Birokratisasi Gerakan Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Yang dimaksudkan dengan birokratisasi adalah keadaan yang berciri utama kepentingan para birokrat menjadi ukuran. Sama saja halnya dengan militerisme jika kepentingan pihak militer merupakan ukuran utama bagi perkembangan sebuah negeri. Jadi bukannya apabila kaum birokrat turut serta dalam kepemimpinan, seperti halnya jika para pemimpin militer ada dalam pemerintahan. Kata kunci dalam kedua hal ini adalah di tangan siapa kekuasaan itu.
Ada seorang pengamat militer dan ahli strategi perang dari Eropa Barat lebih dari seabad yang lalu, Carl von Clausewitz, mengatakan bahwa “perang terlalu penting untuk hanya diputuskan oleh para jenderal saja. Jadi perang adalah sebuah keputusan besar, yang secara teoretik harus diputuskan oleh seluruh rakyat dari sebuah negara”. Demikian juga dengan gerakan Islam.
Gerakan Islam di negeri ini sudah ada, secara resmi dan terorganisasi lahir bersama hadirnya Muhammadiyah sejak tahun 1912. Namun sesuatu yang harus dipahami secara mendalam adalah Nahdlatul ‘Ulama (NU), yang lahir pada tahun 1926, mempunyai asal-usul yang sama tuanya dengan Muhammadiyah. Yaitu ketika berabad-abad yang lalu, para ulama Islam mulai berbeda pendapat mengenai ziarah kubur dan sebangsanya.
Ulama yang memperkenankan hal itu, di kemudian hari adalah orang yang mendirikan NU. Sedangkan yang melarang kemudian mendirikan Muhammadiyah, sementara mereka yang ingin ‘menjembatani’ di antara kedua organisasi tersebut, pada akhirnya mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun-tahun tujuh-puluhan. Pembedaan yang demikian sederhana ini, dilakukan untuk mempermudah pengertian kita saja.
Penguasaan Negara
Pada tahun 1984, Presiden Soeharto memutuskan untuk ‘berubah haluan’. Kemudian ia melakukan upaya islamisasi, melalui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sebagai seorang militer dan karena tidak mau disebut berpihak kepada salah satu dari kedua organisasi Islam di atas, maka Soeharto memilih untuk tidak mengutamakan aspek budaya dari gerakan Islam, melainkan lebih menekankan pada aspek kelembagaan/institusionalnya saja.
Hal ini ‘sejalan’ dengan sikap Partai Katolik di bawah pimpinan Kasimo yang memberikan tempat khusus kepada gerakan Islam, sejak 1945. Sikap ini diambil sebagai penghargaan atas ‘kesediaan’ gerakan Islam untuk menerima Pancasila dan ‘meninggalnya’ gagasan negara Islam. Dengan tidak disadari akibatnya, maka sikapnya terhadap posisi kementerian/Departemen Agama lalu menjadi sejarah tersendiri dalam kehidupan kita sebagai bangsa dan negara, yaitu semacam persepsi bahwa departemen itu adalah berbidang banyak (multidimensi) dan merupakan semacam negara dalam negara.
Baru belakangan ada koreksi atas hal ini, dalam bentuk munculnya keinginan memperkecil ruang gerak departemen tersebut. Namun, birokratisasi di lingkungan Departemen Agama seperti sudah tidak dapat dihambat lagi. Segala hal dicoba untuk ‘diagamakan’ dan sering tanpa mengingat batasan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dalam bentuk pemisahan agama dari negara, yang terutama dalam bentuk bantuan negara kepada gerakan Islam. Muncul sebagai gantinya adalah penguasaan negara atas agama.
Sikap seperti ini tentu saja menguatkan peranan institusional dari gerakan Islam. Segera saja, Departemen Agama mendorong terjadinya institusionalisasi gerakan Islam dengan cepat. Lahirlah MUI dalam tahun 1975 yang segera berkembang dengan pesat, karena didorong oleh anggaran belanja teratur dari Departemen Agama dan oleh manuver-manuver politik Presiden Soeharto waktu itu. Ciri utama MUI sejak berdiri adalah kepengurusannya diisi oleh para pensiunan Departemen Agama dan nonpegawai negeri yang berposisi lemah. Dalam waktu sebentar saja MUI dibuat lebih mementingkan aspek kelembagaan gerakan Islam daripada pengembangan aspek kulturalnya. Hampir-hampir tidak ada pengecualian atas hal tersebut, termasuk dalam ‘kebiasaan seremonialnya’.
