keluar. Demikian juga dengan wilayah Sragen sekarang, dahulu menghasilkan cukup padi dan palawija dari pengairan air Bengawan Solo, walaupun dalam jumlah yang lebih kecil daripada Cepu. Daerah Purwodadi, yang sekarang sudah menjadi wilayah Kabupaten Grobogan/Purwodadi, sudah menjadi penghasil palawija sejak dahulu, kerena tanahnya berkapur (lime soil).
Dengan posisi seperti seperti itu, Kesultanan Demak tidak perlu terlalu menggantungkan diri kepada upaya mendatangkan/membeli bahan makanan melalui Bengawan Solo. Karena itu pula Kesultanan di Kota Demak tidak terlalu banyak ‘mengganggu’ kota-kota pelabuhan di pesisir, paling-paling hanya mengharapkan sekedar upeti untuk menghidupinya. Kota-kota pelabuhan itu menjadi kaya dengan cepat, dan bersikap indenpenden dalam hampir semua hal. Inilah yang menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan Demak sebagai negara. Kekuatan alami berupa laut ditransformasi menjadi kekuasaan sangat besar kepada kota-kota pelabuhan itu. Keadaan seperti itulah yang menunjukkan kekuatan Demak sebagai Kesultanan yang bergantung kepada niaga laut.
*****
Namun di situ juga letak kelemahannya sebagai negara. Para anggota keluarga kesultanan dengan mudah dapat berhubungan sendiri-sendiri dengan berbagai pihak. Ketika Kesultanan Demak terputus “legitimasi kekuasaan” mereka, karena Sultan Trenggono tidak memiliki anak lelaki, maka ia digantikan oleh menantunya, Sultan Hadiwijaya, yang sebelum itu di sebut Pangeran Karebet. Demikian juga Sultan Hadiwijaya tidak mempunyai putra, sehingga menantunya yang bernama Sutawijaya dapat menantangnya untuk bertanding di muka umum. Ia pun dikalahkan sang menantu, yang mengangkat diri sebagai Sultan dengan gelar “Panembahan Senopati ing Ngalaga Sayidin Panotogomo Kalipatulah Ing Tanah Jawi”.
Setelah kalah bertanding, Sultan Hadiwijaya segera naik perahu berangkat ke Sumenep (Madura). Dari ibunya, Kanjeng Ratu Putri ia memperoleh 40 macam kesaktian/ kanuragan. Dalam perjalanan kembali ke Pajang –setelah pindah dari Demak- ia mampir ke Pringgabaya, sebuah pulau di Bengawan Solo yang terletak di sebelah selatan Paciran (sekarang di bawah jembatan yang melintasi Bengawan Solo). Malamnya ia mendapat “wangsit” untuk tidak meneruskan perjalanan ke Pajang dan memperebutkan tahta Kesultanan. Sebaiknya ia mendirikan pondok pesantren di pulau tersebut, yang berarti bermulanya tradisi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), yang mengakui legitimitas kekuasaan di pusat negara, tetapi memiliki pandangan dan ciri hidupnya sendiri. Ia pun mengganti nama menjadi Jaka Tingkir, dan penulis percaya pada waktunya ia pun dianggap sebagai orang yang memulai dan merintis LSM di pulau Jawa. Apa yang dibuatnya, sudah diakui oleh sejarawan terkemuka, DR. Taufik Abdullah (Leknas LIPI, kemudian menjadi ketua LIPI), dan disebutnya sebagai hubungan multi-kratonik antara pusat kekuasaan dan kelompok-kelompok masyarakat.
Sangat menarik adalah tembang Jawa “Sigra milir, sang gethek Sinangga Bajul, Kawan Dasa kang Njagane” (segeralah melaju rakit yang didukung 40 ekor buaya yang juga menjagai). Dalam cerita tutur rakyat daerah itu, artinya ada empat puluh kesaktian untuk mendukung kekuatan Jaka Tingkir dengan keempat puluh ekor buaya itu turut menjaga dirinya. Oleh sistem kekuasaan yang berkuasa waktu itu, tembang itu diplesetkan, dalam artian rakit adalah tempat tidur. Jadi Jaka Tingkir bersenggama dengan perempuan cantik di atasnya dan di jaga oleh empat puluh pengawal.
Dari gambaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuatan negara dan LSM menjadi berimbang yang disebabkan oleh kenyataan ketidakmauan para penguasa Kesultanan Demak, Jipang dan Pajang untuk mengembangkan sendiri daerah agraris milik mereka. Mekanisme pasar plus upeti dari kelurahan-kelurahan dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam kesultanan itu. Mereka melupakan bahwa kekuatan agraris yang semula berarti kekuatan pasar, dapat berkembang menjadi kekuatan politis dan ekonomis. Tanpa kekuatan agraris itu, maka pondasi kekuasaan niaga–laut akan cepat menjadi hilang, seperti halnya dengan Sriwijaya. Memang mudah akan melakukan demokratisasi, tetapi sulit untuk menumbuhkan kekuatan demokrasi itu sendiri, seperti yang terjadi pada contoh di atas bukan?