Hilangnya Independensi
Di samping itu, keinginan untuk ‘menyehatkan’ cara-cara kerja gerakan Islam, membuatnya terlalu jauh mengikuti proses institusionalnya saja. Dengan demikian, hilanglah sedikit demi sedikit tradisi gerakan Islam yang mengutamakan posisi nonpemerintah. Kalau dahulu KH. M. Hasjim As’yari dan kawan-kawan ‘melawan’ pemerintahan kolonial dengan keputusan-keputusan agama murni, karena mereka bukan pegawai negeri, maka kini hilanglah tradisi itu sedikit demi sedikit.
Jika kenyataan bahwa KH. A. Wahid Hasjim menjadi Menteri Agama dan Abdurrahman Wahid menjadi Presiden di Republik ini tanpa menjadi pegawai negeri, maka itu adalah nostalgia belaka, dari perkembangan yang umum terjadi di lingkungan gerakan Islam sekarang. Kepengurusan NU pada tingkat provinsi pun, hampir seluruhnya sekarang dipegang oleh pegawai negeri yang hanya berpikir institusional saja.
Dengan demikian berkembanglah ‘sikap ketergantungan’ kepada negara, dengan akibat hilangnya sedikit demi sedikit independensi yang dahulunya dimiliki gerakan Islam. Tentu saja orang tidak dapat berharap untuk ‘menghilangkan’ aspek kepegawaian negeri itu, dari gerakan Islam di negeri ini. Tetapi toh tidak ada salahnya untuk berharap hilangnya ketergantungan itu.
Dalam pertemuannya dengan bermacam-macam lembaga dan tokoh-tokoh NU di daerah-daerah, penulis selalu dihadapkan kepada serba kurangnya ‘fasilitas umat’. Yang umum terdengar adalah pernyataan semacam “pesantren kami melarat karena tidak dibantu oleh Pemda”. Keluhan-keluhan semacam ini sungguh memilukan hati, karena itu berarti terkikisnya sebuah tradisi masa lampau, yang membuat Islam berkembang di negeri ini. Yaitu tetap berdiri walaupun berhadapan dengan pemerintahan kolonial yang secara keuangan/finansial sangat kuat posisinya.
Bahkan, tekanan-tekanan pemerintah untuk memenangkan Golkar dalam pemilu di masa lampau, tetap dihadapi dengan tenang oleh umat Islam. Terpaksalah pemerintah (termasuk ABRI), melakukan manipulasi suara dan intimidasi untuk memenangkan pemilihan umum bagi Golkar di masa-masa lampau.
Penulis rindu kepada masa-masa seperti itu, ketika posisi masyarakat sangat kuat dan sanggup menandingi kedudukan birokrasi pemerintahan. Padahal, sekarang kita harus menghadapi kenyataan bahwa proses globalisasi juga memasuki kehidupan kita sebagai bangsa. Sebagai reaksi atas globalisasi itu, kemunculan fundamentalisme agama harus diperhitungkan sejajar dengan kemunculan nasionalisme sempit, seperti soal visa sementara orang-orang Papua ke Australia.
Sekarang kita lihat, mengapa kita mengalami krisis multidimensi demikian panjang? Salah satunya adalah gerakan Islam (dan juga gerakan-gerakan lain) sudah terlalu jauh mengalami birokratisasi. Bagaimana mungkin kita tangani korupsi (yang melibatkan kepentingan kaum birokrat) dengan baik, kalau kita tidak berani berpegang kepada kedaulatan hukum? Demikian juga, kalau kita tidak berani menegakkan kewibawaan aparat keamanan dan membiarkan ormas-ormas keagamaan Islam melakukan kekerasan, dengan sendirinya kendali atas keadaan hilang sama sekali.
Herankah kita jika nanti masyarakat mengambil inisiatifnya sendiri, karena jalan-jalan lain telah tertutup? Dalam hal ini, kita lalu tertegun oleh sebuah kenyataan: bukankah masyarakat sendiri yang akan menentukan perlunya sesuatu dalam kehidupan kolektif kita dilestarikan atau justru diubah?